Bagi para pemancing, pesisir Loji di Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi bukan cuma tempat melepas kail, ia adalah surga dengan pemandangannya yang eksotis nan indah.
Barisan batu karang hitam yang menjorok ke laut Teluk Palabuhanratu menjadi panggung alam yang sempurna untuk menaklukkan kakap merah, tongkol kue, kerapu, hingga Baronang.
"Kalau ke tengah sedikit, banyak yang nyangkut. Kakap merah sering, terus tongkol kue, bakuku, baronang, leloncong, kerapu, ekor kuning, sekartaji juga kadang dapet," ujar Dede Sunandar, pemancing lokal asal Mariuk yang hampir tiap pekan menyambangi pesisir Loji, Selasa (8/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mayoritas ikan karang. Arusnya enggak terlalu ganas, cocok banget buat mancing siang maupun malam," imbuhnya.
Saat ombak sedang tenang, para pemancing bisa berdiri di batu-batu karang yang licin dan tajam, melempar joran ke celah-celah laut biru. Sebagian datang sendirian, sebagian lagi berombongan, seperti Baim dari Bogor, anggota komunitas mancing air laut yang rutin menjajal Loji.
"Saya ke sini tiga sampai empat kali setahun. Lokasinya enak banget, tenang, bersih, ikannya juga banyak," ujar Baim.
"Kalau udah beres mancing, biasanya saya naik ke atas, bersihin badan, duduk di vihara. Adem banget suasananya," sambungnya.
Rendi, pemancing dari Sukabumi Kota, punya cara lain menikmati tempat ini. Baginya, Loji lebih dari sekadar spot pancing.
"Tempat ini punya rasa," tutur Rendi.
"Kadang saya sempatin naik ke vihara dulu buat doa, baru turun ke karang. Ada ketenangan yang susah dicari di tempat lain," lanjutnya.
![]() |
Namun siapa sangka, tempat favorit para pemancing ini justru berawal dari kisah spiritual. Di balik tebing dan rimbun pohon di puncak bukit Loji, berdiri sebuah batu raksasa yang membujur seperti sosok Buddha tidur. Kepala dan tubuhnya tampak tergolek, menghadap Samudra Hindia.
Batu inilah yang diyakini sebagai titik awal berdirinya Vihara Dewi Kwan Im. Bunda Airin, perempuan berdarah Thailand yang menetap di Malang, mengaku mendapat wangsit berulang dalam mimpi untuk membangun tempat ibadah Dewi Kwan Im di selatan Jawa. Setelah sempat mencari ke berbagai tempat, langkahnya terhenti di Loji.
"Pas Mama Airin lihat, langsung bilang ini tempatnya. Katanya, bentuk karangnya itu seperti Buddha tidur. Cocok sama mimpi dia," kenang Prabu, menantu Bunda Airin yang kini mengelola vihara.
Sejak itu, pembangunan dimulai. Patung utama Dewi Kwan Im didatangkan dari Singapura. Tangga dibangun menyesuaikan kontur bukit tanpa mengubah bentuk batu. Kompleks altar dan pendopo disusun mengelilingi karang, bukan menyainginya.
"Kalau Mama dulu bilang, jangan banyak ubah bentuk alam. Bangun menyesuaikan karang," ujar Papih, tokoh senior pengelola vihara yang sudah terlibat lebih dari dua dekade.
Kini, batu Buddha tidur itu tetap berada di tempatnya. Tak dipagari, tak dijadikan monumen, tapi dihormati sebagai pusat energi spiritual. Vihara Dewi Kwan Im berkembang menjadi rumah spiritual yang terbuka bagi siapa pun, dari latar belakang apa pun.
Kompleks ini memiliki sepuluh altar dan pendopo:
1. Dewa Bumi (Thu Thi Pa Kung)
2. Dewi Bumi
3. Dewi Sri
4. Dewa Materya (Julai Hud)
5. Dewi Kwan Im
6. Pendopo Eyang Semar
7. Pendopo Eyang Prabu Siliwangi
8. Altar Sang Buddha Siddharta Gautama
9. Dewa Se Mien Fo (Dewa Empat Wajah)
10. Pendopo Kanjeng Ibu Ratu Roro Kidul
Lebih dari 30 warga lokal bekerja sebagai penjaga altar, pemandu, hingga petugas kebersihan. Di sisi bawah, deretan batu karang tetap terbuka untuk siapa saja: peziarah, nelayan, dan pemancing.
(sya/yum)