Gaya dan Perbedaan Penampilan dalam Dua Kali Debat Paslon Pilgub Jabar 2024

Jawa Barat

Kenali Kandidat

Gaya dan Perbedaan Penampilan dalam Dua Kali Debat Paslon Pilgub Jabar 2024

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Rabu, 20 Nov 2024 15:32 WIB
Debat kedua Pilgub Jabar 2024.
Foto: Devteo Mahardika
Bandung -

Masing-masing calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat telah unjuk paparan dan programnya dalam Debat Pilgub Jabar 2024 pada (11/11) dan (16/11) lalu. Keempatnya tampil dengan branding masing-masing, ada yang unjuk kekompakan, banyak memaparkan data, dan ada pula yang tampil dengan nilai filosofis budaya.

Namun yang menarik, Pengamat Komunikasi Politik dan Dosen Universitas Islam Bandung (Unisba), Muhammad E Fuady melihat adanya perbedaan dalam dua kali debat Pilgub Jabar. Pada debat kedua, masing-masing paslon dinilai lebih berani mengkritisi satu sama lain.

"Ada perbedaan performance di kedua debat. Kalau debat pertama cenderung main aman. Kalau debat kedua lebih hidup, nampaknya masing-masing paslon nggak malu untuk mengemas kritik mereka pada paslon lainnya. Tapi masih aman, tidak kemudian membuat friksi di luar forum debat," kata Fuad.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu bagaimana kekuatan keempatnya dilihat dari penampilan saat debat pekan lalu? DetikJabar telah merangkum ulasannya, dari pandangan sang pengamat.

Acep-Gita: Paslon dengan Dua Karakter Berbeda

Paslon Cagub dan Cawagub Jabar Acep-Gita di debat kedua.Paslon Cagub dan Cawagub Jabar Acep-Gita di debat kedua. Foto: Devteo Mahardika/detikJabar

Paslon nomor urut 1, Acep Adang Ruhiat dan Gitalis Dwinatarina sebetulnya tampil cukup menarik. Acep yang konsisten mengenakan baju warna hijau dan peci, sementara Gita selalu tampil mengenakan baju dan kerudung warna merah muda.

ADVERTISEMENT

Fuad menilai penampilan keduanya baik dalam debat pertama maupun kedua, mampu merepresentasikan kelompok religius dan perempuan. Hanya saja, ada beberapa catatan yang membuat pasangan ini kurang all out.

"Gaya komunikasi pak Acep kurang dinamis, agak monoton, memuat narasi yang terkesan tekstual, dan minim improvisasi. Mungkin ada kehati-hatian adan ada pakem-pakem yang harus dibaca. Itu mungkin koridor yang sudah ditetapkan. Tapi kan kalau debat, publik mungkin ingin melihat yang dinamis, tidak baca teks, dan eyecontact dengan publik," kata Fuad.

"Peran ini kemudian diambil oleh Gita yang lebih ekspresif, responsif, energik, dan bisa menutupi hal yang tidak dilakukan oleh pak Acep. Di debat kedua memang pak Acep terlihat sudah banyak evaluasi jadi tampil lebih dinamis, hanya sesekali baca teks, dan lebih cair dalam menjawab atau merespons pertanyaan kandidat lain. Gita juga tetap tampil maksimal," sambung dia.

Salah satu momen yang diamati Fuad, Cagub lain yakni Jeje Wiradinata sempat menyinggung tema intoleransi ke Acep, yang kemudian dijawab dan dianggap normatif. Jeje nampak bisa mengambil momen dengan unjuk track record dan seolah membuat Acep tak berdaya.

"Seharusnya, ya ini sekedar catatan dari saya, pak Acep juga bisa menonjolkan diri sebagai orang NU. Bisa menyatakan sebagai orang NU, sudah dari dulu toleran dan anti pada kelompok intoleran. Pak Acep harus lebih berani unjuk diri, di situ terlihat Pak Acep jadi tidak berdaya, padahal harusnya lebih berani dengan menjamin dirinya sebagai bagian dari NU, yang sangat toleran dan anti intoleran supaya tidak normatif," tutur Fuad.

Fuad mengamati bahwa Gita hadir untuk membuat debat semakin mencolok, dengan beberapa jargon yang lekat pada musik dangdut. Di antaranya Rungkad dan Jayanti, dua program yang dikenal publik sebagai judul lagu dangdut.

Sementara Acep menonjolkan identitas sebagai bagian dari kelompok religius dengan penggunaan ayat-ayat. Penampilan otentik dari Acep yang dikenal sebagai Kyai, kata Fuad memang harus ditonjolkan. Keduanya sebetulnya sama, ingin membangun keterikatan emosional.

"Gita juga tampil berani mengkritisi kandidat lainnya. Ia bisa memunculkan sebuah jargon atau branding yang easy listening atau catchy dan unik yakni Rungkad dan Jayanti. Itu memudahkan publik untuk mencerna dan itu bagus. Dia mungkin sudah terbiasa tampil sebagai selebritis, jadi tidak ada demam panggung. Gita ini mengambil peran cukup besar," ucapnya.

Jeje-Ronal: Paslon yang Dinilai Paling Kompak

Paslon Pilgub Jabar Jeje Wiradinata dan Ronal Surapradja di debat publik kedua Pilgub Jabar 2024Paslon Pilgub Jabar Jeje Wiradinata dan Ronal Surapradja di debat publik kedua Pilgub Jabar 2024 Foto: Ony Syahroni/detikJabar

Paslon nomor urut 2, Jeje Wiradinata dan Ronal Surapradja memang datang dari generasi dan latar belakang yang berbeda. Tapi, Fuad menilai keduanya tampil cukup prima dan kompak. Dari segi penampilan, keduanya juga masih konsisten menunjukkan diferensiasi atribut secara visual dengan warna hitam dan merah.

Fuad melihat diferensiasi dari cara berpakaian dan kekompakan itu bisa menarik perhatian publik. Salah satu hal identik lainnya yakni keduanya sering menampilkan identitas sebagai 'Jeje-Ronal', jarang menggunakan kata ganti 'kami'. Hal ini, kata Fuad, mungkin sebagai strategi untuk menguatkan identitas.

"Mereka tampil lebih dinamis, saling mengisi, enerjik, mungkin karena Jeje sebagai Bupati pernah ikut kontestasi dan Ronal adalah pesohor jadi biasa tampil di publik, mereka bisa menampilkan performance maksimal. Menurut saya keduanya berimbang dan itu bisa disukai publik, terlebih mereka tidak tekstual. Publik bisa memaknai itu sebagai penguasaan materi yang ingin disampaikan," ujar Fuad.

Jeje-Ronal juga terlihat menggunakan narasi budaya atau kearifan lokal. Salah satunya saat penutup debat mengungkapkan filosofi Padjadjaran, kesetaraan, Cirebon atau Caruban, dan lain-lain. Salah satu pesan yang cukup mencolok adalah mengambil spirit Babad Cirebon dan mengingat pesan Sunan Gunung Jati, 'Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin'.

"Jadi pakai narasi yang konteksnya lokal dan itu ikonik dikenal publik di Cirebon, untuk menunjukkan kedekatan dengan pemilih. Pak Jeje juga tampil berani mengkritisi paslon lain, bilang mereka normatif. Padahal sebetulnya belum tentu juga, tapi setidaknya berani unjuk gigi mematahkan paparan yang lain," kata dia.

"Statement Ronal bagus juga tentang intoleransi di Jabar. Ia menegaskan kalau warga Jabar itu toleran, tapi tidak berani menghadapi mereka yang intoleran. Jadi terlihat statement yang siap," imbuhnya.

Kekompakan yang mereka ciptakan, mampu membawa atmosfer positif di atas panggung. Fuad bahkan menilai dari keempat kandidat yang tampil, Jeje-Ronal tampil optimal dan saling mengimbangi. Meski bisa dibilang, mereka adalah kandidat yang relatif tidak diperhitungkan dengan elektabilitas rendah.

"Mereka justru tampil dinamis dan cair, keduanya juga mengedepankan narasi kultural dalam closing. Ini bagus dan mungkin Ronal sudah piawai akan apa yang bisa digunakan untuk menarik perhatian pemilih. Tapi kembali lagi ke masyarakat, mungkin mereka akan tertarik memilih yang lain setelah melihat debat. Tapi harus diakui di debat kedua mereka lebih maksimal. Ronal juga bisa berupaya untuk mengimbangi Jeje," tutur Fuad.

Syaikhu-Ilham: Punya Strategi Menarik Perhatian Calon Pemilih

Gaya pesawat terbang Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie jelang debat kedua Pilgub Jabar 2024Gaya pesawat terbang Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie jelang debat kedua Pilgub Jabar 2024 Foto: Devteo Mahardika/detikJabar

Paslon nomor urut 3, Ahmad Syaikhu dan Ilham Habibie dinilai punya strategi untuk menarik perhatian para pemilih. Soal pakaian, memang pada debat pertama dirasa tak begitu spesial sebab hanya menonjolkan warna biru khas NasDem dan putih khas PKS.

Sementara pada debat kedua mereka kompak pakai batik bercorak mega mendung berwarna biru. Namun, yang keduanya tonjolkan adalah gestur kekompakan seperti hendak terbang bersama.

"Jadi gaya ikonik yang jadi diferensiasi. Mereka bikin gaya panggung seperti terbang itu, mungkin ingin memunculkan romantisme masa lalu dan Jabar harus terbang lepas landas, mengangkasa. Mungkin itu message mereka pada pemilih," ucap Fuad.

"Tapi ada beberapa gestur, Ilham sesekali masukkan tangan ke saku. Kalau dalam ilmu public speaking, itu sebaiknya dihindari. Tapi kalau di Barat memang terbiasa dengan hal-hal yang terbuka, cosmopolit, mungkin Ilham masih terbawa di Barat. Kalau di sini kesannya kayak nggak sopan," imbuhnya.

Syaikhu dalam debat, memperkenalkan diri sebagai orang Cirebon dan menonjolkan sisi NU. Pesan itu dikatakan Fuad menandakan bahwa meski Syaikhu adalah Presiden PKS, tapi juga adalah seorang nahdliyin.

Sementara Ilham lebih menonjolkan sebagai putra Presiden BJ Habibie dan menonjolkan romantisme masa lalu. Bagian tangan kanannya mengenakan smart watch, dan tangan kirinya adalah jam milih mendiang sang ayah. Hal ini dinilai menggaris bawahi program menyelaraskan imtaq dan iptek.

"Pesan itu nampaknya ingin ditujukan ke orang pesantren. Karena PKS ini kerap dinilai eksklusif. Sementara Ilham menggaet pemilih era 90-an, khususnya bermaksud meraih pemilih yang tahu bagaimana suksesnya ayahnya saat membangun dirgantara di Bandung," kata Fuad.

Tapi, Fuad menilai Syaikhu sebagai kandidat yang pernah maju di Pilgub tahun 2018 dengan berkompetisi melawan Ridwan Kamil, seharusnya bisa lebih maksimal. Syaikhu dalam debat kemarin dinilai banyak terpaku pada teks.

Publik menurut Fuad, akan lebih suka dengan kandidat yang tidak tekstual dan tidak baca naskah di podium. Sebab mereka yang maju tanpa naskah bakal dianggap lebih matang dan lebih siap, terlebih pada saat itu yang diuji adalah visi-misi dan program yang disiapkan.

