Jika Gibran Jadi Cawapres, Pakar Sebut Jadi Contoh Demokrasi yang Buruk

Jika Gibran Jadi Cawapres, Pakar Sebut Jadi Contoh Demokrasi yang Buruk

Muhammad Sulthon - detikJateng
Jumat, 20 Okt 2023 19:56 WIB
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di Balai Kota Solo, Kamis (19/10/2023).
Foto: Tara Wahyu NV/detikJateng
Jakarta -

Majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dinilai semakin menegaskan tudingan dinasti politik tengah dibangun Presiden Joko Widodo (Widodo). Jokowi pun disarankan tidak memaksakan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.

Pakar politik Ikrar Nusa Bhakti berpendapat Jokowi yang sudah memimpin Indonesia selama dua periode seharusnya mengakhiri masa jabatannya dengan meninggalkan warisan yang baik.

"Presiden Jokowi itu sudah bagus, warisan pembangunannya sudah bagus, pendapatan perkapita sudah baik, dia membangun Papua, maka sebaiknya meninggalkan warisan yang baik dan smooth landing," kata Ikrar, Kamis (19/10/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ikrar menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi syarat batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sangat politis demi kepentingan pihak tertentu.

"Politisasi MK itu kental sekali. MK sudah menjadi lembaga yang melakukan yudisialisasi terhadap hal-hal yang berbau politik. Dan jangan menyalahkan kalau orang mencurigai putusan ini ada kepentingannya Gibran," papar Ikrar.

ADVERTISEMENT

Ikrar mengatakan putusan MK itu seolah memperlihatkan terdapat sinyal kuat buat menjaga kepentingan kekuasaan dari penguasa, dan tidak memikirkan kepentingan masyarakat.

"Seperti seolah jadi raja menurunkan ke putra mahkota," ucap Ikrar.

Dia mengatakan jika Jokowi menegaskan sikapnya dengan melarang Gibran supaya tidak berlaga dalam Pilpres 2024, maka kemungkinan sikap rakyat akan melunak.

Akan tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, maka menurut Ikrar bisa memicu kegaduhan baru dalam perpolitikan Tanah Air, dan memberikan contoh buruk dalam proses demokrasi.

"Kalau enggak, ini bukan mustahil terjadi perlawanan rakyat. Bukan dalam artian amuk massa, tapi mereka kemungkinan akan berbalik, dari yang tadinya mendukung menjadi muak. Bisa-bisa akhir jabatannya hard landing, atau bisa jadi crash landing," ujar Ikrar.

Ikrar mengatakan Jokowi seharusnya menyadari jika tidak tegas maka pemerintahan mendatang dan masyarakat yang harus membayar mahal atas kerusakan yang ditimbulkan dari permainan politik melalui proses hukum.

Padahal menurut Ikrar, bangsa Indonesia sudah sepakat untuk tidak kembali ke masa pemerintahan yang kelam setelah Reformasi 1998 dan menuju kematangan demokrasi pada 2039.

"Tapi kalau sekarang terjadi seperti ini, ini namanya dia memutarbalikkan reformasi. Padahal di 1998 kita sepakat ini adalah point of no return. Bayangkan kalau kita kembali ke titik nol dalam persoalan politik. Itu akan lama mengembalikannya dan menghabiskan banyak uang," papar Ikrar.




(ncm/ega)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads