Sragen merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah terkenal dengan Museum Manusia Purba Sangiran. Terlepas dari itu, sejarah dan asal-usul Sragen itu sendiri juga menarik untuk kita pelajari, detikers!
Dikutip dari laman resmi pemerintah daerah Sragen, wilayah Sragen memiliki luas 941,55 kmΒ². Letaknya berada di jalur utama Solo-Surabaya dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di sisi barat, Sragen berbatasan dengan Boyolali. Sementara di sisi selatan berbatasan dengan Karanganyar dan Grobogan di utara,
Mari simak sejarah dan asal-usul Sragen yang dihimpun dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Sragen serta buku Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Bidadari oleh Daniel Agus Maryanto berikut ini!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah dan Asal-usul Sragen
Sragen memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan Keraton Kartasura dan Surakarta. Pada masa pemberontakan Tionghoa yang dipimpin oleh Sunan Kuning (Raden Mas Garendi), Sunan Paku Buwono II melarikan diri ke Pacitan.
Di tengah kekacauan itu, seorang senopati Keraton Kartasura bernama Tumenggung Alap-Alap menerima petunjuk melalui mimpi (wisik). Dalam mimpinya, ia diminta meninggalkan Kartasura dan membawa tiga pusaka, yaitu sebuah tebok (tempat nasi), satu ruas bambu, dan sebuah tongkat. Tumenggung Alap-Alap kemudian memutuskan untuk meninggalkan Kartasura dan berjalan ke arah timur laut.
Setelah beberapa hari perjalanan, Tumenggung Alap-Alap tiba di desa Kranggan dan merasa cocok untuk menetap di sana. Ia hidup sebagai seorang ulama dengan nama Kiai Srenggi.
Ketika Keraton Kartasura dipindahkan ke Surakarta, Pangeran Mangkubumi kecewa dengan sikap patih Pringgalaya yang memihak Belanda. Pangeran Mangkubumi pun memulai pemberontakan. Pangeran Mangkubumi bergerak melewati berbagai desa dengan pasukannya dan tiba di desa Kranggan dalam kondisi kelelahan dan kekurangan makanan.
Di Kranggan, Kiai Srenggi menyambut Pangeran Mangkubumi dan pasukannya. Ia menyediakan hidangan nasi dengan pecel ayam di dalam tebok, serta minuman legen dalam ruas bambu. Kiai Srenggi kemudian menyerahkan tongkat sebagai pusaka terakhir dan menjelaskan bahwa ini adalah wangsit yang diterimanya beberapa tahun sebelumnya.
Pangeran Mangkubumi yang terkesan dengan hidangan dan pusaka itu, menamai tempat tersebut dengan nama Sragen. Nama ini berasal dari dua kata, yaitu 'srah' yang berarti pasrah serta 'gen' yang artinya legen. Sebab, di tempat tersebut Kiai Srenggi telah menyerahkan (masrahke dalam bahasa Jawa) pusaka serta memberi minuman berupa legen atau nira.
Sejarah Perkembangan Sragen
Sragen memiliki sejarah panjang yang dimulai pada masa Pangeran Mangkubumi, adik Sunan Paku Buwono II, yang memimpin perlawanan terhadap Belanda dalam Perang Mangkubumen (1746-1757). Pada 1746, Pangeran Mangkubumi mendirikan pemerintahan pemberontak di Desa Pandak, Karangnongko, Sukowati. Di sini, ia mengubah namanya menjadi Pangeran Sukowati dan memperluas kekuasaannya ke beberapa desa.
Namun, karena letak Desa Pandak tidak aman, pusat pemerintahannya dipindahkan ke Desa Gebang. Bersama Raden Mas Said, Pangeran Sukowati terus melawan Belanda dan berakhir dengan Perjanjian Giyanti 1755 yang membagi Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pada 1840, Sragen ditetapkan sebagai Pos Tundan oleh Sunan Paku Buwono VII untuk menjaga ketertiban lalu lintas. Kemudian, pada 1847, Sragen diberi tugas kepolisian dan menjadi Kabupaten Gunung Pulisi. Pada 1854, pengadilan kabupaten dibentuk, dan Sragen terus berkembang hingga menjadi Kabupaten Pangreh Praja pada masa Paku Buwono X di tahun 1918.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Sragen menjadi bagian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen yang otonom, dan terus berkembang hingga kini.
Demikian penjelasan lengkap mengenai sejarah dan asal-usul Sragen yang berasal dari cerita Pangeran Mangkubumi. Semoga bermanfaat!
(prf/ega)