Memori ingatan seketika terseret kembali ke masa lampau saat melihat festival di Kampung Wates, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka.
Event yang bertajuk Pasar Jajanan Warga itu menampilkan sejumlah kuliner jaman 'baheula' alias jadul. Tak hanya kuliner yang serba jadul, tempat makanannya pun menggunakan alas tradisional.
Baca juga: Asal-usul Cireng, Jajanan Kenyal Khas Sunda |
Namun, jika pengunjung ingin menjajal kuliner di festival tersebut, disarankan menukarkan mata uang rupiah terlebih dahulu dengan Mpleng. Pasalnya, mata uang resmi di Indonesia itu tidak berlaku di tempat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ya, alat transaksi yang digunakan di Pasar Wakare itu adalah Mpleng. Mpleng merupakan 'Mata Uang' yang terbuat dari tanah liat yang telah dibakar. Untuk mendapatkan alat transaksi sah di Pasar Wakare ini pengunjung bisa menukarnya dengan uang rupiah, di kasir.
Sama seperti rupiah, Mpleng juga memiliki beberapa pecahan, mulai dari 1 Mpleng, 5 Mpleng hingga 10 Mpleng. Jika dirupiahkan 1 Mpleng merupakan Rp 1 ribu, 5 Mpleng merupakan Rp 5 ribu dan 10 Mpleng merupakan Rp 10 ribu.
Dengan menggunakan 'Mata Uang' khas Pasar Wakare, pengunjung bisa membeli berbagai jenis kuliner, seperti rengginang, opak, jalakotek, pecel lontong, gorengan, es, kopi, dan lain-lain.
"Ya betul, Mpleng merupakan alat transaksi yang sah di Pasar Wakare ini. Penukarannya di sediakan juga di kasir. Ini (Mpleng) sebenarnya sering dipakai di acara JaF," kata penggiat Ekraf dari Jatiwangi art Factory (JaF) Ismal Muntaha, Minggu (16/10/2022).
Ismal Muntaha mengatakan, penggunaan Mpleng sendiri sebagai bentuk kampanye pihaknya untuk mengenalkan Majalengka sebagai kota Terakota.
Tak hanya untuk mengenalkan identitas daerah, event ini juga dicanangkan untuk mengenalkan jajanan-jajanan jaman dulu kepada generasi saat ini.
"Ini (Pasar) diadakan sama warga kampung Wates. Pasar tematik. Panganan lokal yang memang dibuat oleh warga. Jajanan zaman dulu. Penamaan Wakare sendiri karena kampung ini punya sejarah Wakare saat zaman Jepang dulu," ujar dia.
Panitia Pasar Wakare Iing Solihin menyampaikan, ke depannya event ini akan rutin digelar setiap hari Minggu. Untuk sementara, baru diisi oleh 15 stand, yang semuanya merupakan warga asli Kampung Wates.
"Nantinya setiap hari Minggu. Setiap hari juga sebenarnya ada, tapi hari pasarannya itu hari Minggu. Ke depan mungkin akan lebih banyak lagi stannya," jelas dia.
Sementara itu, salah satu pengunjung bernama Defri (30) mengaku tertarik datang ke Pasar Wakare setelah mendapatkan informasi dari media sosial. Ia tertarik karena alat transaksi yang digunakannya berbeda dengan di tempat lain.
"Tahu dari medsos. Iya unik acaranya. Terus ini kan semakin menguatkan kesan identitas Jatiwangi kota Genteng. Karena bahannya juga kan sama kaya bikin Genteng," ucap warga Desa Burujul Wetan, Jatiwangi itu.
(iqk/iqk)