Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pemerintah untuk menggratiskan wajib belajar 9 tahun baik di sekolah negeri maupun swasta. Berikut beberapa pertimbangan MK dalam putusannya.
Hakim MK mengetok keputusan tersebut dalam sidang yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (27/5/2025). Sebagian gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dikabulkan MK.
Adapun pengaju permohonan nomor 3/PUU-XXIII/2025 adalah Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga pemohon individu. Tiga pemohon individu tersebut yakni Fathiyah dan Novianisa Rizkika yang bekerja sebagai ibu rumah tangga; serta Riris Risma Anjiningrum yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, dikutip dari detikNews, Rabu (28/5/2025).
Hakim Enny Nurbaningsih dalam pertimbangannya, menilai frasa 'wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya' di Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang hanya untuk sekolah negeri mengakibatkan kesenjangan. Enny mengungkap terbatasnya daya tampung sekolah negeri membuat peserta didik terpaksa menempuh pendidikan di sekolah swasta.
Baca juga: Tok! MK Putuskan SD-SMP Swasta Gratis |
"Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa," ujar Enny.
MK menilai negara memiliki kewajiban konstitusional dalam memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat memperoleh akses pendidikan dasar sebab faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan.
Enny menilai, frasa "tanpa memungut biaya" berpotensi menyebabkan perbedaan perlakukan peserta didik yang tidak dapat bersekolah di sekolah negeri dan harus duduk di bangku sekolah swasta dengan biaya yang lebih tinggi.
"Sehingga terjadi fakta yang tidak berkesesuaian dengan apa yang diperintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena norma konstitusi tersebut tidak memberikan batasan atau limitasi mengenai pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai negara. Norma konstitusi a quo mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar. Dalam hal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta)," terangnya.
Dengan alasan tersebut, MK meminta pemerintah pusat dan daerah menjamin wajib belajar di jenjang pendidikan dasar terselenggara secara gratis yang berlaku bagi satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta atau masyarakat.
Selanjutnya, Enny menyatakan, negara wajib memastikan anggaran pendidikan dialokasikan secara adil dan efektif. Dalam menjamin hak pendidikan seluruh masyarakat, Enny mengungkapkan, negara harus mengambil kebijakan afirmatif berbentuk subsidi atau bantuan biaya pendidikan untuk masyarakat yang bersekolah di lembaga swasta.
"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa 'wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya' dalam norma Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003, yang menurut para Pemohon menimbulkan multitafsir dan diskriminasi karena hanya berlaku untuk sekolah/madrasah negeri adalah beralasan menurut hukum," ujar Enny.
(afn/ams)