Menjadi pengalaman tak mengenakan bagi wisatawan yang jadi korban pungutan liar (pungli) ketika mengunjungi objek wisata. Apalagi pungli dilakukan mengatasnamakan masyarakat sekitar. Kejadian seperti ini belum lama terjadi di jalur menuju Curug Ciburial, Kabupaten Bogor.
Para wisatawan harus memberikan uang saat melintas di jalan yang dianggap sebagai daerah operasional pungli oleh pelakunya. Ironisnya, pungli ini terjadi jauh dari objek wisata yang seharusnya menjadi tempat tujuan para wisatawan.
Menurut Kriminolog dari Universitas Islam Bandung (Unisba), Nandang Sambas, segala bentuk pungli, termasuk kejadian di Bogor tersebut, merupakan tindakan ilegal dan tidak resmi. Nandang menambahkan ada beberapa faktor yang menyebabkan praktik pungli semakin marak, salah satunya fenomena masyarakat yang semakin materialistis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Fenomena ini terjadi karena memang paradigma masyarakatnya sekarang sudah intoleran ya. Segala sesuatu sudah hedonis, sudah diukur dengan uang, sehingga rasa sosial dan lainnya itu tidak ada. Bahkan karena mungkin juga ada faktor yang lainnya didorong oleh kebutuhan, sehingga memanfaatkan setiap kondisi, setiap situasi," kata Nandang kepada detikJabar, Rabu (11/5/2024).
Nandang menilai bahwa pelanggaran seperti pungli tidak hanya terjadi di jalur menuju objek wisata, tetapi juga di dalam kawasan wisata itu sendiri. Contohnya adalah kasus pungli di Masjid Al Jabbar yang terjadi saat liburan Lebaran.
"Di tempat-tempat wisata memang juga seringkali seperti itu. Sudah bayar yang resmi masuknya, bahkan masuk itu biasanya dengan parkir dan lain-lain, lalu ada uang parkir, tapi juga yang petugas parkir juga kadang-kadang suka minta gitu kan ya," tuturnya.
Lebih lanjut, Nandang menegaskan selain kerugian materi, praktik pungli juga menimbulkan kerugian non materi, seperti ketidaknyamanan dan gangguan bagi masyarakat.
"Perbuatan seperti itu harus diupayakan untuk diberantas dan ditindak karena itu nanti akan menjadi bibit-bibit, pungutan-pungutan, tindakan-tindakan yang tadi yang meresahkan masyarakat. Kalau dibiarkan akan timbul anggapan dilegalkan," tuturnya.
Menurut Nandang, dampak lain dari praktik pungli adalah menurunnya kenyamanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat. Belum lama ini, Nandang juga mengalami hal serupa ketika hendak menuju Puncak bersama keluarganya. Di sepanjang jalur alternatif, mereka sering diminta uang oleh warga setempat.
"Kemarin hari Jumat saya dari Tol Jagorawi mau ke Puncak ternyata karena ditutup akhirnya harus memutar ke jalan alternatif, ke sana ini hampir setiap persimpangan, setiap lewat itu orang meminta-minta uang, pak ogah ya, memang tidak besar Rp 2 ribu dan lain-lain, kalau enggak dikasih enggak kenapa-kenapa gak masalah, ini yang gak dikasih malah pukul-pukul kap mobil atau ketuk kaca itu kan tindakan premanisme dan seharusnya tidak dilakukan hal seperti itu," jelas Nandang.
Nandang menekankan meminta sumbangan adalah hal yang wajar, tetapi tidak boleh dilakukan dengan tindakan premanisme. Selain itu, perlu adanya tindakan tegas terhadap pelaku pungli untuk menimbulkan efek jera.
"Nah yang seperti itu mungkin perlu disadarkan dan perlu juga ada tindakan-tindakan tertentu kalau memang penyelesaian dengan cara minta maaf dan lain-lain ya mungkin karena dipandang itu pelanggaran-pelanggaran yang tidak serius barangkali," tuturnya.
"Tapi saya katakan sekali lagi, pandangan yang tidak serius kalau terus-terusan berulang dan dianggap sebagai sesuatu yang legal nanti jadi perbuatan yang serius. Jadi harus ada upaya-upaya lain yang harus dilakukan, tentunya pendekatannya pendekatan sosial kemasyarakatan, bukan pendekatan hukum. Karena pendekatan hukum kadang-kadang hitam putih, normatif, itu juga kurang baik cara penyelesaiannya," jelasnya.
Nandang juga menegaskan bahwa koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi awalnya biasanya terlibat dalam praktik pungli dengan nilai kecil.
"Walaupun sebetulnya kadang-kadang juga ada yang pandangan, ah ada yang lebih gede yang harus diberantas, ya memang. Tapi dua-duanya juga harus paralel, harus diselesaikan, karena mulai dari yang kecil biasanya yang gede itu. Orang yang sudah punya kesempatan duduk di tempat yang gede, sehingga punglingnya lebih besar lagi, koruptor misalkan," tegasnya.