Jejak Kelam Kopi Kuningan di Masa Hindia Belanda

Lorong Waktu

Jejak Kelam Kopi Kuningan di Masa Hindia Belanda

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Minggu, 27 Jul 2025 09:00 WIB
Potret pengolahan kopi Kuningan di masa Hindia Belanda.
Potret pengolahan kopi Kuningan di masa Hindia Belanda. (Foto: Istimewa/Arsip KITLV Universitas Leiden)
Kuningan -

Kuningan tak hanya dikenal sebagai daerah penghasil kopi di masa kini. Sejak masa Hindia Belanda, wilayah yang terletak di kaki Gunung Ciremai ini telah menjadi salah satu sentra utama produksi kopi di tanah Pasundan. Namun, di balik harum biji kopi yang tumbuh subur di tanah Kuningan, tersimpan kisah kelam yang sempat mewarnai sejarah daerah ini.

Salah satu peristiwa mencolok terjadi pada tahun 1887, ketika seorang Kepala Desa Darma, bernama Wirawidjaija, bersama istrinya, Boe Enggi, terlibat kasus penggelapan biji kopi milik pemerintah kolonial. Perkara ini bahkan tercatat dalam surat kabar berbahasa Belanda, Batavia Nieuwsblad, edisi 10 Desember 1887.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Disebutkan, pada bulan Mei tahun itu, Wirawidjaija menerima 50 kati biji kopi dari kebun milik pemerintah di Bantaragung. Bibit tersebut rencananya akan ditanam di kebun kopi pemerintah yang berada di Kuningan. Namun, alih-alih melaksanakan tugas, benih kopi tersebut justru disimpan dan digelapkan oleh istrinya untuk kepentingan pribadi.

"Di hadapan pengadilan di Kuningan, berdasarkan putusan Dewan tertanggal 10 September lalu, mereka masing-masing dinyatakan bersalah: terdakwa pertama karena menarik diri dari pengiriman kopi ke negara yang dibeli dari perkebunan yang menjadi sasaran pengiriman tersebut, dan terdakwa kedua karena terlibat dalam hal yang sama. Oleh karena itu, terdakwa pertama dijatuhi hukuman kerja paksa selama 16 hari dan denda 100 gulden, dan terdakwa kedua dijatuhi hukuman kerja paksa selama 8 hari dan denda 50 gulden," tulis Batavia Nieuwsblad.

ADVERTISEMENT

Namun, peristiwa di Darma bukan satu-satunya kasus penggelapan kopi di Kuningan kala itu. Menurut Tendi, dosen sejarah dari Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon, praktik serupa juga terjadi di wilayah Kadugede. Seorang kepala desa di sana diketahui melakukan manipulasi laporan produksi kopi demi mendapatkan keuntungan pribadi.

"Kalau kecurangan memang ada khususnya dalam hal hitungan. Kayak saat itu kepala desa yang punya tanggungjawab kopi melakukan hitungan yang lebih banyak. Di mana ia mengaku lebih banyak dari kenyataan sehingga dibayarkan lebih banyak. Dan terkadang kerja sama sama pejabatnya juga," tutur Tendi.

Potret pengolahan kopi Kuningan di masa Hindia Belanda.Potret pengolahan kopi Kuningan di masa Hindia Belanda. Foto: Istimewa/Arsip KITLV Universitas Leiden

Kecurangan itu tak luput dari pantauan inspektorat Pemerintah Hindia Belanda. Kepala Desa Kadugede tersebut akhirnya dihukum dan dibuang ke Riau, Sumatera, sekitar tahun 1830-an. Ia diasingkan jauh dari tanah kelahirannya, meninggalkan keluarga yang kemudian memohon agar ia dipulangkan.

"Akhirnya si kepala desa itu dihukum, dibawa dari Kuningan, dibuang ke Riau, Sumatera gara-gara penggelapan produksi tanaman, salah satunya kopi itu," ujar Tendi.

Pada masa itu, pengelolaan kopi di Kuningan dijalankan oleh dua unsur utama yakni pejabat pribumi dan pejabat kolonial Belanda. Para bupati, mantri, hingga kepala desa bertugas memerintahkan penduduk untuk menanam kopi. Setelah panen, hasilnya dibeli oleh pejabat pribumi dan disalurkan kepada pejabat kolonial yang mengurusi pertanian.

Namun, di balik sistem yang terlihat rapi itu, kerap terjadi penyelewengan. Para pekerja pribumi sering kali tidak dibayar meskipun pekerjaan mereka telah selesai. Harga kopi yang telah ditetapkan pemerintah pun kadang dikurangi seenaknya, bahkan tidak dibayar sama sekali.

"Kekuasaan Bupati kan berpengaruh kuat tapi ketika dihitung dan dijual ke tangan pemerintah Belanda itu masuknya ke sistem asisten residen di bawah keresidenan. Jadi yang mengerjakan orang pribumi, di bawah para mantri, demang dan bupati. Kerjaan sudah dibayar tapi dari bupatinya nggak dibayar. Nah dalam hal kopi, harga yang ditetapkan pemerintah itu sudah ada cuman kadang ada juga yang dikurangi bahkan tidak dibayar sama sekali," tutur Tendi.

Pada masa Hindia Belanda, beberapa wilayah di Kuningan seperti Subang, Cigugur, Darma, Kuningan, dan Linggajati ditetapkan sebagai daerah wajib tanam kopi. Kebijakan ini merupakan bagian dari sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel, yang dalam konteks Priangan dikenal dengan sebutan Priangan Stelsel.




(dir/dir)


Hide Ads