Tok! MK Tolak Legalisasi Ganja untuk Medis

Kabar Nasional

Tok! MK Tolak Legalisasi Ganja untuk Medis

Tim detikNews - detikJabar
Rabu, 20 Jul 2022 12:18 WIB
Thailand resmi hapus ganja dari daftar obat-obatan terlarang. Thailand juga jadi negara pertama di Asia Tenggara yang legalkan ganja untuk medis dan penelitian.
Foto: Getty Images/Lauren DeCicca
Bandung -

Legalisasi ganja medis untuk kesehatan kandas. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU Narkotika terhadap UUD 1945 terkait ganja medis.

Dalam putusannya, sebagaimana dilansir dari detikNews, MK menilai materi yang diuji merupakan kewenangan DPR dan pemerintah. Sehingga, putusan itu dinilai sebagai langkah yang dapat diambil oleh MK.

"Mengadili. Menolak permohonan pemohon," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di gedung MK yang disiarkan live dari channel YouTube MK, Rabu (20/7/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MK menilai pihaknya tidak berwenang untuk mengadili materi tersebut. Sebab, hal itu merupakan bagian dari kebijakan terbuka DPR dan pemerintah. Salah satunya untuk mengkaji kebenaran ganja dapat digunakan untuk medis.

"Hal itu bagian dari open legal policy," ucap MK.

ADVERTISEMENT

Gugatan terhadap legalisasi ganja sendiri diajukan oleh Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti dkk. Gugatan itu bernomor 106/PUU-XVIII/2020.

Dalam gugatannya, mereka meminta MK untuk mengubah Pasal 6 Ayat (1) UU Narkotika untuk memperbolehkan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan medis. Mereka juga meminta MK menyatakan Pasal 8 Ayat (1) yang berisi larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan inkonstitusional.

Adapun selama proses persidangan, ada pro dan kontra terkait legalisasi ganja untuk kesehatan ini. Pro kontra diajukan oleh ahli di antaranya :

Ahli asal Inggris, Stephen Rolles

Stephen merupakan analis kebijakan senior untuk Transform Drug Policy Foundation, yaitu sebuah badan amal yang berbasis di Inggris. Transform Drug Policy Foundation terlibat dalam kegiatan analisis dan advokasi kebijakan obat‐obatan.

Ia menyebut penetapan ganja sebagai narkoba golongan I adalah kebijakan politis. Stephen menilai disetarakannya golongan ganja dengan heroin, sabu, hingga ekstasi bukan didasarkan alasan kesehatan.

"Secara umum, kalau kita melihat secara historis banyak keputusan-keputusan tentang penggolongan obat-obatan tersebut, khususnya yang sudah lama dilakukan puluhan tahun yang lalu, seperti LSD atau cannabis (ganja) itu terjadi dalam suatu konteks yang sangat terpolitisasi," kata pria yang akrab disapa Steve.

Dekan Fakultas Hukum (FH) Unika Atma Jaya, Jakarta, Asmin Fransiska

Asmin menyatakan setuju ganja untuk kesehatan dilegalkan. Menurutnya, legalisasi itu sesuai dengan konstitusi yang menjamin hak atas kesehatan masyarakat.

"Konstitusi Republik Indonesia Pasal 28H ayat (1) menjamin hak atas kesehatan, atas layanan kesehatan kepada semua. Salah satu sifat dari hak atas kesehatan adalah bahwa hak tersebut bersifat progressive realization atau pemenuhannya harus dilakukan terus-menerus secara progresif dan tidak boleh regresif atau menurun serta diberikan dan dipenuhi tanpa diskriminasi atau nondiscriminations principle," kata Asmin.

Ahli pemerintah Aris Catur Bintoro

Aris sehari-hari adalah spesialis saraf dan Ketua Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia. Aris saat ini bekerja di KSM Neurologi RSUP Kariadi Semarang. Menurutnya, organisasi epilepsi dunia (ILEA/International League Against Epilepsy) belum sepakat ganja bisa dipakai untuk terapi kesehatan. Oleh sebab itu, Aris meminta MK menolak judicial review pemohon agar ganja untuk kesehatan dilegalkan.

"Kami di ILAE, Organisasi Epilepsi Dunia, beberapa waktu yang lalu, tahun 2018, di Bali diselenggarakan simposium tentang pro dan kontra. Ini menunjukkan bahwa masih belum ada kesepakatan dari banyak ahli-ahli tentang obat kanabis sebagai obat anti epilepsi," kata Aris.




(dir/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads