Mengenal Lebih Dekat Maria Ulfah, Mensos Pertama di Indonesia

Mengenal Lebih Dekat Maria Ulfah, Mensos Pertama di Indonesia

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Selasa, 24 Jun 2025 07:00 WIB
Maria Ulfah, Mensos pertama Indonesia.
Maria Ulfah, Mensos pertama Indonesia (Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar).
Kuningan -

Salah satu tokoh yang memiliki peran penting dalam Perundingan Linggarjati tahun 1946 adalah seorang perempuan bernama Maria Ulfah. Tanpa adanya Maria Ulfah, perundingan tidak mungkin dilaksanakan di Gedung Linggarjati Kuningan.

"Perannya ini bagus. Yang ngasih tempatnya di Linggarjati itu Maria Ulfah Santoso. Kalau nggak ada Maria Ulfah mungkin perundingan itu nggak terjadi di Linggarjati sini," tutur Juru Pelihara Gedung Naskah Linggarjati, Nana Bolin.

Lantas siapakah Maria Ulfah Santoso? Mengutip jurnal Srikandi Pendiri Bangsa : Perjuangan dan Sumbangsih Maria Ulfah Untuk Kemerdekaan Indonesia karya Yuda B Tangkilasa, Maria Ulfah lahir di Serang, Banten pada 18 Agustus 1911.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski lahir di Serang, Karena ikut ayahnya Raden Adipati Arya Mohammad Ahmad, yang ditugaskan sebagai Bupati Kuningan, Maria Ulfah banyak menghabiskan waktunya di Kabupaten Kuningan. Sebagai anak bangsawan, Maria Ulfah tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk terus belajar.

Semangatnya dalam belajar membawa Maria Ulfah hingga berkuliah di Negeri Belanda. Mengutip surat kabar de Locomotif edisi 2 November 1933, Maria Ulfah berkesempatan untuk belajar hukum di Leiden Belanda. Ia berangkat pada tahun 1929 dan pulang dengan gelar Magister Hukum pada tahun 1933. Karena ketekunannya, Maria Ulfah dijuluki sebagai perempuan pribumi pertama yang mendapatkan gelar sarjana hukum dari Universitas Belanda.

ADVERTISEMENT

"Ia adalah putri bupati Kuningan dan berangkat pada tahun 1929 bersama ayahnya, yang telah diberi tugas belajar ke Belanda. Setelah berhasil menamatkan sekolah Koning Willem School 111 di Batavia. Raden Adjeng Maria Ulfah Mohamad Achmad belajar di Leiden. Ia adalah wanita pribumi pertama yang kembali ke Hindia dengan gelar akademis yang diperoleh di Belanda. Ia memiliki satu pendahulu, yaitu dokter Miss Dr. Haroen Al Rasjid, seorang Sumatera, tetapi ia masih berada di Eropa," tulis surat kabar Lokomotif 2 November 1933.

Selepas menyelesaikan pendidikan hukumnya, mengutip surat kabar Sumatra post edisi 7 Februari 1934. Maria Ulfah diangkat sebagai pegawai sementara atau tenaga honorer di Kantor Pemerintahan Kabupaten Cirebon selama tiga bulan dengan gaji sekitar 200 gulden.

Di Kuningan, Maria Ulfah menikah dengan seorang pria bernama Tuan Raden Santoso Wirodihardjo. Kabar dan foto pernikahannya banyak diberitakan dalam surat kabar Hindia Belanda salah satunya surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 1 April 1938.

Dalam foto yang dipasang di surat kabar, terlihat Maria Ulfah dengan memakai pakaian adat jawa dan memakai sepatu berwarna hitam duduk bersama dengan lelaki yang menjadi suaminya. Suaminya yang bernama Raden Santoso Wirodihardjo, terlihat memakai pakaian jas hitam dengan kemeja putih dan juga blangkon. Keduanya memakai kalung bunga dan duduk bersama di kursi pelaminan yang dipenuhi oleh aneka jenis bunga.

Di bawah foto tertulis keterangan Putri Bupati Kuningan Ibu Maria Ulfah dan Bapak Raden Santoso Wirodihardjo telah menikah. Pada saat resepsinya, pesta pernikahan Maria Ulfah banyak dihadiri tamu undangan seperti pejabat Eropa, pribumi, pekerja swasta hingga penduduk pribumi.

