Sweater berbahan rajut mungkin dulunya identik dengan cuaca dingin atau pakaian orang lanjut usia. Lambat laun, sweater rajut justru digandrungi setelah dimodifikasi dengan warna-warna cerah dan motif yang cantik.
Di Bandung, ada salah satu kampung bernama Kampoeng Radjoet. Letaknya ada di Jalan Binong Jati Nomor 124, Binong, Batununggal, Kota Bandung, Jawa Barat. Pada tahun 1970-an, kampung ini bernama Sentra Rajut yang kemudian berubah menjadi Kampoeng Radjoet pada tahun 2014.
DetikJabar berkesempatan untuk melihat langsung proses pembuatan rajut di Saung Rajut Binong Jati. Tempat ini juga menjadi dapur produksi merek sweater rajut Knitella. Martha Amelia, owner Knitella, menunjukkan satu persatu proses pembuatan rajut yang tidak sederhana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diawali dari proses pencampuran benang menggunakan mesin untuk mendapatkan komposisi rajut yang sesuai dengan spesifikasi tertentu.
![]() |
"Jadi usaha rajut ini kan turun temurun, dari jaman nini aku dulu masih manual dengan tangan manusia untuk merajut. Tapi gak bisa dipungkiri kalau manual itu banyak human errornya. Akhirnya beralih ke mesin. Produksinya lebih banyak, sehari satu mesin bisa produksi lima lusin. Kalau manual dua lusin aja," cerita Martha.
Mesin ini memproses benang dengan ketebalan yang diinginkan. Gulung demi gulung benang rajut diurai oleh mesin untuk diolah sedemikian rupa kemudian menghasilkan sehelai kain rajut.
Selanjutnya, Martha mengajak kami pindah ruangan untuk melihat proses linking.
![]() |
Proses ini merupakan penyambungan antara satu helai rajutan dengan helai rajutan lainnya menggunakan jarum khusus yang disebut dengan jarum linking atau needle linker.
Proses linking dilakukan dengan cara menyilangkan dua helai rajutan yang ingin disambungkan, kemudian mengalirkan benang melalui kedua helai tersebut menggunakan jarum linking.
Proses ini dilakukan berulang-ulang hingga seluruh bagian rajutan terhubung dan menjadi sebuah sweater rajut yang utuh.
"Nah disini butuh ketelitian yang tinggi, karena penyambungan harus dilakukan secara merata. Kalau ada yang kelewat, nanti sweaternya ada bolongnya. Meskipun memang bisa diperbaiki lagi, tapi kan khawatir sampai ke customer ada yang miss," jelas Martha.
Setelah itu, rajut yang telah menjadi pakaian harus melewati proses steam. Ini adalah proses menggunakan setrika uap. Tenaga setrika ini dihubungkan dengan tabung gas.
![]() |
Proses steam adalah salah satu tahap penting dalam finishing. Proses ini dilakukan untuk memberikan efek rapi dan melunakkan serat-serat rajutan, sehingga sweater rajut terlihat lebih rapi dan nyaman dipakai.
Terakhir, ialah bagian QC atau Quality Control. Bagi Martha dan suami, proses QC merupakan proses yang tak kalah penting guna memastikan pakaian yang diterima customer tidak ada cacat.
"Nah setelah di QC kemudian dikemas. Nantinya kami bawa produk Knitella ke gudang di rumah kami daerah Arcamanik. Disitu masih kami QC lagi, jadi dua kali. Karena betul-betul mau memastikan dan menghindari human error," paparnya.
![]() |
Bicara soal kendala lainnya, Martha didampingi sang suami, Alvin, menjelaskan bahwa kadang sulit mempertahankan konsistensi warna benang tertentu.
"Dulu kan masih impor, jadi ada produk yang belum bisa produksi karena kode warna tertentu itu hasilnya beda. Tapi sekarang sudah 100% lokal dari kapas, benang, sampai para pengrajin. Kita harus bangga sih," papar Alvin Ibham, suami Martha yang juga owner Knitella.
Beragam cerita soal uniknya karakter konsumen telah jadi makanan sehari-hari. Maka dari situ keduanya terus belajar agar memberikan kualitas terbaik pada para pembeli.
![]() |
Rencananya, Knitella ingin menambah ragam model dengan membuat produk kolaborasi bersama seniman Bandung.
Lanjutnya, pasutri ini berharap bisa mengembangkan merek luxury sendiri untuk memuaskan konsumen kelas atas.
"Next semoga bisa eksekusi collab dengan seniman karikatur, salah satu dosen ITB yang karyanya cocok banget sama Knitella. Kita juga pengen sih bisa expand highend fashion. Doakan saja ya," tutup Alvin sembari tersenyum.
(aau/tey)