Di bawah naungan pepohonan rindang kawasan Jalan Ambon, tepatnya sekitar Gelanggang Olahraga (GOR) Saparua, berdiri gerobak sederhana bertuliskan "Orchard Ice Road" dan dipadati pembeli. Es Singapura di Saparua Bandung ini menawarkan paduan unik antara nostalgia jajanan klasik dengan cita rasa yang dianggap autentik oleh sebagian pembeli.
Di negara asalnya, es krim potong ini lazim dijajakan para uncle (paman) di sepanjang trotoar Orchard Road yang sibuk. Konsep serupa dibawa ke Bandung dengan sentuhan lokal yang kental. Berbeda dengan es krim pabrikan pada umumnya, es potong ini menawarkan tekstur padat namun lembut. Pengunjung dapat memilih balok es krim persegi yang diapit oleh selembar roti tawar pelangi yang empuk atau croissant yang renyah.
Meski mengusung nama "Singapura", akar bisnis es potong ini sejatinya bermula dari Pulau Sumatera. Andi, pedagang yang dengan cekatan memotong balok es krim di lokasi, menuturkan bahwa usaha ini merupakan pengembangan bisnis yang berawal dari Lampung dan telah merintis eksistensinya sejak satu dekade silam.
"Aslinya dari Lampung... berdiri dari 2014. Dulunya cuma di mal-mal, terus sempat vakum lama. Dari situ mengadakan lagi konsep mobile di jalan," jelas Andi, Selasa (9/12/2025).
Perjalanan bisnis ini mencerminkan kegigihan UMKM kuliner dalam beradaptasi. Setelah sukses membangun pasar di Lampung dan membuka cabang di Palembang, Bandung dipilih sebagai destinasi ekspansi selanjutnya. Di Bandung sendiri, gerobak ini baru beroperasi di tiga titik: dua cabang di Saparua, dan satu cabang menyusul dibuka beberapa hari setelahnya di Mal Paris Van Java (PVJ).
Inspirasi kuliner ini memang terinspirasi dari ikon kuliner jalanan Singapura. Namun, strategi adaptasi lokal diterapkan dengan memproduksi es krim sendiri di Lampung dan menggandeng pabrik roti lokal di Bandung untuk menyuplai bahan pelapisnya. Kolaborasi ini memastikan kualitas rasa tetap terjaga meski dijual dengan konsep kaki lima.
"Es krim produksi sendiri di Lampung, sistemnya dikirim ke Bandung. Kalau Roti dan Croissant pesan ke pabrik roti daerah sini (lokal)," ucap Andi.
Salah satu daya tarik utama selain rasa adalah harga yang terjangkau. Penikmat kuliner dapat membeli es krim roti varian reguler dengan harga Rp15.000. Sementara varian spesial seperti Durian, Moka, atau Kelapa dipatok Rp23.000, sedangkan varian Matcha Rp25.000. Bagi yang ingin mencoba sensasi lebih modern menggunakan croissant, harga dipatok mulai dari Rp27.000 hingga Rp35.000 untuk varian Matcha.
Keramaian pembeli di gerobak ini didukung oleh kualitas rasa yang menjadi daya tarik utama. Saat mencicipi varian Matcha (teh hijau), Fadil, seorang warga asli Bandung, memberi testimoni positif mengenai teksturnya. "Rasanya enak. Lembut, es krim matcha-nya terasa autentik," ungkapnya saat ditemui di lokasi.
Senada dengan Fadil, Ana, pengunjung asal Buah Batu, juga mengakui autentisitas rasa tersebut. Baginya, racikan matcha yang disajikan terasa pas di lidah, tidak terlalu kental susu, dan memiliki jejak rasa pahit khas teh hijau yang menyeimbangkan rasa manis.
"Matchanya tidak membuat mual dan tidak terlalu manis," tutur Ana.
Berdasarkan observasi, pilihan "roti tawar" tampaknya masih mendominasi selera pasar lokal dibandingkan pilihan "croissant". Fadil, misalnya, mengaku lebih memilih roti karena merasa lebih cocok jika es krim dipadukan dengan roti dibandingkan pastry.
Dengan harga yang kompetitif, Andi mengaku volume penjualan terbilang stabil. Pada hari kerja, rata-rata terjual 50 hingga 70 potong. Angka ini melonjak tajam saat akhir pekan atau ketika cuaca sedang terik, di mana penjualan bisa menembus hingga 150 potong dalam sehari.
Kehadiran Es Ala Singapura di Saparua membuktikan bahwa UMKM kuliner ini berhasil menawarkan kualitas rasa yang bersaing melalui strategi adaptasi dan kolaborasi lokal. Perpaduan antara resep es krim yang lembut, harga yang masuk akal, serta lokasi strategis di pusat aktivitas warga menjadikan jajanan ini salah satu titik kuliner yang diminati di Kota Kembang. Bagi wisatawan maupun warga lokal, es krim ini adalah sajian penyeimbang di tengah hiruk-pikuk kota, atau, mengutip istilah Andi, "bagus untuk mengembalikan suasana hati."
(sud/sud)