Belakangan ini, library space atau tempat khusus yang memadukan konsep antara perpustakaan dengan tempat untuk nugas atau sekedar bersantai ria. Di Kota Bandung ada banyak ragam library space dengan konsep unik, estetik, serta menjadi tempat untuk menyendiri. Salah satunya, yakni The Room 19 yang berlokasi di Jalan Dipatiukur Nomor 66 C, Lebakgede, Kecamatan Coblong, Kota Bandung.
Meski terlihat mungil dari kejauhan, namun library space yang baru beroperasi sejak Desember 2023 ini seketika langsung mencuri atensi warganet di media sosial. Apalagi, The Room 19 hadir lewat konsep industrial dan sedikit ornamen kayu dengan perpaduan warna putih, kuning, dan hijau, sehingga terasa menenangkan saat menginjakkan kaki di tempat ini.
Mimpi Jadi Nyata
![]() |
detikJabar lalu berbincang banyak dengan Reiza Harits, salah satu founder dari The Room 19 sembari menikmati alunan lagu klasik yang menenangkan. Selama kurang lebih satu jam, Reiza pun menuturkan bagaimana seluk-beluk kisah terbentuknya The Room 19 yang bermula dari sekedar mimpi belaka di bangku perkuliahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memiliki hobi membaca sedari kecil, nyatanya membuat Reiza berharap ada perpustakaan yang lebih dari sekedar tempat membaca. Bukan tanpa alasan, alumni Hubungan Internasional Unpad angkatan 2011 ini berpendapat jika perpustakaan juga merupakan ruang bertemunya ide dan gagasan dari setiap individu.
"Perpus kan kadang-kadang identik sama (suasana) hening, padahal sebenernya perpustakaan itu gimana caranya (bisa jadi tempat) kita bertukar ideas dan gagasan lewat obrolan. Hal itu, nggak bakal mungkin tercipta kalau nggak ada obrolan, kan?" ujar pemuda yang akrab disapa Eja saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.
Perlahan tapi pasti, mimpi Eja tersebut lantas terwujud saat dirinya terlibat dalam sebuah proyek bersama Alia Sarastita dan Prayogo Edo. Walau bermula dari hubungan kerja, siapa sangka jika pertemuan mereka berhasil menelurkan ide untuk membangun The Room 19, hanya berbekal dari kesamaan hobi.
"Ideas (membuat perpustakaan) udah ada dari waktu (aku) kuliah, cuma untuk kita (bersama-sama) mulai (serius) ngerencanain sampai eksekusi itu udah dimulai dari Mei sampai Juni tahun lalu," tambahnya.
Kemudian, Eja pun membeberkan alasan pemilihan lokasi The Room 19 yang begitu unik dari kebanyakan library space di Kota Kembang. Selain berada tepat di jantung berbagai kampus ternama, The Room 19 juga berhasil menyulap dua bangunan kosong di lantai atas ruko menjadi sebuah tempat yang terasa privat dan menenangkan.
"Pada akhirnya, kita lebih cocok (memilih tempatnya) pas daerah sini karena lebih private. (Bahkan) ini itu sebenernya gabungan dari dua ruko, (sebab) kita waktu itu berpikiran bahwa benar-benar private, cukup naik tangga dan yaudah hanya kita doang," ungkapnya.
Menjadi Ruang Nyaman
Lebih lanjut, nama The Room 19 terinspirasi dari sebuah novel dengan judul serupa yang terdapat dalam drama Korea favorit Edo, berjudul Because This Is My First Life. Novel tersebut mengisahkan seorang istri yang menyewa sebuah kamar hotel agar mampu memiliki waktu sendiri, di tengah padatnya rutinitas sehari-hari.
"Cerita (novel Room 19) itu sebetulnya tragis. Tapi, yang (bikin) kita terinspirasi dan pengen juga kita bentuk (itu) kadang-kadang kan memang kita terlalu larut sama rutinitas sampai nggak ada waktu untuk merayakan diri kita sendiri," ungkapnya.
Alhasil, Eja pun menambahkan kemunculan The Room 19 memang sejalan dengan visi awal mereka. Yakni, menghadirkan ruang bagi siapa saja agar tetap merasa nyaman untuk menjadi diri sendiri, tanpa harus merasa sendiri atau kesepian.
Hal itu tercermin dari banyaknya stiker berisikan kesan dari para pengunjung di salah satu sudut ruangan. Ada yang mencurahkan pengalamannya, namun ada pula yang menuliskan harapan jika suatu saat kembali berkunjung ke The Room 19. Meski pada awalnya, kemunculan sudut kesan-pesan itu sama sekali tak pernah dibayangkan.
