Ditreskrimsus Polda Jawa Barat (Jabar) membongkar sindikat penimbunan pupuk subsidi hingga praktik curang peredaran terigu oplosan. Dari kasus tersebut, polisi menyita ratusan barang bukti atas rentetan kejahatan ini.
Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Jules Abraham Abast mengatakan, pengungkapan kasus ini dilakukan sejak 25 Oktober 2024. Ada 15 orang yang ditetapkan menjadi tersangka dari 13 tempat kejadian perkara (TKP).
Kasus pertama yaitu tentang penimbunan pupuk subsidi. Polisi menyita 33,973 ton pupuk siap edar yang hendak dijual dengan harga eceran tertinggi (HET). "Jadi para tersangka ini menimbun, setelah menimbun dia menjual pupuk subsidi jenis atau merek Urea atau Phonska di atas HET," katanya saat rilis ungkap kasus di Mapolda Jabar, Rabu (6/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Polisi juga membongkar kasus pengoplosan 870 kilogram beras Bulog dengan beras lokal yang dikemas kembali untuk dijual dengan harga yang tinggi. Selanjutnya ada kasus penggelapan 3.300 solar subsidi untuk dijual ke sektor industri.
Kemudian, polisi menyita 193 tabung gas 12 kilogram oplosan yang berasal dari LPG subsidi 3 kilogram. Dan selanjutnya, kasus 21,25 ton tepung oplosan yang dibongkar di wilayah Cianjur, Jabar.
"Modus operandinya (untuk kasus terigu oplosan) yaitu dengan cara repacking, atau mengganti karung kemasan tepung," ucap Jules.
Wadirkrimsus Polda Jabar AKBP Maruly Pardede menambahkan, dalam kasus terigu oplosan, tersangka mengganti karung bahan pokok itu menggunakan merek terigu yang bernilai mahal. Padahal, terigu tersebut merupakan bahan pokok dengan kualitas yang rendah.
"Karung ini didapatkan pelaku dari bekas pemulung, dibeli per lembar Rp 3 ribu dan untuk label barcode-nya dibeli Rp 7 ribu. Sehingga dari yang bersangkutan membeli terigu kualitas rendah, kemudian di-repacking dengan kemasan terigu kualitas tinggi," bebernya.
Maruli menyebut, tersangka bisa mendapatkan untung Rp 30-50 ribu dari setiap kemasan terigu oplosannya itu. Selama 3 tahun beroperasi, tersangka bisa mendapatkan omzet Rp 5,6 miliar per tahun.
"Tepung tersebut sudah diedarkan ke seluruh wilayah Jawa Barat, bahkan sampai perbatasan Jawa Tengah. Kita sekarang sedang mendalami dari yang bersangkutan distribusinya ke mana saja, termasuk keuntungan hasil kejahatan yang didapat pelaku, sehingga kita bisa mengungkap sindikasi dari penyalahgunaan terigu palsu ini yang merugikan masyarakat," pungkasnya.
Atas kejahatan yang telah dilakukan, para tersangka dijerat Pasal 100 ayat 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Serta Pasal 139 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 dengan ancaman maksimal 5 tahun dan Rp 10 miliar.
Selanjutnya Pasal 62 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Pasal 106, 107, 110 Undang-undang Nomor 7 2014 tentang Perdagangan, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 10-50 miliar.
Selanjutnya Pasal 6 ayat 1 huruf b, jo Pasal 1 ke-3 Undang-undang Darurat No 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntut dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dengan ancaman penjara 6 bulan dan denda Rp 50 ribu. Pasal 55 Undang-undang Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 40 angka 9 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda Rp 60 miliar. Pasal 2 ayat 6 huruf b Perpres 59 2020, Pasal 34 ayat 3 Permendag Nomor 4 Tahun 2023, serta Pasal 2 ayat 2 Permentan Nomor 1 Tahun 2024.
(ral/sud)