Gurita yang ditempatkan di sebuah akuarium ini, akan memilih antara dua kotak yang sudah ditandai dengan bendera negara yang akan bertemu di lapangan.
Dikutip dari detikInet, Paul memberikan ramalan delapan kali dengan akurat membuat banyak orang terkesima dengan kemampuannya.
Namun bila dibahas secara hitung-hitungan matematika, ternyata apa yang dilakukan Paul Si Gurita itu tidak terlalu luar biasa.
Dilansir dari BBC, Paul Si Gurita memprediksi dua kemungkinan menang atau kalah. Ia punya 1/64 kemungkinan dari memprediksi enam pertandingan dengan benar - 1/2 dari memprediksi pertandingan pertama dengan benar, 1/4 dari prediksi dua pertandingan pertama, 1/8 pertandingan dari tiga pertandingan pertama, dan selanjutnya. Kemungkinan Paul memprediksi dengan benar tujuh pertandingan hingga ke final adalah 1/128.
Chris Budd, profesor matematika terapan di University of Bath, mengatakan manusia (sekalipun yang berpengalaman) bisa kesulitan memprediksi hasil pertandingan sepakbola. Namun ketika menggunakan matematika, prediksi itu menjadi lebih mudah dilakukan.
"Kalau kamu melempar koin dan kepala yang terpilih selama enam kali, itu tidak mungkin. Akan tetapi, ini tidak mirip memprediksi nomor lotere mana yang akan dimenangkan dengan kemungkinan 1/14 juta," tuturnya.
"Matematika bisa sangat mengerikan ketika terlihat bisa memprediksi sesuatu. Kamu bisa memprediksi matematika untuk kejadian di masa depan. Saat aku naik pesawat, misalnya, aku tahu aku tidak akan jatuh karena matematika memprediksi pesawat tidak akan seperti itu. Tapi bukan berarti aku seorang peramal," jelasnya.
Menurut David Spiegelharter, Winton Professor of the Public Understanding of Risk di Cambridge University mengatakan hal serupa. Tidak ada yang istimewa dari ramalan Paul Si Gurita, bahkan ia beranggapan itu hanya sebuah keberuntungan.
Ia menganalogikan pengalaman ini dengan sebuah koin. Ketika koin memberikan hasil yang sama sebanyak 9-10 kali, ini bukan berarti koinnya istimewa tapi ini akan memberi kesan spesial pada orang yang melemparkan koinnya. Ini dikarenakan persepsi manusia soal kemungkinan tidak begitu baik.
"Persepsi kita tentang bagaimana kemungkinan terjadi itu tidak baik, ini bukan bagian dari karakteristik manusia. Matematika soal kemungkinan hanya berkembang 300 tahun terakhir atau lebih," jelasnya.
Spiegelharter menjelaskan, bahwa manusia sebaiknya juga melihat peristiwa peramalan yang dilakukan hewan lain. Kemudian, bandingkan bagaimana hasil ramalannya pada pertandingan tersebut.
"Ini seperti melihat rekaman pegolf yang melakukan hole-in-one. Kita hampir tidak pernah melihat ketika pegolf melakukan ayunan dan bolanya tidak masuk. Apa yang akan berbeda, seandainya jika pegolf mengatakan itu akan terjadi sebelumnya," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di detikInet dengan judul Matematika di Balik Prediksi Akurat Paul Si Gurita di Piala Dunia 2010 (wip/orb)