Kisah-kisah Tragis Kematian dalam Senyap Warga Jabar

Round-up

Kisah-kisah Tragis Kematian dalam Senyap Warga Jabar

Rifat Alhamidi - detikJabar
Senin, 03 Nov 2025 09:00 WIB
Ilustrasi bunuh diri
Ilustrasi kematian (Foto: Dok.Detikcom))
Bandung -

Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun untuk melakukan tindakan serupa. Bila Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.

Jumat (31/10) malam, kabar yang begitu memilukan terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat (Jabar). Seorang pemuda berusia 19 tahun berinisial KM, ditemukan tergantung di Flyover Mochtar Kusumaatmadja atau Flyover Pasupati, setelah diduga mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Kejadian ini sontak kembali membuka tabir kelam yang terjadi di Jabar. Masalah kesehatan mental lagi-lagi jadi sorotan karena korban yang nekat mengakhiri hidupnya kerap tidak punya tempat untuk bercerita dan meminta perlindungan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, berdasarkan catatan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri, sepanjang 2024 tercatat ada 1.455 kasus bunuh diri di seluruh Indonesia. Angka tersebut naik sekitar 100 kasus dibanding tahun sebelumnya. Di tahun 2023, total tercatat ada 1.350 kasus bunuh diri di seluruh Indonesia. Dari angka tersebut, Jawa Barat menyumbang puluhan angka kasus per-tahun.

Sepanjang tahun 2024, setidaknya terdapat 72 kasus bunuh diri yang terjadi di Jawa Barat. Dari rata-rata angka tersebut setara dengan satu kasus bunuh diri terjadi setiap lima hari.

ADVERTISEMENT

Lewat tulisan ini, detikJabar pun akan mencoba merangkum sejumlah kasus bunuh yang jadi sorotan. Tulisan ini ditunjukkan bukan untuk motif apapun, namun sebagai pengingat untuk semua orang agar bisa menjadi pelindung bagi orang yang butuh bantuan.

Pelajar Garut Bunuh Diri Usai Dibully Karena Laporkan Teman Ngevape

Kasus bunuh diri pertama terjadi di Garut pada Juli 2025. Seorang pelajar berusia 16 tahun nekat mengakhiri hidupnya karena dilaporkan tak tahan terus dibully di sekolahnya.

Ironisnya, korban kerap dibully karena pernah melaporkan temannya merokok elektrik atau vape. Dia bahkan sempat jadi sasaran dugaan tindakan kekerasan, meski akhirnya bisa melarikan diri dari tindakan itu.

Akibat kejadian, korban sudah takut untuk datang ke sekolah. Puncaknya terjadi saat korban dinyatakan tidak naik kelas. Sang anak bisa melanjutkan sekolah ke kelas 11, dengan catatan harus pindah ke sekolah lain.

Kejadian itu ternyata memicu dampak yang begitu mengerikan. Pada 14 Juli 2025, korban nekat mengakhiri hidupnya saat berada di rumah. Polisi lalu sempat turun tangan setelah insiden ini dilaporkan orang tuanya.

Setelah kasus ini jadi sorotan, pihak sekolah ikut buka suara. Mereka membantah narasi yang berkembang di media sosial dan memastikan tidak terjadi perundungan di lingkungan sekolah.

Hingga kemudian, investigasi atas kasus ini pun dilakukan. Berdasarkan keterangan Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan Jabar Wilayah XI, dipastikan tidak ditemukan tanda-tanda perundungan yang memicu korban melakukan aksi bunuh diri.

"Tidak ditemukan adanya tanda-tanda perundungan di sekolah yang mengakibatkan korban meninggal dunia," ungkap Kepala KCD Pendidikan Jabar Wilayah XI, Aang Karyana kepada detikJabar, Sabtu, (23/8/2025) malam.

Hasil penelusuran mengungkapkan jika korban meninggal dunia karena beragam faktor. Dugaannya didorong faktor psikologis, yang diperparah oleh masalah di lingkungan keluarga. Dalam penelusuran tim juga diketahui, jika korban melakukan tindakan melukai diri sendiri, atau self harm sejak kecil.

Selain itu, tim juga menemukan fakta bahwa akibat dari kasus ini, salah seorang teman wanita korban, berinisial B, mengalami tanda-tanda depresi setelah kematian korban. B saat ini dalam penanganan Pemkab Garut.

Ibu dan 2 Anaknya Bunuh Diri di Garut

Kemudian, pada September 2025, ada kejadian memilukan yang menimpa seorang ibu berinisial EN (34) dan kedua anaknya, AA (9) serta AAP (11 bulan). Ketiganya ditemukan tewas setelah disinyalir bunuh diri di kontraknnya di Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.

Kejadian ini pertama kali diketahui sang suami, YS, yang baru saja pulang kerja. Olah TKP pun kemudian dilakukan, lalu jenazah ketiga korban dibawa ke RS Sartika Asih, Kota Bandung.

Korban juga meninggalkan secarik surat wasiat di sana. Isinya menceritakan permasalahan keluarga dan permintaan maaf kepada keluarga, beserta kedua anak korban yang meninggal dunia.

