Kisah pernikahan Rasulullah SAW dengan Khadijah di bulan Safar menjadi bagian penting dalam perjalanan awal Islam. Momen ini berlangsung di tengah tradisi masyarakat Arab yang memandang Safar sebagai bulan yang 'buruk'.
Dikutip dari buku Kalender Hijriyah Dalam Kajian Syari'ah dan Astronomi tulisan Vivit Fitriyani, bulan Safar merupakan bulan kedua dalam penanggalan Hijriah. Nama 'Safar' berasal dari kata yang berarti 'kuning'. Pemilihan nama ini merujuk pada kondisi alam saat itu, di mana daun-daun mulai menguning. Penamaan ini mencerminkan kebiasaan masyarakat Arab yang mengaitkan nama bulan dengan musim atau tanda-tanda alam tertentu.
Sementara itu, Hamdan Hamedan dalam buku Doa dan Zikir Sepanjang Tahun menjelaskan, menurut Imam Ibnu Katsir, Safar juga berarti 'sepi' atau 'sunyi', mencerminkan kebiasaan orang Arab zaman dahulu yang meninggalkan rumah untuk bepergian atau berperang, membuat pemukiman menjadi kosong. Di sisi lain, masyarakat Jahiliah menganggap Safar sebagai bulan yang membawa kesialan atau pertanda buruk, meski kepercayaan ini tidak dikenal dalam Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penasaran bagaimana kisah pernikahan Rasulullah SAW dengan Khadijah yang dilaksanakan di bulan Safar, detikers? Yuk, simak penjelasan lengkapnya berikut ini!
Kisah Awal Sebelum Pernikahan Rasulullah dan Khadijah
Sebelum akhirnya menikah, baik Rasulullah maupun Khadijah memiliki kehidupan masing-masing yang akhirnya dipertemukan di satu titik. Mari simak kisah lengkapnya yang dihimpun dari buku Doa dan Zikir Sepanjang Tahun oleh Hamdan Hamedan serta Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam oleh Bassam Muhammad Hamami.
A. Kehidupan Awal Khadijah
Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita bangsawan Quraisy yang dikenal karena keteguhan hati, kecerdasan, dan kemandiriannya dalam berdagang. Ia berasal dari keluarga terhormat dan kaya raya di Makkah, dan sempat mengalami dua pernikahan sebelumnya.
Dari pernikahan dengan Abu Halah bin Zararah At-Taimi, Khadijah dikaruniai dua anak, yaitu Halah dan Hanad. Setelah suaminya wafat, ia menikah lagi dengan 'Atiq bin Abid al-Makhzumi, tetapi pernikahan itu juga berakhir dengan perpisahan.
Sejak itu, Khadijah memilih fokus mengurus anak-anaknya dan menjalankan bisnis perdagangan sendiri. Ia dikenal sebagai wanita sukses yang mempekerjakan para laki-laki lewat sistem mudharabah, yakni sistem bagi hasil yang populer di masa itu.
Keberhasilannya dalam dunia usaha membuat Khadijah menjadi salah satu pengusaha perempuan paling terpandang di Makkah. Tak sedikit tokoh Quraisy yang mencoba melamarnya, tetapi Khadijah tetap memilih hidup mandiri hingga ia mendengar tentang sosok Muhammad yang terkenal jujur dan terpercaya, meski saat itu belum menjadi nabi dan rasul.
B. Rasulullah Bekerja untuk Khadijah
Ketertarikan Khadijah terhadap kepribadian Muhammad bermula dari reputasinya yang dikenal sebagai Al-Amin dan Ash-Shadiq, yang berarti orang amanah dan jujur. Khadijah pun menawarkan kerja sama dagang kepada Muhammad, meminta beliau untuk membawa barang dagangannya ke Syam. Untuk perjalanan tersebut, Khadijah bahkan menawarkan upah yang lebih tinggi dari biasanya, tanda bahwa ia benar-benar menghargai integritas Muhammad.
Rasulullah menerima tawaran tersebut dan berangkat ke Syam bersama budak kepercayaan Khadijah, yaitu Maisarah. Perjalanan dagang itu membuahkan hasil besar. Barang dagangan Khadijah laku keras dan keuntungannya berlipat dari biasanya. Maisarah pun menceritakan bagaimana akhlak dan cara berdagang Muhammad yang luar biasa jujur dan santun.
Sepulang dari perjalanan itu, Khadijah semakin terkesan. Ia melihat langsung kepribadian Rasulullah yang bersahaja, tampan, cerdas, dan penuh wibawa. Saat berbicara, beliau lugas dan menawan. Saat diam, beliau menampakkan ketenangan dan kedalaman. Dari kekaguman ini, muncul benih cinta yang tulus di hati Khadijah. Ia pun mulai mempertimbangkan untuk menikah dengannya, meskipun terpaut usia yang cukup jauh.
Kisah Pernikahan Rasulullah SAW dengan Khadijah di Bulan Safar
Keinginan Khadijah untuk menikah dengan Muhammad SAW sempat terhalang oleh keraguan. Ia merasa dirinya telah berusia 40 tahun dan merupakan seorang janda, sedangkan Muhammad masih muda dan belum pernah menikah.
Namun kegelisahan itu segera diurai oleh sahabatnya, Nafisah binti Muniyah. Nafisah menyampaikan maksud hati Khadijah kepada Rasulullah dengan cara yang bijak dan penuh kecerdikan.
Ketika Nafisah bertanya mengapa Muhammad belum menikah, beliau menjawab dengan rendah hati bahwa ia belum memiliki biaya. Nafisah pun mengajukan nama Khadijah. Rasulullah tidak menolak, bahkan berkata, "Jika ia bersedia, maka aku pun menerimanya."
Lamaran pun segera dilakukan. Paman Muhammad, Abu Thalib, bersama Hamzah dan anggota keluarga lainnya datang ke rumah paman Khadijah untuk meminangnya. Pernikahan pun dilangsungkan dengan mahar dua puluh ekor unta, dan pesta sederhana digelar untuk keluarga serta fakir miskin. Bahkan ibu susuan Rasulullah Halimah As-Sa'diyah juga hadir dalam acara tersebut dan pulang dengan membawa hadiah dari Khadijah berupa empat puluh ekor kambing.
Menariknya, pernikahan agung ini terjadi di bulan Safar, bulan kedua dalam kalender Hijriah. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa bulan Safar bukanlah bulan kesialan seperti yang diyakini masyarakat Arab jahiliah. Rasulullah sendiri menegaskan bahwa tidak ada kesialan yang melekat pada bulan tersebut. Bahkan, dua pernikahan besar terjadi di bulan ini, yaitu antara Rasulullah dan Khadijah serta antara Ali dan Fatimah.
Sejak saat itu, Khadijah menjadi istri pertama Rasulullah. Rasulullah pun tidak menikahi wanita lain selama hidup Khadijah. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis selama 15 tahun sebelum kenabian. Dalam rumah tangga itu, lahirlah enam orang anak, yaitu Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah Az-Zahra.
Kehidupan Pernikahan Rasulullah-Khadijah Setelah Masa Kenabian
Pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Sayyidah Khadijah RA adalah kisah cinta yang menjadi pilar awal dakwah Islam. Ketika Rasulullah mulai gemar menyendiri dan berkhalwat di Gua Hira, Khadijah mendukung sepenuhnya. Ia tidak mengganggu waktu suaminya untuk merenung, bahkan memastikan kenyamanan dan keselamatan beliau dari kejauhan, tanpa mengusik ketenangan yang dicari Muhammad.
Saat wahyu pertama turun, dan Nabi Muhammad pulang dengan tubuh menggigil ketakutan, Khadijah menyambutnya dengan pelukan hangat dan kata-kata penuh keyakinan. Dialah orang pertama yang membenarkan kenabian sang suami. Tak berhenti di situ, ia segera menemui Waraqah bin Naufal untuk mencari kepastian, lalu kembali membawa kabar gembira bahwa suaminya benar-benar telah diangkat sebagai nabi oleh Allah SWT.
Dalam setiap ujian yang dihadapi Rasulullah setelah menerima wahyu, Khadijah hadir sebagai penguat. Ia menjadi tempat berlabuh dari lelahnya dakwah, sumber motivasi saat sang suami ditolak, dihina, dan didustakan oleh kaumnya. Tidak hanya secara emosional, Khadijah juga menopang perjuangan Rasulullah dengan hartanya. Ia rela mengorbankan kenyamanan hidup demi agama yang baru lahir ini.
Ketika boikot Quraisy menghantam Bani Hasyim dan memaksa mereka tinggal di lembah sempit bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung penderitaan. Ia meninggalkan rumah dan kenyamanan hidupnya untuk tetap berada di sisi suaminya. Meski menyaksikan putrinya hijrah, anak-anaknya wafat, dan sahabat-sahabatnya disiksa, Khadijah tetap bertahan sebagai pelindung dan penyemangat bagi Nabi.
Hingga akhirnya, Khadijah wafat dalam pelukan Rasulullah setelah melalui berbagai ujian hidup dan iman. Di saat-saat terakhir, sang Nabi merawatnya dengan penuh cinta, serta menyampaikan kabar gembira dari Allah tentang rumah di surga. Wafatnya Khadijah tidak hanya meninggalkan duka pribadi bagi Rasulullah, tapi juga menjadi kehilangan besar dalam sejarah dakwah.
Baca juga: 33 Ayat Al-Quran Tentang Kisah Nabi Isa AS |
Demikianlah kisah pernikahan Rasulullah SAW dengan Khadijah yang dilaksanakan pada bulan Safar. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah ini.
(sto/dil)