"Bukan berarti mereka tidak tampil baik, bagus sih, tapi memang harus bisa memoles dan tidak banyak pakai catatan. Tapi mereka bagusnya selalu ada solusi dari setiap pertanyaan, selalu nenyatakan ada 3 hal yang ditawarkan, itu kan sesuai visinya Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih," tutur Fuad.

Selain itu Syaikhu juga tampak ingin mendekatkan diri dengan pemilih, melalui penggunaan bahasa daerah lokal yang artinya sudah saatnya orang Cirebon jadi Gubernur Jabar. Namun satu sisi, Fuad juga menyoroti statement Syaikhu soal akan tegak lurus dengan pemerintahan Prabowo.

"Sebenernya yang lebih layak menyatakan hal itu kan Dedi Mulyadi ya, tapi ya message itu disampaikan bahwa mereka akan berkolaborasi dengan pemerintah pusat. Tapi itu jadi message bahwa mereka satu visi, karena dulu ada istilah Gubernur daerah bisa oposisi dengan pemerintah pusat, jadi ini ada penegasan," imbuhnya.

Dedi-Erwan: Penampilan Necis Penuh Filosofis

Paslon Pilgub Jabar Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan di Debat Kedua Pilgub Jabar 2024Paslon Pilgub Jabar Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan di Debat Kedua Pilgub Jabar 2024 Foto: Devteo Mahardika/detikJabar

Paslon nomor urut 4, Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan tampil cukup maksimal meski menurut Fuad keduanya tak cukup kompak. Hanya saja, Dedi tampil berbeda yang membuat perhatian tertuju padanya.

Seperti diketahui, Dedi Mulyadi biasanya mengenakan pangsi atau pakaian serba putih dengan ikat kepala Sunda warna putih. Namun pada debat pertama, Dedi tampil tanpa penutup kepala apapun.

Rambutnya disisir rapi dan sebagian rambut bagian depan dibuat jadi jambul. Malam itu, ia mengenakan setelan jas berwarna putih. Penampilan ini juga seragam dengan Erwan dan para pendukungnya yang hadir dalam arena debat, semua kompak pakai setelan jas.

"Dedi tampil necis dan modern, lalu usai acara dia kemukakan ada filosofi luhur dari warna putih dan rambut nyuncung ke atas. Dia gambarkan tokoh semar yang adalah seorang dewa tapi hidup di tengah masyarakat. Dia sering personifikasi dirinya seperti itu, ingin seperti tokoh itu. Kalau Erwan ya tampil lumrah seperti orang yang jadi kandidat politik dengan jas dan peci," kata Fuad.

"Di debat kedua semuanya pakai batik, tapi yang paling menonjol itu batik Dedi Mulyadi dengan menonjolkan filosofi semar di batiknya. Lalu Erwan menggunakan batik yang ada simbol gunungan. Dalam pewayangan, yang buat publik suka wayang itu ada nilai islami. Gunungan kalau dibalik jadi jantung, kalau semula adalah analogi dari kubah masjid. Jadi ingin sampaikan message ada sisi religiusitas dari Dedi-Erwan," imbuhnya.

Fuad melihat Dedi tetap seperti biasa, dengan pemaparan yang percaya diri dan dinamis. Kata-katanya tetap terstruktur meski tidak membaca teks, serta ada ungkapan pengalaman personal saat bertemu masyarakat.

Dedi juga tetap menonjolkan filosofi Sunda, salah satunya papat kalimat tunggal yang menegaskan 4 solusi sekaligus branding paslon nomor 4. Sayangnya, menurut Fuad, penampilan percaya diri Dedi tak diimbangi dengan Erwan yang terlihat menguasai panggung hanya dalam beberapa bahasan.

"Dedi juga cukup terampil berkomunikasi dengan publik, terlihat otentik dan cair seperti biasa. Tapi kang Erwan nampak demam panggung, kurang percaya diri, dan kedodoran dalam merespon pemaparan dan memberi jawaban. Ini kan membuat penampilan mereka jomplang," kata Fuad.