"Jadi, pada akhirnya (kemunculan sudut kesan-pesan) itu ditafsirkan lain sama temen-temen (pengunjung) dan kami sih seneng-seneng aja. Karena, lebih kaya aja yah secara experience teman-teman bisa dateng dan kita pun (sebagai pengelola) bisa melihat harapan atau juga kesan dari mereka," tambahnya.
Seluruhnya Koleksi Pribadi
![]() |
Melansir dari akun Instagram resminya @the__room19, detikers bisa melihat ribuan koleksi buku fiksi klasik dan kontemporer, maupun non-fiksi dengan tema seputar sosial humaniora. Namun, percaya atau tidak, buku-buku tersebut merupakan koleksi pribadi dari masing-masing founder The Room 19 dengan spesifik genre yang berbeda.
"Soalnya beberapa temen kadang-kadang (khususnya) di Instagram atau yang dateng langsung suka nanya rekomendasi buku, kan. Biasanya, kalau ada yang nanya (buku) fiction (fiksi) itu dilempar ke Edo, buat yang pengen nanya buku tentang self-dev (pengembangan diri) biasanya mereka (tim) ngelempar ke aku," ungkapnya.
Jelas saja, baik itu Eja maupun Alia dan Edo mengaku sempat merasa kehilangan akibat buku-buku kesayangannya sudah jauh dari genggaman. Namun, lambat-laun mereka bertiga mampu untuk menghadapinya sebab mendapat respons positif dari para pengunjung.
"Tapi, seru aja itu proses (melewati) letting go (melepaskan)-nya kami juga dan ternyata impas kok sama surat dari temen-temen yang ngerasa 'Kak, makasih banget bukunya. Ngebantu banget..!' atau ada temen-temen yang menafsirkan bukunya itu dengan perspektif yang lebih kaya lagi," tambahnya.
Lebih Dari Sekedar Tempat Baca
Tak hanya sebatas 'teman' di kala sendiri, The Room 19 juga secara serius ingin menjadi 'the next of library space' di Bandung melalui serangkaian aktivitas menarik yang beragam. Uniknya, mereka memilih satu peristiwa menarik di setiap bulannya dan terdapat proses kurasi dengan buku-buku yang memiliki tema serupa.
"Jadi, kita tuh juga pengen sebenernya merayakan buku (itu) tidak memperlakukannya sebagai benda mati, tapi sebagai perwujudan dari pikiran kita. Karena mau gimana pun, manusia punya pikiran, ide, dan gagasan yang hidup," tegasnya.
Alhasil, detikers bisa melihat sebuah rak khusus dan papan interaktif yang disesuaikan dengan tema setiap bulannya. Bahkan, The Room 19 kerap pula menjadi tempat berkumpulnya sejumlah komunitas untuk menggelar kegiatan-kegiatan unik, seperti art workshop, bedah buku, diskusi, hingga menonton film bersama.
"Ada temen-temen yang punya spesialisasinya dan kita mungkin belum mampu memfasilitasinya itu sendiri. Jadi, why not (mengapa tidak) untuk bekerja sama dengan mereka yang sudah jauh lebih berpengalaman? Makanya, kami open (terbuka) agar tempat ini jadi makin hidup," pungkasnya.
Sistem Reservasi
Nah, jika penasaran dan ingin berkunjung ke The Room 19, perlu diingat karena library space ini menerapkan sistem reservasi. Caranya pun terbilang mudah, detikers cukup mengirimkan pesan melalui Instagram @the__room19. Lalu, mengisi identitas diri serta memilih tiga shift atau waktu berkunjung yang diinginkan, yakni A (pukul 10.00-14.00 WIB), B (pukul 14.00-18.00 WIB), dan C (pukul 18.00-22.00 WIB).
Soal harga, detikers jangan khawatir! Sebab, hanya dengan Rp35.000 untuk umum dan Rp25.000, untuk mahasiswa, kalian bebas sepuasnya membaca buku di tempat, menikmati teh panas aneka rasa, serta terdapat pula alat lukis maupun board game untuk dimainkan. Bahkan, The Room 19 juga menjual berbagai jenis kudapan untuk menemani waktu sendiri.
Lalu, selayaknya perpustakaan pada umumnya, The Room 19 juga memberi kesempatan setiap pengunjungnya meminjam sejumlah buku untuk dibawa pulang. Lewat sistem peminjaman selama seminggu, detikers cukup merogoh kocek sebesar Rp10.000 per satu buku nasional dan Rp20.000 per satu buku impor.