Mobil bak bertenda penjaja tahu bulat yang sering berkeliling kampung, ternyata tak hanya menjual kudapan tahu berbentuk bundar namun juga menjual makanan berbentuk ikan sotong, serta menjual galendo.
Galendo, kudapan khas Kabupaten Ciamis itu, kini telah resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Olahan berbahan residu minyak kelapa itu menjadi ciri budaya warga Ciamis. Memang dalam kebudayaan di daerah lain, dikenal pula bahan serupa yang disebut Blondo. Tetapi, galendo punya kebakuan cara pembuatan, rasa, dan tekstur sehingga membuatnya khas sebagai kudapan dari Ciamis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak kapan sih galendo ini diolah dan dinikmati warga Ciamis? Simak yuk penjelasannya.
Asal Usul Galendo
Pada abad ke-18, Bupati Galuh RAA Kusumadiningrat (1839-1886) menetapkan kebijakan penanaman pohon kelapa secara serentak di Tatar Galuh atau Ciamis kini.
Kelapa yang melimpah kemudian diolah secara tradisional. Di runah-rumah warga, kelapa diolah menjadi minyak kelapa atau Virgin Coconut Oil (VCO). Dalam bahasa Sunda, minyak bening inj sering disebut minyak Keletik. Ketika itu, ada pula pabrik pengolahan minyak kelapa.
Dalam proses pembuatan minyak itu, ada residu yang terendapkan ketika santan yang dimasak selama berjam-jam mulai memisahkan diri antara minyak kelapa dan residunya.
Residu itulah yang kemudian diolah menjadi kudapan enak bernama galendo.
Situs Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis menyebutkan bahwa yang menemukan galendo adalah Bupati sendiri ketika itu.
Dia melihat residu atau ampas yang mengendap di bawah minyak kelapa pada wajan bisa diolah menjadi kudapan dan bernilai ekonomis.
Nama Galendo, menurut situs tersebut, tersusun dari dua kata. "Gale" yang berarti sisa, dan "ndo" yang berarti makanan.
Warga kemudian semakin sering mengolah ampas minyak kelapa itu menjadi kudapan. Lama-lama, kudapan ini menjadi populer dan diwariskan turun temurun.
Nama Galendo dan Alternatif Maknanya
Menurut situs Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis, galendo tersusun dari dua kata: "Gale" yang berarti sisa, dan "ndo" yang berarti makanan.
Boleh jadi kata galendo merupakan bahasa Sunda dialek Galuh. Namun, ada alternatif makna lain untuk kata Galendo, jika merujuk pada kamus Bahasa Sunda yang umum.
Di dalam kamus Sundadigi, ada lema ungkapan yang populer di Sunda yang pengucapan dekat dengan Galéndo, seperti Gale dan Ndo. Ungkapan itu adalah Galégéh Gado.
Galégéh Gado itu bermakna seseorang yang ramah, ektrovert, segala dibicarakan, meski tidak dimasukkan ke dalam hati.
Situasi Galégéh Gado, boleh jadi seperti orang sedang menerima tamu, kerabat, atau teman yang kadang-kadang diwarnai dengan banyak pembicaraan dan kudapan. Bercengkrama sambil mengunyah camilan.
Galendo, mungkinkah itu camilan yang hadir dalam situasi Galégéh Gado?
Populasi Kelapa di Ciamis
Di Kabupaten Ciamis, kelapa merupakan tanaman dengan populasi yang banyak. Bahkan hingga tahun 2021, kelapa di Ciamis paling banyak di Jawa Barat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat menyebutkan, pada tahun 2021, lahan tanaman kelapa di Kabupaten Ciamis mencapai 32.570,23 hektare.
Ini lahan tanam paling luas, disusul Tasikmalaya seluas 31.394,70 hektare, dan Pangandaran seluas 25.390,38 hektare lahan kelapa.
Namun, pada tahun yang sama populasi kelapa di lahan yang terluas itu, oleh warga Ciamis dinilai sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Nana, pemilik UMKM Moro-moro Galendo Asli, di Kelurahan Cigembor, Kecamatan Ciamis yang nyaris 30 tahun membuat galendo menyebutkan populasi kelapa telah berkurang.
"Kelapanya kalau dulu di Ciamis banyak. Tapi sekarang sedikit jadi kelapa ini dari luar daerah bahkan ada yang dari Sumatera, disini ada yang menyediakan," katanya, dilansir detikFood.
Proses Pembuatan Galendo Khas Ciamis
Dilansir detikFood, proses pembuatan galendo ini salah satunya dilakukan oleh pengrajin galendo, Nana, di Kelurahan Cigembor, Kecamatan Ciamis.
Bagaimana proses pembuatan makanan ini?
Pertama ratusan butir kelapa dikupas dan diparut menggunakan mesin. Langkah ini membutuhkan waktu cukup lama dimulai sejak subuh.
Selanjutnya, hasil parutan kelapa tersebut disaring menggunakan mesin dan diambil saripatinya. Saripati tersebut kemudian diendapkan.
Setelah diendapkan beberapa jam, saripati kelapa itu kemudian dimasukan ke dalam wajan besar. Lalu dimasak menggunakan tungku dengan bahan bakarnya dari sabut dan batok kelapa.
Proses memasak ini memerlukan waktu hingga 4 jam. Saripati itu dimasak sambil harus terus diaduk agar tidak menempel di wajan dan gosong.
Ketika saripati itu terlihat berwarna kuning maka akan terlihat galendo dan minyak kelapa terpisah kemudian disaring sampai minyaknya tiris ke bawah ember.
Tahap akhir galendo yang sudah terpisah dengan minyak ditimbang dan dimasukan ke dalam wadah besek. Untuk mengeringkan galendo sampai minyaknya hilang, tahap akhir adalah menekan atau dipress menggunakan alat khusus selama beberapa jam.
Ketika Galendo sudah kering baru siap dikemas. Dulu biasa dikemas menggunakan besek, tapi sekarang dikemas ke dalam wadah plastik. Ada dua jenis Galendo yang biasa dijual, batangan atau bubuk. Untuk harganya Rp 80 ribu per kilogram.
Itu dia asal-usul galendo hingga cara pembuatannya. Semoga membantu!
(tya/tey)