Namanya Sidik Jafar, tapi sering dipanggil Jafar Sidik. Sosoknya di Kabupaten Sumedang kini dikenal sebagai politisi. Ia adalah Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Sumedang.
Namun, di balik keaktifannya sebagai politisi, Jafar punya cerita yang menarik. Ia adalah salah seorang legenda hidup Persib Bandung.
Pria 62 tahun asal Desa Sukaratu, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang itu adalah mantan pemain Persib di era 1980-an. Detikjabar belum lama ini berkesempatan berbincang seputar masa lalu Jafar dan lika-liku kehidupannya dengan dunia sepak bola.
Jafar terlahir dari kedua orang tua yang jauh dari dunia sepak bola. Ayahnya seorang guru sekaligus petani, sedangkan ibunya petani. Jafar terlahir menjadi pesepakbola karena bakat alami yang turut ditopang faktor lingkungan.
"Rumah saya itu dekat lapang sepak bola, jadi saya sedari kecil sudah bermain bola dan suka sepak bola," ungkap Jafar.
Ia lalu jauh menerawang mengenang masa-masa kecilnya saat bermain sepak bola di kampungnya itu. Saat itu, bermain sepak bola jauh dari kata mewah, peralatan yang dipakai pun alakadarnya.
"Dulu itu, kalau main bola, bolanya itu benjol dan kulit bolanya itu kalau terkena air jadi berat, pokoknya main bola itu seadanya," kenang Jafar sambil tertawa.
Meski alakdarnya, Jafar sangat menikmati masa kecilnya dengan dunia sepak bola. Apalagi, bakat Jafar dalam sepak bola sudah membara sejak kecil. Saat duduk di bangku kelas 6 SD misalnya, Jafar telah mengantarkan timnya menjadi juara pada ajang kompetisi sepak bola tingkat SD se-Kabupaten Sumedang.
"Ya itu karena saya sering main bola di lapangan dekat rumah, jadi skill saya itu terbentuk di sana," terangnya.
Jafar pun terus tumbuh seperti anak-anak lainnya. Di saat bersamaan, dunia sepak bola sulit dilepaskan dari kesehariannya hingga berujung menjadi pesepak bola.
Menariknya, sebelum beprestasi di dunia sepak bola, Jafar memiliki presfasi pada bidang lain, yakni cabang olahraga (cabor) atletik. Ia berhasil menyabet emas dalam cabor lari 100 meter pada Pekan Olahraga Daerah (Porda) untuk mewakili Jawa Barat.
"Saya saat itu mencatatkan waktu 11,03 detik untuk lari 100 meter dan saya juara waktu itu," terangnya.
Kendati demikian, kariernya dalam bidang atletik tidak ia lanjutkan. Ketertarikannya pada dunia sepak bola lebih menarik minatnya ketimbang karier apapun.
Dalam dunia sepak bola, Jafar merangkak dari nol. Dunia sepak bola mulai serius ditekuni dari mulai kompetisi antardesa.
"Dulu setiap setiap mau memperingati 17 Agustus kan suka ada kompetisi sepak bola antar desa, nah saya selalu ikut mewakili desa saya dan desa saya itu selalu jadi juaranya," kenang Jafar.
"Kalau desa saya juara, saya itu sampai dibopong menggunakan sisingaan," sambungnya.
Namun hasrat menjadi pesepak bola tak sejalan dengan keinginan orang tuanya. Ia ditentang orang tuanya. Mereka lebih menginginkan Jafar jadi guru. Jafar pun manut dan akhirnya masuk ke sekolah guru, yakni Sekolah Guru Olahraga (SGO) dalam kurun 1978-1979.
Entah mengapa, dunia sepak bola selalu menghinggapi Jafar. Saat di SGO itu, Jafar kembali diminta turut serta dalam kompetisi antar KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) seluruh Indonesia.
"Saya mewakili KNPI tingkat Kabupaten, kemudian mewakili KNPI tingkat Jawa Barat, hingga menjadi juara di tingkat nasional pada ajang itu," paparnya.
Dilirik Persib Bandung
Singkat cerita, setelah lulus dari SGO, Jafar sempat menjadi guru SMP di kawasan Cadas Ngampar, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang. Namun lagi-lagi ia tidak bisa lepas dari dunia sepak bola. Sepak bola seolah selalu menghampirinya.
(orb/orb)