"Menurut saya Dedi Mulyadi jadi tampak 'menggendong' Erwan karena keduanya tidak imbang. Tapi Erwan cukup bagus menjawab stunting, cukup fasih, mungkin karena di Sumedang pernah ambil kebijakan itu," lanjutnya.

Ketiga paslon lain, Fuad mengamati mereka menggunakan filosofi sunda sebagai penutup statement debat. Tapi hal ini justru tidak ditemukan pada penutup statement Dedi-Erwan. Keduanya tampil berbeda dengan menonjolkan persoalan di Jabar dan solusinya.

Mungkin, kata Fuad, karena Dedi sudah cukup mem-branding dirinya sebagai pegiat sosial budaya dan kental dengan budaya Sunda. Jadi, rasanya ia tidak harus selalu menonjolkan filosofi Sunda.

Menanti Debat Pamungkas

Debat Pilgub Jabar terakhir akan dilaksanakan pada Sabtu (23/11) di Bogor. Berkaca dari debat pertama dan kedua, dinamika dan pemaparan nampak lebih hidup pada debat kedua. Bukan tak mungkin, kalau debat pamungkas akan tersaji lebih menarik untuk meyakinkan pemilih.

"Ada pergeseran strategi di debat kedua. Paslon lebih berani berhadapan dan langsung mengkritisi paslon lain. Jadi mereka tidak tampil normatif atau monoton, debat kedua lebih hidup," ujar Fuad.

Dalam catatan debat, Fuad mengatakan menjadi hal yang sah kalau masing-masing paslon saling mengulas track record. Asalkan, bukan menjurus pada hal-hal pribadi.

Salah satu momen yang ia cermati adalah panggung debat terasa mulai panas saat Syaikhu bertanya ke Dedi Mulyadi soal Tol Cikampek. Kata Fuad, momen menyingkap pengalaman terdahulu tersebut, menjadi pembahasan hangat warganet di media sosial.

"Sebetulnya sah-sah saja kalau menyingkap aurat dengan track record bukan personal attack. Pak Jeje misalnya menyatakan yang lain normatif, lalu mengkritisi mitigasi bencana nuklir yang kemudian sebagai teknokrat, pak Ilham menjawab itu dengan keilmuan. Presiden Prabowo juga dikatakan memang ingin mengembangkan itu," tutur Fuad.

"Ada hal yang tidak tepat dan jadi perbincangan netizen. Syaikhu saat itu ingin singgung ada bau di Tol Cikampek. Netizen mengolok-olok karena Cikampek itu bagian dari Karawang bukan Purwakarta. Tapi credit pointnya, jatuh kepada Dedi Mulyadi. Dia dianggap santun karena tidak menyalahkan Syaikhu," sambungnya.

Dinamika debat kedua yang dinilai lebih hidup, diharapkan kembali terjadi di debat pamungkas. Lebih bagus lagi, kalau debat besok jadi panggung saling adu argumen yang sehat, tapi merata pada seluruh paslon. Bukan hanya tampak kuat di salah satu paslon saja.

"Harapannya ini untuk paslon yang underdog, bisa punya kesempatan meyakinkan pemilih. Meski secara elektabilitas Dedi Mulyadi masih paling tinggi dari hasil survei dan kalau bisa di atas 70% memang fenomenal ya. Tapi apapun masih bisa terjadi," ucap Fuad.




(aau/tey)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Agenda Pilkada 2024

Peraturan KPU 2/2024 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024
2024
22 September 2024
Penetapan Pasangan Calon
25 September 2024- 23 November 2024
Pelaksanaan Kampanye
27 November 2024
Pelaksanaan Pemungutan Suara
27 November 2024 - 16 Desember 2024
Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara

Hide Ads