Di Jalan Kesambi, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon terdapat rumah sakit peninggalan masa Hindia Belanda. Rumah sakit yang sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati tersebut, ternyata memiliki sejarah panjang.
Dikutip dari laman resmi rsudgunungjati.go.id, pembangunan Rumah Sakit Gunung Jati mulai diwacanakan pada tahun 1919 oleh Dewan Kota. Untuk peletakan batu pertamanya, dilaksanakan pada 14 Maret 1920 dan selesai pembangunan setahun setelahnya.
Diresmikan dengan nama Rumah Sakit Oranje oleh Wali Kota Cirebon, J.H Johan pada 31 Agustus 1921. Di tanggal tersebut juga, diperingati sebagai hari lahir rumah sakit. Saat itu, pembangunan rumah sakit menghabiskan biaya yang cukup banyak, yakni mencapai lima ratus empat puluh empat gulden. Dana tersebut diperoleh dari pemerintah Gemeente Cirebon dan para saudagar pemilik pabrik gula.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pegiat sejarah Cirebon, Putra Lingga Pamungkas, sebagian dana pembangunan rumah sakit berasal dari pemilik pabrik gula keturunan Tiongkok bernama Mayor Tan Tjin kie. "Namanya Rumah Sakit Oranje, sebagian besar pendanaannya dari Major Tan Tjin Kie," tutur Lingga. Rabu, (3/7/2024).
Lingga menjelaskan, pembangunan Rumah Sakit Oranje bertujuan untuk mengentaskan permasalahan kesehatan di Cirebon. Kala itu, Cirebon dikenal sebagai kota yang kumuh dan banyak penyakit menular.
Lewat semboyan per aspera ad astra, pemerintah kolonial Cirebon, mulai menata kembali kota Cirebon. "Dibangunnya rumah sakit bertujuan mengatasi permasalahan kesehatan karena faktor kotornya kali bacin. Kemudian muncullah semboyan per aspera ad Astra, dari kota kumuh menggapai kota yang bersih," tutur Lingga.
Atasi Masalah Penyakit TBC
![]() |
Hadirnya rumah sakit Oranje, membuat masyarakat Cirebon menjadi sadar akan pentingnya masalah kesehatan. Dalam koran, Algemeen handelsbeld voor Nederlandsh indie edisi 25 Mei 1937 menyebutkan, hadirnya rumah sakit membuat banyak masyarakat Cirebon datang untuk berobat. Dipaparkan pula, mengenai rincian pasien yang dirawat.
"Kami menyimpulkan bahwa kunjungan berada dalam tren meningkat. Ini disebabkan, meningkatnya kesadaran akan adanya lembaga bermanfaat ini di kalangan warga Cheribon dan sekitarnya. Sebanyak 1,352 pasien (955 dewasa dan 397 anak-anak) saat ini terdaftar sebagai pasien rumah sakit," tulis koran Algemeen handelsbeld voor edisi 25 Mei 1937.
Dalam koran Batavia Niewsblad edisi 28 Oktober 1936 menyebutkan, bahwa kebanyakan pasien di Rumah Sakit Oranje adalah pengidap tuberkulosis atau TBC. Ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah saat itu untuk mengatasi penyebaran penyakit TBC.
Pertama, Rumah Sakit Oranje membuka konsultasi tentang penyakit TBC, perhatian khusus juga diberikan pada pasien untuk mencegah penularan virus. Kedua, mengadakan penelitian penyebaran tuberkulosis di Cirebon. Ketiga, membuka layanan dokter di sekolah yang ada di Kota madya Cirebon.
Krisis Keuangan
Beberapa tahun sebelumnya, akibat banyaknya pasien yang dirawat, Rumah Sakit Oranje, sempat mengalami krisis keuangan, seperti yang diberitakan dalam koran Het Niews van den dag voor Nederlanche Indie edisi 16 Juli 1934.
"Karena Provinsi Jawa Barat tidak siap untuk mengambil alih Rumah Sakit Kota "Orange" dan Pemerintah Kota tidak dapat lagi menanggung kerugian operasional tahunan yang berulang-ulang," tulis koran Het Niews van den dag voor Nederlanche Indie edisi 16 Juli 1934.
Sebagai solusi, bupati menyarankan dewan kota, untuk mengajak komunitas di daerah Cirebon untuk berkontribusi dalam pembiayaan rumah sakit. Nantinya, mereka diberikan hak suara dalam pengelolaan manajemen rumah sakit. Bahkan, dalam koran Batavia Niewsblad 17 Desember 1934, pemerintah mengajak masyarakat yang mampu, untuk menyumbang secara sukarela.
"Segala upaya akan dilakukan untuk mendorong masyarakat di Cheribon yang mampu secara finansial, untuk memberikan kontribusi terbaik dalam pengoperasian rumah sakit kota," tulis Batavia Niewsblad 17 Desember 1934.
Pada tahun 1936, dalam koran De Lokomotif edisi 28 Januari 1936. Disebutkan, Pemerintah Cirebon akan melakukan penghematan anggaran, seperti memotong tunjangan anggota dewan, pengurangan biaya makan dan minum, serta mengurangi tenaga kerja di rumah sakit.
"Mengurangi tunjangan anggota dewan (saat ini NLG 90 per bulan) menjadi NLG 75 per bulan; mengurangi jumlah anggota dewan, yang menurut keputusan dewan dari 4 menjadi 3 pada tanggal 1 Juli 1936, menjadi lebih kecil, bila perlu hanya 2 anggota dewan, atau menghapuskan lembaga ini seluruhnya," tulis De Lokomotif edisi 28 Januari 1936.
Khusus untuk mengatasi masalah penyakit tuberkulosis, rumah sakit juga juga menerima dana sumbangan dari industri hiburan yang ada di Cirebon. "Dana yang diperlukan akan diperoleh dari sumbangan Kabupaten Cirebon, Kotamadya Cirebon, dan desa-desa di Kabupaten Cirebon, serta dari hasil Pasar Malam, pertunjukan bioskop, pertandingan sepak bola, dan lain-lain," tulis koran Batavia Niuwsblad edisi 28 Oktober 1936.
Rumah Sakit Oranje juga menjadi saksi meninggalnya Soeparman, seorang Menteri Kehakiman Negara Pasundan yang menjadi bagian negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS), seperti yang dituliskan dalam koran Nederlandsche Dagbladpers Batavia edisi 15 Oktober 1948.
"Pada hari Kamis pagi pukul setengah delapan dalam perjalanan dari Bandung menuju Cheribon. Mobil Pak Soeparman, Menteri Kehakiman Negara Pasundan, menabrak pohon asam dengan kecepatan tinggi hingga tumbang. Tn. Soeparman terluka parah dan dibawa ke Rumah Sakit Orange di Cheribon, di mana dia meninggal," tulis koran Nederlandsche Dagbladpers Batavia edisi 15 Oktober 1948.
Meski sudah berusia satu abad, rumah sakit Gunung Jati masih tampak gaya arsitektur kolonialnya. Hal ini terlihat dari bagian depan rumah sakit yang masih menggunakan tembok dan jendela khas bangunan kolonial.
(iqk/iqk)