Hari Santri Nasional 2025 kembali menjadi momentum untuk mengenang perjuangan kaum santri dan ulama dalam menjaga kemerdekaan Indonesia. Dengan tema "Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia," peringatan tahun ini menjadi ajakan untuk meneladani semangat jihad para santri yang rela berkorban demi negeri.
Di balik peringatan ini tersimpan kisah luar biasa tentang Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. Dilansir laman resmi Kementerian Agama RI, seruan itu membangkitkan keberanian para santri dan rakyat untuk melawan penjajahan Belanda dan Sekutu. Dari pesantren lahirlah pasukan Hizbullah dan Sabilillah, barisan pemuda yang tidak hanya berperang dengan bambu runcing, tapi juga dengan keyakinan bahwa membela tanah air adalah bagian dari iman.
Kalau kamu ingin memahami bagaimana semangat para santri di masa perjuangan bisa menginspirasi generasi hari ini, tujuh teks pidato ini bisa jadi bahan refleksi sekaligus inspirasi. Setiap pidato membawa pesan berbeda tentang keberanian, keikhlasan, dan cinta tanah air yang lahir dari pesantren.
Poin utamanya:
- Hari Santri 2025 menegaskan peran santri dalam menjaga kemerdekaan dan membangun peradaban bangsa.
- Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi tonggak perjuangan santri sebagai penjaga moral dan kedaulatan Indonesia.
- Nilai hubbul wathon minal iman menjadi dasar bagi generasi santri modern untuk berjuang melalui ilmu dan akhlak.
7 Contoh Teks Pidato Hari Santri Nasional 2025
Di bawah ini terdapat sejumlah contoh teks pidato sesuai dengan tema Hari Santri Nasional 2025 yang cocok untuk kita simak dan jadikan sebagai inspirasi.
1. Santri dan Resolusi Jihad 1945
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hari Santri Nasional yang kita peringati setiap 22 Oktober berakar pada peristiwa besar dalam sejarah bangsa. Pada hari itu, tahun 1945, Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari menyerukan Resolusi Jihad, sebuah seruan suci untuk membela tanah air dari ancaman penjajahan Belanda yang kembali datang bersama Sekutu setelah kekalahan Jepang. Seruan ini bukan hanya panggilan politik, tapi panggilan iman.
Para santri kala itu tidak hanya mengaji di pesantren, tetapi juga mengangkat senjata. Dari Cibarusa hingga Surabaya, mereka tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah, hasil didikan para ulama pesantren. Dengan semangat jihad fi sabilillah, mereka berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung. Dalam Resolusi Jihad disebutkan jelas bahwa mempertahankan Republik Indonesia adalah kewajiban setiap muslim.
Pertempuran besar pun pecah di Surabaya pada 10 November 1945, menjadi bukti nyata keberanian kaum santri. Mereka berperang bukan karena harta atau pangkat, tetapi karena iman dan cinta tanah air.
Kini, tugas kita sebagai generasi penerus adalah meneruskan jihad itu dalam bentuk baru, yaitu jihad ilmu, jihad moral, dan jihad kemanusiaan. Mari kita rawat Indonesia dengan semangat yang sama seperti para santri 1945, ikhlas, berani, dan penuh cinta pada negeri.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
2. Laskar Hizbullah dan Cinta Tanah Air
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hadirin yang dirahmati Allah,
Ketika Jepang kalah dan Sekutu berusaha kembali menguasai Indonesia, para ulama pesantren sudah bersiap jauh hari. KH Hasyim Asy'ari, dengan kebijaksanaan dan pandangan jauh ke depan, menyetujui pembentukan Laskar Hizbullah pada tahun 1943. Meski dilatih oleh Jepang, Kiai Hasyim menegaskan bahwa pasukan santri ini berdiri sendiri dan tidak berada di bawah kendali siapa pun selain bangsa sendiri.
Laskar Hizbullah menjadi benteng pertahanan rakyat yang lahir dari pesantren. Mereka belajar strategi perang, disiplin, dan semangat jihad fi sabilillah. Dari latihan sederhana itu, lahirlah pemuda-pemuda pemberani yang siap melawan penjajah dengan tekad luar biasa. Ketika agresi Belanda datang membonceng Sekutu, para santri sudah siap bertempur di Surabaya, Semarang, hingga Ambarawa.
Kiai Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy'ari, menyebut perjuangan ini sebagai bentuk kesadaran politik dan spiritual umat Islam. Para santri berperang bukan sekadar mempertahankan kemerdekaan, tapi juga menegakkan ajaran bahwa hubbul wathon minal iman, cinta tanah air adalah bagian dari iman.
Kini, semangat itu harus terus hidup. Santri masa kini harus jadi laskar modern yang memperjuangkan bangsa dengan ilmu, akhlak, dan dedikasi. Karena menjaga Indonesia tetap merdeka bukan tugas masa lalu, tetapi kewajiban sepanjang masa.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
3. Ketika Pesantren Menjadi Benteng Republik
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saudara-saudaraku sekalian,
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama. Dalam sejarahnya, pesantren adalah benteng pertahanan bangsa. Pada masa pasca-proklamasi, ketika ancaman Belanda kembali mengintai, para kiai dan santri menjadi garda terdepan. KH Hasyim Asy'ari bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, sebuah fatwa yang menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban agama.
Dari pesantren lahir pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Mereka bertempur di medan perang Surabaya dengan bambu runcing dan doa para kiai. KH Subchi dari Parakan bahkan memberikan "penyepuhan" doa pada bambu runcing sebagai simbol keberkahan dan keberanian. Semua dilakukan dengan niat suci membela kemerdekaan dan martabat bangsa.
Peristiwa 10 November bukanlah sekadar perang, tapi manifestasi iman. Saat itu, santri dan rakyat bersatu atas nama jihad fi sabilillah. Tanpa mereka, kemerdekaan mungkin hanya tinggal tulisan di atas kertas.
Kini, benteng itu tetap berdiri. Pesantren masih menjadi penjaga moral dan peradaban bangsa. Mari kita jaga warisan itu dengan belajar sungguh-sungguh, berakhlak, dan siap membela negeri dengan karya, bukan hanya kata. Karena menjadi santri berarti menjadi penjaga Republik Indonesia.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
4. Semangat Jihad yang Tak Pernah Padam
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hadirin yang dirahmati Allah,
Perjalanan bangsa Indonesia tak pernah lepas dari perjuangan kaum santri. Di tengah situasi sulit pasca-proklamasi, saat Belanda membonceng Sekutu untuk merebut kembali Indonesia, para kiai dan santri telah menyiapkan segalanya. Dari Cibarusa hingga Parakan, semangat jihad bergelora.
KH Hasyim Asy'ari memimpin perlawanan dengan fatwanya yang dikenal sebagai Resolusi Jihad. Seruan itu menembus batas daerah dan waktu, bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kewajiban setiap muslim. Tidak hanya di Surabaya, semangat itu menyebar ke Semarang, Ambarawa, hingga seluruh tanah air.
Santri berperang bukan untuk kekuasaan, tapi untuk kebenaran. Mereka sadar, penjajahan bukan hanya merampas tanah, tapi juga martabat dan iman. Karena itu, jihad mereka adalah jihad yang ikhlas, jihad untuk menegakkan agama dan menjaga bangsa.
Kini, semangat jihad itu harus kita hidupkan kembali. Bukan dengan pedang dan peluru, tetapi dengan ilmu, ketulusan, dan kejujuran. Jika dulu santri melawan penjajahan fisik, kini santri berperang melawan kebodohan dan kemerosotan moral. Mari jadikan diri kita santri sejati, yang berilmu, berani, dan berakhlak.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
5. Santri Pelita Negeri
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hari Santri Nasional adalah momentum untuk mengenang jasa para ulama dan santri yang telah menyalakan pelita kemerdekaan. Mereka tidak hanya berjuang dengan senjata, tetapi juga dengan ilmu, doa, dan keyakinan.
Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu datang, para santri sudah siap. KH Hasyim Asy'ari dan para ulama lain mempersiapkan Laskar Hizbullah dan Sabilillah, pasukan muda yang ditempa semangat jihad. Dengan izin Allah, mereka menghadapi tentara modern dengan keberanian yang lahir dari keikhlasan.
KH Saifuddin Zuhri mencatat bahwa ratusan santri dari berbagai daerah berlatih di Cibarusa. Dari sinilah muncul kekuatan besar yang menggerakkan rakyat melawan penjajah. Ketika Resolusi Jihad dikumandangkan pada 22 Oktober 1945, semangat itu menjalar ke seluruh nusantara.
Perang Surabaya menjadi bukti bahwa tekad santri lebih tajam dari senjata. Mereka menunjukkan bahwa cinta tanah air dan iman tidak bisa dipisahkan. Kini, tugas kita melanjutkan cahaya itu, menjadi pelita bagi bangsa di tengah zaman yang penuh tantangan.
Santri masa kini harus menjadi sumber inspirasi, bukan hanya dalam ilmu agama, tetapi juga dalam moral, kepemimpinan, dan pengabdian. Karena seperti para pendahulu kita, perjuangan sejati tidak pernah padam, hanya berubah bentuk.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
6. Santri dan Api Perjuangan Surabaya
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hadirin yang dimuliakan Allah,
Setiap kali kita memperingati Hari Santri, ingatan bangsa ini seolah kembali ke Surabaya, Oktober 1945. Saat itu, panas yang membakar kota bukan hanya karena peluru dan ledakan, tetapi juga karena semangat para santri yang menyala, semangat yang lahir dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asy'ari. Fatwa itu menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah kewajiban bagi setiap muslim.
Santri dan ulama pesantren tidak menunggu perintah siapa pun. Mereka turun ke jalan, bergabung dengan rakyat dalam pertempuran Surabaya. Di antara mereka ada para anggota Laskar Hizbullah, Sabilillah, dan rakyat biasa yang berbekal bambu runcing. Sebelum berangkat, mereka mendapat doa dan restu dari para kiai, seperti Kiai Subchi Parakan yang menyepuhkan doa ke ujung bambu runcing agar menjadi simbol kekuatan iman.
Pertempuran 10 November yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan adalah buah dari semangat jihad itu. Santri bukan hanya penjaga surau, tapi penjaga republik. Mereka membuktikan bahwa cinta tanah air bukan sekadar ucapan, melainkan pengorbanan nyawa dan keyakinan.
Kini, semangat itu harus menyala di dada santri masa kini. Kita tak lagi berperang melawan kolonialisme bersenjata, tetapi melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Jadikan Hari Santri sebagai pengingat bahwa iman, ilmu, dan keberanian adalah senjata utama untuk menjaga Indonesia tetap merdeka.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
7. Dari Pesantren untuk Negeri
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saudara-saudara seiman,
Sejarah bangsa Indonesia menyimpan babak yang jarang dibicarakan secara mendalam, babak ketika pesantren menjadi pusat strategi perjuangan. Saat Jepang masih berkuasa dan Sekutu bersiap kembali, KH Hasyim Asy'ari sudah memikirkan masa depan negeri ini. Ia tahu kemerdekaan tak bisa hanya diraih dengan diplomasi, tapi juga dengan kesiapan fisik dan mental.
Maka dibentuklah Laskar Hizbullah pada 1943. Para santri muda dilatih agar siap mempertahankan tanah air. Ketika Jepang menyerah dan Belanda datang kembali, mereka sudah siap. Dengan bekal latihan militer sederhana dan semangat jihad fi sabilillah, para santri bergerak dari pesantren menuju medan laga. Mereka bertempur di Surabaya, Semarang, Ambarawa, hingga Parakan.
Resolusi Jihad yang dicetuskan KH Hasyim Asy'ari menjadi ruh perjuangan itu. Ulama dan umat Islam menyadari bahwa membela tanah air adalah bagian dari menegakkan agama. Dari keyakinan inilah lahir semboyan abadi, "hubbul wathon minal iman", cinta tanah air bagian dari iman.
Kini, santri masa kini mewarisi dua kekuatan, yakni iman dan ilmu. Jika dulu mereka menentang penjajahan dengan senjata, maka kini mereka berjuang dengan pena, karya, dan moralitas. Dari pesantrenlah lahir kekuatan baru untuk membangun bangsa, kekuatan yang berakar pada keikhlasan, kesederhanaan, dan cinta Indonesia.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Contoh-contoh pidato di atas dapat menyalakan kembali semangat perjuangan di hati kita. Coba baca satu per satu dan temukan inspirasi untuk menyampaikan makna jihad yang relevan dengan zamanmu, karena semangat santri tak pernah padam, hanya berganti medan perjuangan. Semoga bermanfaat!
Simak Video "Video: Sambut Hari Santri 2025, FPTP Adakan Lomba Baca Kitab Kuning"
(par/dil)