Setiap tahun di tanggal 25 November kita memperingati Hari Guru Nasional sebagai bentuk penghormatan kepada sosok pendidik. Namun, tahukah kamu bahwa kata "guru" yang begitu akrab di telinga ternyata memiliki sejarah panjang dan filosofi mendalam di baliknya?
Istilah guru ini tidak muncul begitu saja, melainkan berkembang melalui pengaruh bahasa, budaya, dan nilai pendidikan yang terus hidup hingga sekarang. Inilah asal-usul kata "guru" yang jarang dibahas, berikut makna filosofis yang membuat profesi ini begitu dihormati.
Asal-usul Kata Guru
Banyak orang mengenal penjelasan populer bahwa kata "guru" berasal dari istilah Jawa, yakni kependekan dari "digugu lan ditiru", yang berarti dipercaya dan dicontoh. Filosofi ini sudah lama hidup dan dipahami sebagai gambaran ideal seorang pendidik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, jika menelusuri akar bahasanya, kata "guru" sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta. Dalam tulisan yang dimuat di laman uny.ac.id, Putu Sudira menjelaskan bahwa istilah guru terdiri atas dua suku kata: gu dan ru.
Gu merujuk pada "kegelapan" (awidya), sementara ru bermakna "terang" (widya). Dua makna ini menggambarkan perjalanan manusia sejak lahir hingga dewasa. Pada mulanya manusia berada dalam ketidaktahuan, lalu belajar dan berkembang menuju kondisi terang-yaitu pengetahuan.
Sosok yang lebih dulu mencapai titik "terang" kemudian membagikan pengetahuannya kepada orang lain. Dari proses itulah ia disebut guru, karena berperan membawa orang lain keluar dari gelap menuju terang.
Namun, ada catatan penting bagi siapa pun yang menyandang sebutan ini. Seorang guru tidak boleh berhenti belajar, sebab ketika ia berhenti berkembang, kemampuannya menerangi orang lain pun ikut meredup. Hal ini sejalan dengan gagasan Komarudin Hidayat yang dikutip Putu Sudira,
"Pendapat Rektor UIN Jakarta Prof. Komarudin Hidayat bahwa guru yang berhenti belajar harus berhenti mengajar sangat beralasan. Karena kemampuan untuk mentransformasikan 'gu' menjadi 'ru' akan kehilangan orientasi dalam waktu dan jamannya."
Makna Kata Guru dan Filosofi di Baliknya
Pemahaman akan asal-usul tersebut membawa wawasan baru bahwa setiap orang sebenarnya bisa menjadi guru. Selama seseorang mau keluar dari kegelapan pengetahuan, menyerap ilmu, lalu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, ia telah menjalani proses ke-guru-an.
Lebih jauh, ketika seseorang membagikan pengetahuan itu kepada orang lain agar ikut mencapai "terang", maka ia telah menjadi guru dalam makna hakiki. Maka dari itu, peran guru tidak selalu terikat pada ruang kelas. Ia bisa hadir sebagai orang tua, pembimbing, sahabat, senior, atau siapa pun yang memberi jalan bagi orang lain untuk memahami sesuatu.
Dalam perkembangannya, guru kemudian menjadi profesi formal yang memiliki lembaga, organisasi, hingga struktur kesejahteraan khas profesi. Guru membangun organisasi untuk meningkatkan kualitas pengajaran, menjalankan pengabdian, dan memperjuangkan hak-hak profesionalnya.
Tetapi, nilai "digugu lan ditiru" tetap menjadi esensi yang tak berubah. Menurut Putu Sudira, menjalani profesi guru juga berarti menghidupi falsafah Jawa: "glurug tanpa bala; sakti tanpa aji; menang tanpa ngasorake."
Falsafah itu dapat dimaknai sebagai kemampuan menghadapi tantangan tanpa bantuan berlebih, memiliki kekuatan tanpa mengandalkan senjata, dan memenangkan keadaan tanpa merendahkan pihak lain.
Praktik hidup seperti inilah yang membuat seorang guru benar-benar layak digugu dan ditiru. Guru tidak hanya mengajar lewat kata, tetapi melalui tindakan sehari-hari.
Guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Dalam Hymne Guru, terdapat bait terkenal yang menyebut guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa". Ungkapan ini tidak muncul begitu saja, melainkan lahir dari realitas sejarah masa lalu, ketika kesejahteraan guru masih jauh dari layak.
Dilansir detikJogja, mengutip Anas Basaruddin dalam Secangkir Kopi untuk Sang Guru (2023), sebutan pahlawan tanpa tanda jasa diperkirakan muncul pada era 1970 hingga 1980-an. Pada masa itu, menjadi guru adalah pekerjaan berat yang penuh tantangan.
Para guru harus mengajar dengan fasilitas yang sangat terbatas, dari gedung sekolah yang tak layak hingga akses pendidikan yang sulit dijangkau. Mereka dituntut untuk bersekolah tinggi, memiliki banyak pengetahuan, serta mengabdi tanpa batas waktu-namun imbalan yang diterima tidak selalu sebanding dengan perjuangannya.
Meskipun demikian, para guru tetap mengabdi. Mereka mengajar dari hati, memastikan murid-muridnya mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan ketika kondisi pribadi mereka tidak ideal.
Kini, keadaan perlahan berubah. Profesi guru semakin dihargai, dengan berbagai program pemerintah seperti pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang semakin membuka peluang kesejahteraan lebih baik. Meski tidak sempurna, penghargaan ini menunjukkan bahwa peran guru sebagai pembentuk masa depan bangsa mulai mendapat pengakuan.
Lebih dari Sekadar Pendidik, Guru sebagai Penuntun Peradaban
Jika menengok kembali pada akar katanya, guru bukan hanya seseorang yang menyampaikan materi pelajaran. Ia adalah pembimbing perjalanan manusia, menuntun dari ketidaktahuan menuju pemahaman, dari kebingungan menuju kejelasan, dan dari gelap menuju terang.
Peran itu tidak pernah sederhana. Guru adalah fondasi pendidikan bangsa, penggerak perubahan sosial, bahkan pengukir karakter generasi baru. Ia bisa menjadi sumber inspirasi, tempat bertanya, dan teladan dalam menyikapi hidup.
Dengan memahami asal-usul dan makna kata "guru", kita diingatkan bahwa profesi ini sangat luhur. Guru bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah perjalanan panjang yang menuntut kebijaksanaan, kerendahan hati, dan kemauan untuk terus belajar-sebab hanya mereka yang mau terang yang dapat menerangi.
(tey/tey)











































