Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon mengungkap kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung Sekretariat Daerah (Setda) Kota Cirebon dengan menetapkan enam orang sebagai tersangka. Selain itu, Kejari juga memaparkan tentang kondisi gedung yang terdampak akibat praktik korupsi tersebut.
Penyidik Kejari Kota Cirebon, Gema, sebelumnya menjelaskan modus para tersangka dalam melakukan aksinya. Mereka diduga mengurangi kualitas maupun kuantitas material bangunan demi meraup keuntungan.
Akibatnya, kualitas pembangunan Gedung Setda Kota Cirebon menjadi tidak maksimal dan menimbulkan kerugian bagi negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gema mengatakan, dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini, Kejari Kota Cirebon telah melakukan pemeriksaan fisik bangunan gedung setda dengan menggandeng tim ahli dari Politeknik Negeri Bandung (Polban).
"Kemarin juga sudah disampaikan sebelumnya oleh pihak Politeknik Bandung, sebagai pihak yang memeriksa gedung, di mana gedung tersebut memang ada potensi untuk nantinya rusak apabila ada gempa bumi," kata Gema, Rabu (27/8).
"Jadi gedung tersebut memang dibangun tidak sesuai dengan spesifikasi dan tingkat keamanannya. Sehingga diperlukan adanya perbaikan-perbaikan agar gedung tersebut bisa digunakan secara aman dan maksimal," sambung dia.
Menurut Gema, apabila pembangunan dilakukan dengan baik dan sesuai aturan, Gedung Setda Kota Cirebon seharusnya dapat bertahan hingga lima puluh tahun.
"Seharusnya, secara umum, apabila gedung ini dikerjakan secara baik dan sesuai aturan, itu bisa bertahan selama 50 tahun," kata Gema.
![]() |
Sebagai informasi, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon telah menetapkan enam tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung Sekretariat Daerah (Setda) Kota Cirebon. Pembangunan gedung tersebut dimulai pada 2016 dengan anggaran sekitar Rp86 miliar yang bersumber dari APBD Kota Cirebon.
Gema mengungkap modus para tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung Setda Kota Cirebon. Salah satunya dengan menurunkan kualitas dan kuantitas material bangunan demi meraup keuntungan lebih.
"Modus yang dilakukan para tersangka ini yaitu dengan cara mengurangi kualitas serta kuantitas dari bangunan tersebut sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih. Kemudian modus lainnya berupa pencairan yang tidak sesuai aturan yang berlaku. Dan juga menaikkan progres pekerjaan, di mana pekerjaan tersebut seharusnya masih dalam kondisi belum selesai, tetapi dianggap sudah selesai," kata Gema.
Perbuatan para tersangka ini menimbulkan kerugian negara yang mencapai hingga puluhan miliar rupiah. "Jadi dari kontrak Rp86 miliar itu, kita mendapatkan kerugian, yang mana kerugian tersebut sudah dihitung dan dinyatakan oleh BPK RI, sebesar Rp26 miliar," jelas Gema.
Dalam kasus ini, para tersangka dijerat pasal tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.
"Ancaman pidana maksimal 20 tahun. Pasal yang dikenakan, Pasal 2, Pasal 3, juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, juncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2021 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juncto Pasal 55 KUHP," kata Kasi Intel Kejari Kota Cirebon, Slamet Haryadi.
Kasi Pidsus Kejari Kota Cirebon, Feri Novianto, mengatakan keenam tersangka itu masing-masing berinisial PH selaku PPTK (pejabat pelaksana teknis kegiatan), BR selaku kepala dinas PU tahun 2017, IW selaku pejabat pembuat komitmen atau kepala bidang Dinas PUTR tahun 2018 dan saat ini menjabat sebagai Kadispora.
"Kemudian tersangka lainnya adalah HM selaku team leader PT Bina Karya, AS selaku kepala cabang Bandung PT Bina Karya, dan FR selaku direktur PT Rivomas Pentasurya tahun 2017-2018 sebagai penyedia," kata dia.
(yum/yum)