Kasus ini pun sempat menjadi sorotan dari berbagai pihak. Masalah kesehatan mental jadi topik pembahasan serius karena diduga korban semasa hidupnya kerap mengalami berbagai masalah.

Pemeran Encuy Preman Pensiun Ditemukan Tewas Bunuh Diri

Selanjutnya, di Garut, kejadian bunuh diri sempat menggegerkan warga Jabar. Nandi Juliawan, alias Dado, pemeran Encuy dalam serial televisi Preman Pensiun ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di kawasan Karangpawitan, Garut.

Jasad Nandi pertama kali ditemukan oleh sang istri, yang pulang ke rumah selepas berjualan di kawasan Garut Kota. Petugas dari Polsek Karangpawitan dan Unit Inafis Sat Reskrim Polres Garut yang menerima informasi ini, kemudian meluncur ke TKP.

Dari hasil pemeriksaan diketahui, jika Nandi sudah dalam keadaan tewas. Jasadnya kemudian langsung dimakamkan malam itu juga setelah keluarga menolak untuk autopsi.

Nandi sendiri merupakan salah satu pekerja seni yang cukup terkenal di Garut. Namanya sohor, setelah memerankan peran Encuy dalam series televisi Preman Pensiun, yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta Indonesia beberapa waktu lalu.

Nandi atau Dado ini, dikenal sebagai sosok yang kocak. Di kalangan kolega, Dado juga dikenal sebagai sosok yang suportif, yang kerap memberikan dukungan.

Mahasiswi UIN Tewas Usai Melompat Dari Parkiran Mal Bandung

Belum lama ini, Kota Bandung kembali digegerkan dengan dugaan kasus bunuh diri. Seorang perempuan muda dilaporkan tewas setelah melompat dari parkiran lantai 11 salah satu mal di Jalan Kepatihan pada 15 September 2025.

Korban diketahui berinisial AR (19), yang tercatat sebagai mahasiswi Prodi Jurnalistik UIN Bandung. Spekulasi saat itu bermunculan karena korban memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri

Dalam penelusuran detikJabar saat itu, almarhumah ternyata pernah menjadi korban perundungan semasa sekolah. Namun kemudian, pihak sekolah telah buka suara dan menyatakan kasus itu dinyatakan sudah selesai.

Pria Berjaket Hitam Gantung Diri di Flyover Pasupati

Yang terbaru, warga Kota Bandung digegerkan penemuan mayat seorang pria dengan posisi tergantung di Flyover Mochtar Kusumaatmadja atau Flyover Pasupati, Jumat (31/10) malam. Korban ditemukan tergantung dengan tali webbing, dengan masih mengenakkan helm berwarna hitam saat ditemukan dalam kondisi tersebut.

Bahkan, korban meninggalkan motor Yamaha Aerox berplat nomor D 3231 AFE di lokasi kejadian. Evakuasi pun berjalan lancar hingga korban bisa dibawa ke mobil ambulans.

Belakangan, identitas korban akhirnya diketahui berinisial KM (19). Kapolsek Bandung Wetan AKP Bagus Yudo Setyawan mengatakan, saat kejadian, korban sempat terlihat seorang warga bernama Sendi Dwi Repiandi (27). Ia awalnya hendak menghentikan korban, namun semuanya sudah terlambat

"Pukul 22.15 WIB, saksi melihat dari seberang korban sedang berdiri di atas jembatan. Ketika saksi menghampiri, korban sudah loncat," kata Bagus dalam keterangannya, Sabtu (1/11/2025)

Polisi hingga sekarang belum menyimpulkan penyebab kematian korban. Pemeriksaan masih dilakukan, termasuk mengecek HP korban dan meminta keterangan dari sejumlah orang. "Masih kami dalami. Kita masih ngecek HP-nya sama minta keterangan saksi-saksi," ucapnya.

5 Hari Sekali Ada yang Meninggal Akibat Bunuh Diri

Sementara itu, Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan RI Imran Pambudi mengatakan, angka kasus bunuh diri di Jawa Barat kemungkinan besar tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Terlebih, Jawa Barat adalah provinsi dengan penduduk terbanyak se-Indonesia.

"Jawa Barat seharusnya lebih banyak. Karena bila dilihat dari jumlah penduduknya yang paling banyak di Indonesia, angka kasus tersebut tergolong kecil," ungkap Imran ketika dihubungi detikJabar, Selasa (16/9/2025).

Imran membandingkan dengan estimasi angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia yang ditangani Polri dengan yang dilaporkan oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME). Hasilnya terdapat selisih angka yang cukup jauh.

"Di dalam estimasi yang dibuat oleh IHME, mereka mengatakan kematian akibat bunuh di Indonesia akibat bunuh diri ada sekitar 4.300-an kasus. Itu estimasi tahun 2021, cukup jauh dengan data saat ini, sehingga menunjukkan adanya under reporting," paparnya.

Di sepanjang tahun 2021, Pusiknas Bareskrim Polri mencatat bahwa kasus bunuh diri di Indonesia ada sebanyak 620 kasus. Hanya sekitar 14% dari estimasi IHME.

