Suasana khas pesantren langsung terasa mana kala menjejakan kaki di lingkungan Ponpes Al Manshuriyah di Kampung Nanggerang, Desa/Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Suara orang mengaji, remaja pria berkain sarung dan berpeci, remaja putri berbusana muslimah dan pemandangan khas pesantren lainnya. Apalagi pesantren di wilayah perbatasan Garut-Tasikmalaya ini relatif terbuka, tidak ada gerbang yang menjadi pembatas lingkungan pesantren dan masyarakat.
Yang paling mengesankan adalah akhlak dari anak-anak santri ponpes tersebut. Mereka ramah menyapa dan memberi salam, bahkan kepada orang asing sekali pun. Obrolan mereka hentikan ketika ada ustadz atau orang tua yang lewat di depan tongkrongan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat hendak memasuki masjid, detikJabar berpapasan dengan rombongan santri yang baru selesai salat Ashar dan tadarusan. Seketika mereka yang notabene jumlahnya lebih banyak menghentikan langkah, mereka menyapa ramah dan mempersilahkan detikJabar untuk masuk terlebih dahulu ke dalam masjid. Padahal kala itu posisi mereka sudah lebih dekat ke pintu utama masjid.
"Mengajarkan akhlakul karimah kepada santri menjadi poin penting bagi kami. Di tengah berbagai isu negatif perilaku remaja zaman sekarang," kata Ustadz Gufron Sugilar, salah seorang pengasuh Ponpes Al Manshuriyah.
Ponpes Al Manshuriyah memang bukan pesantren besar dengan ribuan santri, namun pesantren ini menjadi tujuan anak-anak dari berbagai daerah di Tanah Air untuk menimba ilmu agama. Meski mayoritas santri berasal dari Tasik dan Garut, namun ada beberapa santri yang berasal dari Bandung, Bekasi dan pulau Sumatera.
Syabi (17), salah seorang santri Al Manshuriyah asal Jambi mengaku, dirinya kerasan menimba ilmu di pesantren itu. Dia relatif santri baru, baru setahun dia mondok sekaligus sekolah di SMK Al Manshuriyah.
"Betah, karena mesantren keinginan saya," kata Syabi.
![]() |
Meski mengaku kerasan, dia tak dapat menyembunyikan kerinduan kepada kedua orang tuanya. Dia mengaku tahun ini akan Lebaran di pesantren. "Ya kangen, tapi nanti Lebaran di sini dulu. Setelah Lebaran paling baru bisa pulang," kata Syabi.
Jauh-jauh dari Jambi mesantren ke Tasikmalaya, Syabi mengaku, direkomendasikan oleh saudaranya warga Tasikmalaya. Anak ini berdarah Sunda, dia tinggal di Jambi karena orang tuanya adalah transmigran asal Tasikmalaya. "Cita-cita saya mau jadi ustadz," kata Syabi.
Irod (55), warga Kecamatan Bojonggambir Kabupaten Tasikmalaya mengaku, menaruh harapan besar dengan menitipkan anak perempuannya di pesantren Al Manshuriyah. Kamis lalu adalah jadwal Irod menjenguk anaknya sekaligus membayar iuran santri.
"Syukur-syukur bisa jadi ustadzah, kalau pun tidak, dia sudah punya dasar ilmu agama, buat bekal hidupnya. Biar tidak tersesat," kata Irod.
Tingginya harapan orang tua terhadap anak-anaknya di pesantren, di sisi lain menyimpan tantangan bagi kalangan pendidik. Menyandang predikat santri, dapat dikatakan tak mudah. Ketika mereka kembali ke kampung halamannya, mereka seolah dituntut untuk mampu memimpin ibadah atau berdoa.
"Bertahun-tahun mesantren santri tentu akan ditanya atau memiliki beban moral ketika pulang kampung, pertanyaannya sudah bisa apa mesantren," kata Gufron, seorang pengasuh ponpes.
Makanya di bulan Ramadan ini, pesantren Al Manshuriyah memberikan pembelajaran khusus yang sifatnya aplikatif. Di antaranya mendidik santri agar bisa wiridan atau doa setelah salat. Selain itu diwajibkan pula seluruh santri hafal surat-surat Juz Amma serta memimpin doa ziarah qubur dan lainnya.
"Untuk program pendidikan bulan Ramadan ini memang ada beberapa pelajaran khusus. Di antaranya mengajarkan santri bisa memimpin wiridan, hafal Juz Amma dan lainnya. Jangan sampai santri kami ketika pulang kampung tak punya kemampuan," kata Gufron.
Selain itu keterampilan dasar lain juga diajarkan, di antaranya keterampilan memasak bagi santri perempuan. Di pesantren ini untuk urusan masak dikelola sendiri oleh santri.
Santri lelaki bertugas untuk memasak nasi, sementara santri perempuan bertugas memasak lauk pauk. Meski kerap dianggap sepele, keterampilan memasak ini bisa melatih kemandirian dan menambah kemampuan santri.
"Visi kami adalah membentuk santri yang memiliki keseimbangan antara spiritual, intelektual dan moral menuju umat ulul albab," kata Gufron.
(mso/mso)