Sulaeman, warga Kampung Cigagak, Kelurahan Cisurupan menggugat Disdukcapil Kota Bandung usai dinyatakan meninggal dunia. Padahal diketahui, Sulaeman masih hidup walau akta kematiannya sudah terbit pada 2020 silam.
Usut punya usut, akta kematian Sulaeman diterbitkan karena ada kesalahan penulisan nama di tingkatan RT untuk pengantar ke Disdukcapil. Hal itu terungkap saat persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi di PTUN Bandung, Jalan Diponegoro No 34, Kamis (9/2/2023).
Majelis Hakim PTUN Bandung yang dipimpin Ayi Solehudin menghadirkan 2 saksi dari pihak Sulaeman. Mereka adalah Yayan, sepupu Sulaeman dan Hendi, teman Sulaeman sejak masa kecil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saksi pertama yang memberikan keterangan yaitu Yayan. Majelis hakim kemudian menanyakan alur pembuatan surat pengantar dari RT/RW untuk kebutuhan membuat akta kematian ke Disdukcapil. Sebab diketahui, Yayan merupakan orang yang mengurus surat pengantar tersebut sebelum diserahkan ke Disdukcapil.
"Saksi ini betul yah yang berinisiatif datang ke RT lalu meminta dibuatkan surat pengantar kematian ke RT?" tanya hakim
"Iyah, waktu itu datangnya ke RT 02," ujar Yayan menjawab pertanyaan majelis hakim.
Masalahnya waktu itu, Yayan mengatakan ke Ketua RW 2 ingin membuat surat pengantar kematian untuk pamannya bernama Eman. Namun entah kenapa, nama yang tercantum dalam surat tersebut adalah Sulaeman yang juga merupakan anaknya Eman.
"Jadi saya waktu itu bilang ke RT, mau bikin surat kematian buat Eman yang anaknya Sulaeman," ucap Yayan.
Yang terjadi kemudian, surat pengantar yang dibuat RT 02 di lingkungan Yayan itu lalu ditulis dengan nama Sulaeman, bukan Eman. Yayan pun tidak mengetahui adanya perubahan tersebut hingga baru menyadarinya pada 2022.
"Kalau di kampung kalau mau bikin akta kematian, langsung datang aja minta ke Pak RT. Waktu itu enggak ada komunikasi sama Pak RT, bikin aja. Sampai akhirnya baru tahu kalau akta kematiannya salah," tuturnya.
Masalah lainnya, Yayan tidak melampirkan berkas pendukung berupa data kependudukan pamannya, Eman, yang saat itu hendak dibuatkan akta kematian. Pihak RT lalu menulis surat pengantar kematian tersebut atas nama Sulaeman tanpa dicek kembali oleh Yayan, sampai akhirnya diajukan ke Disdukcapil.
Majelis juga sempat menanyakan tentang permohonan surat kematian itu dibuat di RT 02 dan bukan di RT 01 sebagaimana alamat yang tercantum dalam KTP Eman maupun Sulaeman. Yayan beralasan, hal itu ia lakukan karena dia tinggal di RT 02.
"Saya juga nggak tahu ada kesalahan begitu. Tapi yang di surat pengantar itu Pak RT. Saya Cuma bilang mau bikin surat pengantar kematian buat Eman yang anaknyaSulaeman," tuturYayan.
"Hari ini saja Sulaeman itu terakhir bekerja pak, karena datanya bermasalah. Jadi kantornya enggak mau nantinya ada masalah karena data Sulaeman ini udah enggak ada di data kependudukan," kata Hendi di hadapan Majelis Hakim PTUN Bandung.
Baca juga: Persib Didenda Lagi gegara Ulah Bobotoh! |
Usai sidang, Hendi pun berharap masalah temannya itu bisa segera selesai. Sebab menurutnya, sampai sekarang Sulaeman hanya mengandalkan pemasukan dengan cara menjadi driver ojek online.
"Ya mudah-mudahan bisa cepet selesai kang, soalnya kasihan. Dia punya anak yang masih kecil, sementara dia nggak bisa kerja karena masalah data kependudukan itu," pungkasnya.
Usai persidangan tersebut, Majelis Hakim PTUN Bandung mengagendakan sidang lanjutan pada Kamis (16/2/2023). Majelis membutuhkan pembuktian sekali lagi, sekaligus meminta pihak penggugat untuk melampirkan berkas surat pengantar kematian yang salah ditulis oleh RT yang seharusnya untuk Eman namun menjadi Sulaeman.