'Guru Hebat, Indonesia Kuat', demikianlah tema Hari Guru Nasional tahun 2024. Tahun ini, HGN menginjak peringatannya yang ke-30.
Hari Guru Nasional sendiri diperingati setiap tanggal 25 November, berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.
Namun, seiring puluhan tahun peringatan Hari Guru Nasional berlangsung, tahukah detikers bagaimana asal-usul kata 'guru' dan apa maknanya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Betul, guru telah menjadi pekerjaan yang sangat tua yang dilakukan oleh manusia. Di berbagai belahan dunia, pekerjaan ini ada namun dengan nama yang berbeda.
Di dalam bahasa Inggris ada disebut educator, teacher, mentor; Di dalam bahasa Arab ada disebut ustaz, mu'allim, mudarris; Di dalam bahasa daerah Sunda, dikenal kata guru; Di dalam bahasa Indonesia dikenal guru, dosen, pendidik, pengajar, dan lain sebagainya.
Asal Usul Kata Guru
Yang dikenal tentang asal-usul kata guru pastilah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Jawa, bahwa guru adalah kependekan dari 'digugu lan ditiru' atau dipercaya dan dicontoh.
Namun, sebenarnya, kata guru berasal dari bahasa Sansekerta. Laman uny.ac.id pada tulisan yang dibuat Putu Sudira mengenai guru, disebutkan bahwa ada guru berasal dari dua suku kata. Yaitu 'gu' dan 'ru'.
Gu berarti kegelapan (awidya) dan Ru berarti terang (widya). Ini menunjukkan kondisi manusia pada saat lahir dan setelah belajar dari kehidupannya sendiri.
Pada mulanya, manusia tidak tahu apa-apa atau dalam kondisi gelap. Kemudian dia belajar sehingga menjadi tahu atau menuju ke kondisi yang terang.
Orang yang lebih dulu sampai pada titik 'terang', kemudian mengajarkan keterangan itu kepada orang lain, maka disebutlah dia guru karena membawa manusia dari situasi gelap ke situasi terang.
Namun ada syaratnya, sebagai guru tidak boleh upayanya untuk belajar agar menjadi semakin terang terhenti. Artikel di laman Universitas Negeri Yogyakarta itu mengutip perkataan pemikir Komarudin Hidayat.
"Pendapat Rektor UIN Jakarta Prof. Komarudin Hidayat bahwa guru yang berhenti belajar harus berhenti mengajar sangat beralasan. Karena kemampuan untuk mentransformasikan "gu" menjadi "ru" akan kehilangan orientasi dalam waktu dan jamannya." tulis Putu Sudira.
Makna Guru
Asal usul kata guru di atas memberikan wawasan bahwa setiap orang sejatinya bisa menjadi guru, yaitu dengan cara berpindah dari keadaan diri yang gelap dari pengetahuan, menjadi orang yang menyerap pengetahuan dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selebihnya, guru mengajarkan kepada orang lain untuk sama-masa menuju keadaan yang terang dengan pengetahuan yang senantiasa baru.
Pada sejarahnya, guru kemudian menjadi sebuah profesi yang sejajar dengan profesi-profesi lain dalam kehidupan kemanusiaan. Guru membentuk organisasi guru, memperjuangkan kesejahteraan guru, dan melembaga di bawah kementerian pendidikan.
Namun, kembali pada istilah 'digugu lan ditiru' atau dipercaya dan dicontoh, sejatinya begitulah seharusnya seorang guru. Menurut Putu Sudira, seorang guru bekerja "glurug tanpa bala; sakti tanpa aji; menang tanpa ngasorake".
Ungkapan itu merupakan falsafah Jawa yang dapat diartikan seperti ini: Menyambangi musuh tanpa bantuan orang lain, punya kekuatan tanpa senjata, dan menang tetapi tidak sampai merendahkan yang dikalahkan.
"Praktek kehidupannya menjadi digugu dan ditiru oleh masyarakat. Guru sebagai profesi diharapkan membentuk organisasi profesi yang bersifat independen. Organisasi profesi sebagaimana dimaksud berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat." tulis Putu Sudira.
Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Dalam Hymne Guru, ada bait yang mengungkapkan bahwa guru adalah patriot tanpa tanda jasa. Bait itu menyiratkan perjuangan guru pada masa lalu yang kehidupannya jauh dari kata sejahtera.
Namun kini, guru menjadi profesi yang dihargai. Banyak program pemerintah yang mengangkat status guru menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bahkan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dilansir detikJogja, mengutip Anas Basaruddin dalam Secangkir Kopi untuk Sang Guru (2023), julukan guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa diperkirakan ada sejak 1970 hingga 1980-an.
Menjadi guru ketika itu, merupakan pekerjaan yang berat luar biasa. Para guru di masa itu dituntut mengajar para siswa di tengah keterbatasan akses, fasilitas, dan jaminan keamanan.
Para guru juga dituntut untuk bersekolah hingga jenjang tinggi, memiliki banyak pengetahuan, serta mengorbankan waktu dan tenaga. Akan tetapi, bayaran yang diterima tidak sepadan dengan usahanya.
(tey/tey)