Lupakan Jakarta, Menepi Sejenak di Citalahab Malasari Bogor

Lupakan Jakarta, Menepi Sejenak di Citalahab Malasari Bogor

Andry Haryanto - detikJabar
Sabtu, 27 Sep 2025 11:00 WIB
Suasana tempat wisata di Malasari, Bogor.
Suasana tempat wisata di Malasari, Bogor. Foto: Andry Haryanto
Bogor -

Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di udara ketika saya memulai perjalanan dari Cibinong menuju Citalahab Center, Kampung Malasari, Nanggung, Kabupaten Bogor, akhir Agustus 2025. Motor bebek yang saya kendarai menembus jalanan berbatu dan licin. Lengan terasa pegal, hati berdebar waswas, takut ban pecah, shockbreaker motor patah, atau rantai putus di tengah hutan. Yang paling mendebarkan adalah tiba-tiba muncul hewan buas di perjalanan

Waktu tempuh dari Cibinong ke gerbang Desa Wisata Malasari hampir 1 jam 56 menit, melewati jalan berliku, berbatu, dan licin. Dari gerbang ke Citalahab ditempuh sekitar 2,5 jam perjalanan lagi, melalui jalur hutan yang sempit dan menantang. Setiap tikungan memaksa fokus penuh, setiap jalan menanjak atau menurun menguji kesabaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya tiba di Citalahab pada Sabtu, 23 Agustus 2025, berkemah untuk menikmati malam dan menyambut pagi di desa yang tenang. Suasana malam itu syahdu. Kabut Halimun menutup lembah, angin pegunungan berdesir lembut, dan hanya terdengar aliran Sungai Cikaniki dan suara serangga hutan. Tidak ada api unggun, karena gerimis perlahan turun. Tenda sederhana yang hanya saya sendiri di dalamnya, menjadi saksi bisu malam yang tenang, memberi jeda dari hiruk-pikuk kota.

Keesokan paginya, semua lelah perjalanan dan dingin malam itu terbayar. Kabut pagi menyelimuti pepohonan, Sungai Cikaniki berbisik lembut, dan suara pekik owa jawa dari Hutan Halimun menambah syahdu suasana. Di lapang kecil yang diapit rumah-rumah gubuk terdengar tawa anak-anak-lima bocah tengah mengayuh sepeda baru, hadiah dari Bupati Bogor Rudy Susmanto sehari sebelumnya.

ADVERTISEMENT

Sebanyak 422 sepeda dibagikan gratis oleh Pemkab Bogor untuk anak-anak sekolah dasar di Malasari. "Kalau satu keluarga ada dua anak SD, dapatnya cuma satu, biar kebagian semua," kata Asep (37), warga sekaligus pengelola ekowisata Citalahab Center, sambil tersenyum melihat anak-anak berlarian.

Citalahab bukan sekadar kampung, tapi pintu masuk untuk mengenal ekosistem Halimun. Sejak 1997, warga mulai mengembangkan ekowisata dengan bimbingan akademisi dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

"Karena kita berbatasan langsung dengan kawasan konservasi, konsepnya jelas: wisata berbasis konservasi," ujar Asep saat berbincang dengan detikjabar.

Kini, pengunjung bisa trekking menyusuri hutan, mengamati burung, atau berburu glowing mushroom yang hanya muncul di titik-titik tertentu saat malam hari. Setiap langkah membawa sensasi dekat dengan alam, sekaligus pembelajaran tentang keseimbangan ekosistem.

Homestay dan Kehangatan Warga

Sebanyak 33 kepala keluarga menyediakan homestay bagi wisatawan.

"Satu rumah biasanya ada tiga kamar, dua di antaranya disterilkan untuk tamu. Tarif per kamar Rp75 ribu-Rp150 ribu, atau Rp700 ribu kalau satu rumah untuk rombongan. Untuk makan Rp35 ribu sekali, snack Rp15 ribu," jelas Asep.

Homestay di Citalahab bukan sekadar tempat menginap, tapi ruang berbagi pengalaman. Wisatawan bisa merasakan kehidupan kampung, menyantap makanan rumahan, dan merasakan keramahan khas Sunda. Tak sedikit pengunjung yang kembali hanya untuk bernostalgia.

"Ada yang sebulan sekali datang, katanya untuk mengobati rindu masa kecilnya," kata Asep.

Lebih dari destinasi wisata, Citalahab mengajak pengunjung menjadi bagian dari alam. Warga bertindak sebagai pemandu, membuka jalur trekking, hingga mendampingi penelitian. Lebih dari sepuluh guide lokal siap mengantarkan anda memasuki Halimun dengan segudang misteri alam.

"Pengunjung ke sini rata-rata ingin dekat dengan alam. Ada yang bird watching, trekking, atau penelitian. Jadi peran kita bukan hanya melayani wisatawan, tapi juga menjaga keseimbangan agar alam tetap lestari," jelas Asep.

Di tengah kabut pagi yang menebal, tawa anak-anak bersama sepedanya menjadi musik yang menyatu dengan hutan dan sungai. Aroma tanah basah, suara burung, dan desiran air menciptakan pengalaman yang sulit ditemukan di kota.

Menepi sejenak di Citalahab bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan batin, mengingatkan bahwa alam dan manusia bisa hidup berdampingan dalam harmoni.

(sud/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads