Mencicipi Odading Legendaris di Bandung dan Cerita Penjualnya

Mencicipi Odading Legendaris di Bandung dan Cerita Penjualnya

Nur Khansa Ranawati - detikJabar
Jumat, 11 Apr 2025 08:00 WIB
Penjual cakue dan odading di Pasar Cihapit Bandung.
Penjual cakue dan odading di Pasar Cihapit Bandung (Foto: Nur Khansa Ranawati/detikJabar).
Bandung -

Kawasan Pasar Cihapit Kota Bandung adalah salah satu tempat yang banyak disambangi wisatawan untuk berwisata kuliner. Kedai penjual aneka bakmie, roti hingga kopi yang 'hits' di kalangan anak muda banyak bermunculan.

Tren kemunculan kios dan keda-kedai makanan tersebut mulai muncul sejak tahun 2014-an, saat salah satu kedai kopi hits pertama, yakni Los Tjihapit hadir di tengah-tengah jongko pasar. Sejak saat itu, bisnis kuliner lainnya yang juga membidik pasar anak muda mulai tumbuh menjamur.

Di antara kedai-kedai tersebut, berdiri gerobak milik Alex (55), tak jauh dari pintu masuk utama Pasar Cihapit. Siang itu, Rabu (9/4/2025) deretan kue odading khas Bandung dan cakue yang dijual Alex tak sampai memenuhi separuh etalase gerobaknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

detikJabar berkesempatan mencicipi odading dan cakue yang telah dijajakan Alex sejak hampir tiga dekade lalu tersebut. Cakuenya memiliki tekstur yang garing dan renyah di luar, dan lembut di dalam.

Odadingnya juga memiliki tekstur serupa. Bedanya, odading memiliki rasa yang lebih manis. Keduanya lebih nikmat dikonsumsi dalam kondisi hangat.

ADVERTISEMENT

"Saya jualan sudah lama, dari tahun 1997. Tiap hari bikin adonannya dulu di rumah, lalu bawa gerobak ke sini," ungkap Alex. Pria yang tinggal tak jauh dari Pasar Cihapit tersebut mengamini bahwa saat ini kawasan sekitarnya ramai dikunjungi wisatawan.

Penjual cakue dan odading di Pasar Cihapit Bandung.Penjual cakue dan odading di Pasar Cihapit Bandung. (Foto: Nur Khansa Ranawati/detikJabar).

"Dulu nggak seramai sekarang pengunjunnya. Sekarang kan banyak tempat makan yang viral di Cihapit, jadi ramai. Apalagi kalau Sabtu-Minggu, penuh," ungkap Alex.

Alex adalah salah satu dari sejumlah pedagang makanan ringan yang telah lama berjualan di tempat tersebut. Meski saat ini jumlah wisatawan yang menjajal kawasan tersebut meningkat, namun dagangan Alex bernasib kebalikannya.

"Orang banyak yang datang, tapi ya yang jualan juga makin banyak. Jadi banyak saingan. Yang beli dagangan saya enggak seramai dulu," tuturnya seraya tersenyum.

Ia mengenang masa jayanya ketika dapat menjual berkali-kali lipat cakue dan odading dari saat ini. Alex mengatakan, dulu ia mampu menghabiskan dua karung adonan cakue dan odading dalam satu hari. Satu karungnya berisi 25kg adonan.

"Dulu sehari bisa habis 2 karung, jualannya juga cuma dari jam 6 pagi sampai jam 2 siang. Kadang malah pagi jam 10 sudah habis," jelasnya.

Kini, Alex kadang berjualan hingga menjelang waktu magrib, untuk menghabiskan adonan yang bahkan tak sampai separuh karung. Bila di musim libur seperti libur Lebaran saat ini, Alex bisa pulang lebih cepat dan menghabiskan adonan lebih banyak.

"Sekarang rata-rata paling cuma habis 7kg adonan. Kecuali kalau musim liburan gini, ya bisalah sehari abis sekitar 15kg," terangnya.

Ketika ditanya keunggulan odading dan cakue miliknya hingga mampu bertahan hingga 28 tahun, ia menyebut soal penggunaan bahan-bahan alami. Ia yang berjualan ditemani anak lelakinya tersebut mengaku tak pernah mencampurkan bahan pemanis buatan ke dalam adonan.

"Kadang ada yang pakai gula sodium (untuk adonan odading). Kalau saya selalu pakai gula asli. Untuk cakue, saya juga tambahkan bawang putih biar harum," ungkapnya.

Di awal berdagang, Alex mengingat bahwa ia masih menghargai satu buah odading dan cakue masing-masing senilai Rp50 perak. Lambat laun, harga mulai naik menjadi Rp75, Rp100, Rp1.000 dapat 3 potong, hingga sekarang di mana konsumen bisa memperoleh odading dan cakue seharga Rp10.000 untuk 8 potong.

"Sekarang mah bayarnya juga sudah bisa pakai QRIS," ujar Alex. Di gerobaknya bahkan tertempel sebuah sertifikat yang menyatakan bahwa dagangannya halal.




(mso/mso)


Hide Ads