Selepas Indonesia Merdeka, karena kedekatannya dengan Sutan Syahrir yang ia kenal lama sejak berkuliah di Belanda, membuat Sutan Syahrir yang kala itu sebagai Perdana Menteri mengangkat Maria Ulfah sebagai menteri sosial pertama di Indonesia. Dalam surat kabar Groningen edisi 12 Maret 1946, alasan Syahrir memilih Maria Ulfah sebagai menteri adalah karena beliau seorang pengacara yang belajar di Belanda.

Meskipun bukan bagian dari delegasi perundingan Linggarjati, namun, karena kedekatannya dengan Syahrir juga, Maria Ulfah mengusulkan agar perundingan dilaksanakan di Linggarjati. Usulan perundingan di Kuningan tersebut muncul saat Maria Ulfah sedang mudik di Kuningan. Ditambah saat itu belum adanya kepastian antara Indonesia dan Belanda mengenai tempat perundingan.

"Awalnya Belanda kan ingin perundingan di Jakarta, tapi Indonesia nggak mau dan menawarkan di Jogjakarta tapi Belanda menolak. Lalu ada salah satu petunjuk dari menteri sosial pertama namanya Ibu Maria Ulfah Santoso yang merupakan putri seorang bangsawan. Ketika berlibur beliau mudik ke Kuningan, nginep di sini, lalu matur kepada Sutan Syahrir dan Presiden akhirnya presiden menanggapi dan datang ke sini, ternyata cocok," tutur Nana Bolin.

Setidaknya ada beberapa alasan kenapa Maria Ulfah mengusulkan Kuningan sebagai tempat perundingan Linggarjati. Pertama lokasinya yang aman dari ancaman musuh sehingga Maria Ulfah menjamin bahwa perundingan akan berjalan lancar. Kedua, suasananya yang sejuk, karena berada di bawah kaki Gunung Ciremai. Atas jasanya tersebut foto Maria Ulfah dipajang di salah satu tembok yang ada di bagian dalam Gedung Perundingan Linggarjati Kuningan.

Meskipun hanya menjadi menteri selama satu tahun. Namun, ada beberapa hal yang dilakukan Maria Ulfah salah satunya adalah melakukan program transmigrasi dari Jawa ke Sumatra. Mengutip surat kabar Arnhemsche Courant edisi 12 Februari 1947, Maria Ulfah memindahkan sekitar 10.000 orang dan 30.000 anggota keluarga dari Jawa ke Sumatra dalam rangka membentuk permukiman.

Sebagai menteri perempuan, Maria Ulfah sangat memperjuangkan isu tentang kesetaraan wanita atau emansipasi wanita. Hal ini dibuktikan dengan diserahkannya rancangan undang-undang tentang pelarangan mempekerjakan perempuan atau anak-anak di bawah usia 16 tahun pada malam hari seperti yang ditulis dalam surat kabar Limburgsch dagblad edisi 21 Desember 1946.

"Surat kabar Republik Indonesia Ra' Jat melaporkan bahwa Menteri Sosial Republik, Ibu Maria Ulfah Santoso, telah menyerahkan rancangan undang-undang untuk disetujui oleh KNIP. Berdasarkan rencana ini, akan dilarang mempekerjakan perempuan atau anak-anak di bawah usia 16 tahun pada malam hari. Sekolah PAUD juga akan didirikan untuk anak-anak di bawah usia 5 tahun," tulis surat kabar Limburgsch dagblad edisi 21 Desember 1946.

Selepas menjadi menteri, Maria Ulfah tidak berhenti untuk aktif memperjuangkan hak-hak perempuan. Pada tahun 1949 Maria Ulfah dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal Badan Kontak Kongres Perempuan Indonesia. Selain aktif dalam bidang politik pemerintahan, Maria Ulfah juga pernah Ketua Sensor Film di Jakarta. Maria Ulfah wafat pada 15 April 1988 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Diculik Pemuda di Bandung

Namun, saat menjadi ketua Komisi Sensor film, Maria Ulfah pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan, yakni diculik oleh sekelompok pemuda. Peristiwa penculikan ini dikabarkan dalam beberapa surat kabar berbahasa Belanda, salah satunya surat kabar Preanger Bode edisi 1 Maret 1957.

Dipaparkan kala itu, Maria Ulfah seorang mantan menteri yang kini jadi Sekretaris Dewan Menteri dan Ketua Komisi Sensor film diculik oleh sekelompok pemuda. Kronologinya, pada waktu sore hari, Maria Ulfah tengah mengadakan pemutaran film Rock N Roll di bioskop.