Hal tersebut, ia mengatakan, menunjukkan bahwa kasus di Jawa Barat pun kemungkinan besar lebih banyak yang belum tercatat dalam laporan secara resmi.

"Saya tidak tahu angka pastinya karena harus dilihat dari berbagai variabel. Namun angka tersebut menunjukkan adanya kendala dalam pelaporan. Jumlah aslinya kemungkinan lebih besar," terangnya.

Hal ini juga diperkuat oleh jurnal tentang profil statistik bunuh diri di Indonesia yang dipublikasikan di The Lancet Regional Health Southeast Asia pada Februari 2024 (Onie, Sandersan et al).

Penelitian tersebut mengumpulkan dan menganalisa data angka bunuh diri di Indonesia sepanjang 2016 hingga 2021 dari lima sumber. Yakni data kepolisian, angka kematian, database nasional, survey provinsi, hingga data WHO.

Hasil analisanya menunjukkan bahwa angka under reporting tentang kasus bunuh diri di Indonesia sangat tinggi, yakni mencapai 859.10%. Hal tersebut menunjukkan bahwa data tentang bunuh diri yang sebenarnya bisa 8,59 kali lebih banyak dibandingkan dengan laporan resmi yang dipublikasikan.

Sementara itu, provinsi dengan angka kasus bunuh diri tertinggi di rentang 2016-2021adalah Bali, Kepulauan Riau, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah.

Lebih lanjut, data Pusiknas menunjukkan bahwa mayoritas kasus bunuh diri yang berhasil diidentifikasi disebabkan oleh masalah ekonomi. Jumlah kasus bunuh diri yang disebabkan faktor ekonomi ada sebanyak 31,91% dari total kasus di Indonesia.

Faktor lainnya yang mendominasi adalah faktor kesengajaan (31%), masalah sosial dan salah paham (17,6%), dan sisanya oleh dendam, sengketa lahan, atau penyebab lainnya.

Sementara itu, sebanyak 137 kasus atau 16,1% tidak diketahui penyebabnya. Adapun sebagian besar pelaku bunuh diri juga merupakan laki-laki, yakni mencapai lebih dari 70% dari total kasus.

Imran mengatakan, ada beberapa alasan mengapa angka kasus bunuh diri tidak tercatat sepenuhnya. Salah satunya adalah stigma terhadap masalah kesehatan jiwa dan tindakan bunuh diri di masyarakat.

"Banyak orang yang masih menganggap bunuh diri itu aib. Apalagi kalau bukan gantung diri, misalnya karena overdosis. Itu sering kali pihak keluarga memilih untuk tidak melaporkan," ungkapnya.

Selain itu, ia menilai, sistem layanan kesehatan cenderung membuat kasus percobaan bunuh diri untuk tidak dilaporkan sebagaimana adanya. Pasalnya, percobaan bunuh diri tidak ditanggung asuransi.

"Kalau ada percobaan bunuh diri, itu enggak ditanggung BPJS. Jadi kalau di RS, diagnosis atas percobaan bunuh diri itu kadang ada yang memilih untuk tidak melaporkan, karena pasien tidak akan ditanggung. Ini yang bikin kasus tidak terdata dengan baik," jelasnya.

Sementara menurut Imran, kasus bunuh diri merupakan spektrum dari masalah kesehatan jiwa yang perlu diintervensi sejak sebelum seseorang berada di ujung keputusasaan. Oleh karenanya, tindakan preventif harus digencarkan.

Ia mengatakan, salah satu hal yang tengah diupayakan adalah program P4K (Pertolongan Pertama pada Kasus Psikologis) untuk mendeteksi sejak dini orang-orang yang mengalami masalah kesehatan jiwa.

"Saat ini, sekitar 50 persen puskesmas di Indonesia sudah menyediakan layanan kesehatan jiwa. Ke depannya kita juga merencanakan penempatan psikolog klinis di puskesmas," paparnya.

Namun sayangnya, jumlah tenaga profesional psikiater maupun psikolog klinis di Indonesia masih jauh dari ideal. Saat ini, hanya terdapat 1.053 psikiater dan 2.917 psikolog klinis berbanding dengan 286 juta jiwa.

Padahal, standar WHO terkait pelayanan kesehatan jiwa yang ideal adalah satu psikiater atau satu psikolog klinis untuk setiap 30 ribu orang.

"Jumlahnya memang sedikit dan kurang memadai untuk memfasilitasi seluruh masyarakat," ungkapnya.

Selain ke puskesmas, masyarakat juga bisa memanfaatkan layanan yang tersedia, baik melalui hotline maupun konsultasi daring. Adapun hotline pencegahan bunuh diri adalah 119 dengan extension 8. Ia juga mengimbau agar orang yang mengalami tekanan psikologis untuk dapat berbagai cerita pada orang yang dipercaya.

"Kedua, orang yang sedang kalut harus memiliki teman yang bisa diajak curhat. Jangan pendam masalah seorang diri. Kalau tidak ada teman bercerita, seseorang akan rentan 'buntu' pikirannya sehingga seolah tidak ada pilihan lain selain melalukan hal tersebut," tutupnya.

(ral/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads