Malam itu, suasana Jalan Siliwangi tampak ramai, berbagai kendaraan melintas di jalan yang menghubungkan Kota Cirebon dengan Indramayu tersebut. Di salah satu samping jalan dekat Alun-Alun Kejaksan, terlihat seorang penjual jajanan jadul berupa kacang dan jagung rebus.
Jajanan tradisional tersebut dijual seorang pria paruh baya bernama Dulatip (45). Dengan menggunakan gerobak becak sederhana yang dipasangi lampu petromaks, setiap hari Dulatip berjualan kacang dan jagung rebus di sepanjang Jalan Siliwangi, Kota Cirebon.
"Sengaja pakai lampu petromaks biar unik, nyeni juga, di bawahnya ada kompor gas sama air rebusan, biar kacang sama jagungnya hangat terus," tutur Dulatip, belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dulatip sendiri sudah berjualan kacang dan jagung rebus sejak tahun 2006. Tidak ada alasan khusus mengapa Dulatip lebih memilih berjualan kacang dan jagung rebus. Ia hanya mengatakan kemampuan berjualan yang ia miliki adalah berjualan jajanan tradisional, bukan jajanan modern.
Mulanya, Dulatip hanya berjualan kacang. Namun, seiring berkembangnya waktu, Dulatip mulai berjualan jagung rebus. Kacang dan jagung tersebut Dulatip dapatkan dari pasar.
Menurutnya, baik dulu maupun sekarang, jajanan tradisionalnya tetap diminati pembeli.Dulatip biasanya akan mulai berjualan dari pukul 16.00 WIB sampai dagangannya habis.
"Dulu juga ramai, sekarang juga ramai. Bedanyakalau dulu uang Rp 10.000 masih gede, tapi sekarang kan sudah nggak. Sehari bawa jagung 70 butir, kadang dapat Rp 500.000 omzetnya, soalnya tergantung banyak pembelinya juga.Kalau masih ada, jualan sampai jam 12 malam. Kalau lagi ada acara di kota sampai jam 3 malam juga pernah," tutur Dulatip.
Dulatip sendiri memiliki tiga anak, salah satu anaknya sudah lulus SLTA. Dulatip memaparkan, besar keinginannya bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus perguruan tinggi.
Keinginan Dulatip menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya bukan tanpa alasan. Sebab, dulu saat masih remaja, ia juga pernah bersekolah, namun, karena harus membantu orang tuanya mencari nafkah, Dulatip harus rela berhenti sekolah untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Sempat sekolah, tapi cuman sampai tsanawiyah, baru satu minggu disuruh pulang lagi, bantu-bantu orang tua untuk biaya kebutuhan adik-adik di rumah. Saya pengennya anak-anak itu kuliah dulu belajar dulu," tutur Dulatip.
Keinginan Dulatip untuk menyekolahkan semua anak-anaknya dibuktikan Dulatip dengan bekerja siang dan malam. Jika sore sampai malam Dulatip berjualan, di siang harinya Dulatip akan bekerja serabutan sebagai petani dan petambak garam di pesisir Cirebon. Semuanya ia lakukan demi anak-anaknya.
"Kalau siang jadi petani punya lahan orang, pas musim kemarau jadi petambak garam, kan deket sama pesisir. Harapan saya bisa menyekolahkan anak-anak setinggi-tingginya, semuanya demi anak," pungkas Dulatip.
(orb/orb)