Mi ayam merupakan salah satu kuliner khas Indonesia yang memiliki banyak penggemar dari berbagai kalangan. Cita rasa mi ayam yang khas serta bahan-bahan penyusunnya yang mudah beradaptasi dengan selera masyarakat menjadikannya terus eksis dan berkembang di berbagai daerah.
Hidangan mi ayam dapat ditemukan dengan mudah, baik di warung, restoran, maupun gerobak keliling. Menariknya, warna gerobak mi ayam sering kali diasosiasikan dengan asal pemilik usaha kuliner tersebut, meskipun tidak selalu menjadi patokan utama.
Makna Warna Gerobak Mi Ayam
Warna gerobak mi ayam kerap dikaitkan dengan daerah asal pemilik usaha kuliner ini. Berdasarkan arsip berita detikFood, berikut beberapa warna gerobak mi ayam beserta daerah yang biasa menggunakannya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biru dan Cokelat: Umumnya berasal dari daerah Jawa Tengah, khususnya Wonogiri.
Hijau: Lebih sering ditemukan di wilayah Jawa Barat.
Setiap pemilik usaha mi ayam memiliki resep khas yang diwariskan turun-temurun atau dikembangkan sendiri. Contohnya, mi ayam Wonogiri dikenal memiliki bumbu yang lebih kaya (lekoh) dan tidak menggunakan taoge.
Namun, penting untuk dicatat bahwa warna gerobak tidak selalu mencerminkan asal pemilik usaha maupun cita rasa mi ayam yang disajikan. Kelezatan mi ayam tetap bergantung pada selera masing-masing penikmat kuliner.
Lebih dari sekadar alat berdagang, gerobak mi ayam juga dapat menjadi simbol identitas kelompok pedagang. Hal ini dijelaskan dalam penelitian "Identitas Sosial Berbasis Mie Ayam (Studi Kasus Paguyuban Mie Ayam Donoloyo Wonogiri)" karya Widya Akbar Felayati dari UIN Syarif Hidayatullah. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa mi ayam dari paguyuban ini menggunakan gerobak berbahan kayu jati yang dilengkapi dengan logo serta Kartu Tanda Anggota (KTA).
Sejarah dan Perkembangan Mi Ayam di Indonesia
Menurut unggahan foto dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, mi ayam merupakan hidangan yang berasal dari kuliner Tionghoa. Namun, makanan ini tidak lagi ditemukan di daerah asalnya.
Sementara itu, dalam buku "Etnografi Kuliner Makanan dan Identitas Nasional" karya Adzkiyak, disebutkan bahwa mi ayam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Awalnya, mi ayam dibuat menggunakan daging babi. Namun, karena pengaruh kerajaan Islam yang dominan, daging ayam dipilih sebagai penggantinya.
Seiring berjalannya waktu, mi ayam mengalami berbagai inovasi sesuai dengan cita rasa khas di setiap daerah di Indonesia. Kepopulerannya dibuktikan dengan banyaknya pedagang mi ayam yang berjualan menggunakan gerobak maupun warung sederhana di pinggir jalan.
Selain itu, mi ayam juga semakin berkembang dengan berbagai variasi kreatif. Beberapa inovasi yang populer antara lain tambahan topping seperti bakso, ceker, jamur, dan pangsit. Bahkan, beberapa pedagang menciptakan mi ayam dengan warna unik menggunakan bahan alami agar tampil lebih menarik bagi pelanggan.
Artikel ini telah tayang di detikFood.
(elk/sud)