Pemutaran film Rock N Roll tersebut dilakukan setelah sebelumnya terjadi penolakan pemutaran film bertema Rock N Roll di bioskop yang ada di Indonesia. Penolakan tersebut bermula dari adanya pementasan tarian dan pemutaran film Rock N Roll di Hotel Homan Bandung yang memicu reaksi keras dari masyarakat. Akibat reaksi tersebut, seluruh film yang bertemakan Rock N Roll ditarik di pasaran.

Mendengar informasi tersebut, beberapa pimpinan organisasi perempuan mengirimkan permohonan kepada Maria Ulfah yang saat itu bertugas sebagai Ketua Sensor Film agar menonton bareng film Rock N Roll yang dilarang. Tujuannya, agar para pimpinan organisasi dapat menyampaikan pendapatannya tentang pelarangan film tersebut.

Permohonan dari organisasi wanita yang ada di Jakarta tersebut dikabulkan oleh Maria Ulfah. Dengan bantuan perwakilan dari Colombia Pictures, Maria Ulfah bersama dengan pimpinan organisasi wanita dapat menonton film Rock N Roll yang berjudul "Don't Knock the Rock" di Jalan Segara, Bandung.

Setelah tamu undangan duduk dan film akan diputar, tiba-tiba Ibu Maria Ulfah dicari oleh sekelompok pemuda di luar bioskop yang ingin menonton film. Karena tempat duduk di dalam bioskop tidak mencukupi, akhirnya Mariah Ulfah keluar sendiri dan menemui para pemuda untuk menyampaikan bahwa bangku tidak cukup.

Namun, tiba-tiba, kedua tangan Maria Ulfah dipegang oleh dua orang pemuda dan memberi isyarat agar Maria Ulfah diam dan mengikuti mereka. Maria Ulfah dibawa oleh sekelompok pemuda tersebut dengan kendaraan oplet menuju gedung pemuda di Jalan Waringin Bandung. Orang yang melihat Maria Ulfah dibawa dengan diam-diam, langsung mengejar oplet tersebut dan memberi tahu polisi.

"Para wanita lainnya yang juga menyaksikan kejadian itu tidak tinggal diam, tetapi malah mengirim mobil mereka untuk mengejar kedua oplet tersebut. Mereka juga pergi untuk memberi tahu polisi," tulis surat kabar Preanger Bode edisi 1 Maret 1957.

Sesampainya di gedung, Maria Ulfah bertemu pimpinan pemuda tersebut dan menyampaikan bahwa sekarang kondisi negara sedang tidak baik-baik saja. Para pemuda, meminta agar Maria Ulfah fokus dan memikirkan pelaksanaan konsep negara presidensial. Saat itu, Indonesia sedang dilanda ketegangan politik tentang isu demokrasi terpimpin yang diusulkan Presiden Soekarno.

Mendengar kata-kata dari pemuda revolusioner tersebut, Maria Ulfah mengatakan bahwa dirinya akan menaati saran dari pemuda tersebut. Namun, ia juga menyampaikan bahwa para pemuda jangan sampai terbawa hawa nafsu dan tidak menghasut orang untuk melakukan hal yang tidak bertanggung jawab.

Menurut Maria, kondisi negara yang sedang berevolusi akan terus berlanjut sampai konsep presidensial dilaksanakan. Setelah kejadian tersebut, Maria Ulfah dilepaskan. Tak lama kemudian sebuah truk mobil yang berisi polisi datang ke lokasi kejadian.

Setelah kembali ke rumah, Maria Ulfah didatangi oleh banyak tamu seperti Jaksa Agung, Badan Investigasi Kriminal dan Ajudan Perdana Menteri.

"Setelah Ibu Maria Ulfah kembali ke rumah, Maria Ulfah dikunjungi berturut-turut oleh Jaksa Agung, anggota badan investigasi kriminal, dan ajudan Perdana Menteri. pascakejadian tersebut, warga Banten dan pemuda Banten juga datang menemui Ibu Ulfah untuk mendapatkan keterangan langsung dan menyampaikan protes kepada pemerintah, agar pemerintah mengambil tindakan tegas sebagaimana layaknya negara hukum," tulis surat kabar Preanger Bode edisi 1 Maret 1957.

Sementara itu dalam surat kabar Preangerbode edisi 6 Maret 1957 disebutkan bahwa Komando Pangkalan Djakarta Raya telah mengambil tindakan terhadap para pemuda yang beberapa waktu lalu menculik Maria Ulfah Santoso saat pemutaran film rock and roll untuk anggota organisasi wanita.




(mso/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads