Malam yang sejuk menyelimuti pemukiman padat di Sekeloa, kawasan yang dikenal sebagai pusat kost mahasiswa. Tempat ini menjadi lokasi bertumbuhnya budaya Sunda yang kini menghadapi tantangan modernisasi.
Tepat setelah adzan Isya berkumandang, suara hentakan kaki memecah sunyi di sebuah lapangan serbaguna. Beralaskan karpet hijau, beberapa anak berbaris rapi dan mulai melakukan peregangan, sebagai tanda mereka siap berlatih.
Di balik barisan kompak itu, ada sosok pria berbadan tegap dengan rambut klimis yang mengawasi para muridnya. Usep (57) tetap berdedikasi melestarikan satu hal yang kian terpinggirkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berangkat dari hobi dan kesenangannya terhadap kesenian Sunda, Usep menjadi penggerak kegiatan pencak silat di lingkungan Tubagus Ismail-Sekeloa.
Meskipun tidak pernah menjadi seorang atlet, Usep mengatakan, kecintaannya pada pencak silat membuatnya bertekad untuk terus menghidupkan budaya Sunda di lingkungannya.
"Saya otodidak. Sejak lahir, Bapak senang silat, dan memang keluarga Bapak dahulu dari seni. Silat memang merupakan kegiatan yang sangat jarang saat ini, tapi sekarang bisa jadi tren," kata Usep.
Tujuannya sederhana, Usep ingin melihat budaya Sunda ini tetap ada di tengah modernisasi. Usep juga ingin menyelamatkan anak muda agar tidak terlalu banyak terpapar internet, terutama melalui ponsel.
"Ya, lumayan. Walaupun tidak menutup kemungkinan di rumah sendiri kalau sudah selesai silat, pasti balik lagi main HP. Tapi minimal dalam satu bulan, empat kali otak mereka bisa rehat dengan hadirnya kegiatan silat ini. Jadi tujuannya ke sana, selain prestasi ya," kata Usep.
Menjaga silat tetap hidup di zaman modern ini bukanlah perkara mudah. Banyak hal yang harus Usep lakukan. Ada waktu dan materi yang harus dikorbankan. Usep bahkan sering memprioritaskan kegiatan ini dibandingkan pekerjaannya demi membangun paguron silat di lingkungannya.
"Memang saya agak sulit awalnya mendirikan pencak silat ini. Harus koordinasi, harus tahu dulu silsilah daerah, lalu tokoh masyarakat yang pecinta seni itu siapa," ungkapnya.
Usep juga menegaskan bahwa ia menganggap silat ini sebagai ladang mencari amal. Baginya, mencari keuntungan dari melatih anak-anak ini adalah hal yang haram.
"Nol besar saya harus mendapatkan keuntungan, tidak ada sama sekali saya harus berbisnis di pencak silat. Murni saya mencari amal untuk ke depannya," ucapnya.
Silat di daerah Tubagus sendiri sebenarnya sudah menjadi budaya dan diminati anak muda sejak tahun 2009. Saat itu latihan masih diadakan seadanya di balai RW yang cukup sempit.
Pada saat itu juga masalah mulai muncul. Adanya masalah pengelolaan dan pelatihan membuat banyak murid merasa bosan dan akhirnya mengundurkan diri sehingga kegiatan seni bela diri ini sempat terhenti.
"Waktu itu nama paguron masih Putra Pakuan. Berjalan kira-kira satu tahun. Tapi setelah itu vakum. Karena pelatihnya mungkin sibuk dan tidak konsisten cara melatihnya. Akhirnya bubar," cerita Usep sambil mengenang masa itu.
Tak lama setelah itu, Usep berkeinginan untuk menghidupkan kembali kegiatan pencak silat ini. Dengan tekad itu, Usep mencoba mencari informasi dan cara agar kegiatan ini kembali hidup.
"Dulu pernah mengikuti kegiatan pasanggiri. Di sana sempat melihat paguron Ciung Wanara. Sangat bagus. Akhirnya tertarik. Jadi kami coba mengobrol dengan pengurus dan para pendiri dari Ciung Wanara. Akhirnya kami diterima di tahun 2015 atau mungkin 2016 sampai saat ini," jelasnya.
Saat itu, Usep harus memulai semuanya dari awal, dengan melengkapi persyaratan dan silsilah dari paguron yang baru. Akhirnya kegiatan persilatan di Tubagus kembali berjalan dan melahirkan talenta berprestasi.
Dengan kegigihannya, dari hanya 3 murid yang tersisa, Usep mencoba menarik perhatian lagi dengan mengajak dan melakukan rekrutmen pelatih-pelatih hebat. Berkat kerja sama mereka, akhirnya banyak anak yang tertarik untuk ikut kegiatan silat ini.
Selain dari lingkungan Tubagus, peserta yang mengikuti latihan silat ini datang dari berbagai sudut Bandung, mulai dari Ujung Berung, Lembang, Cisitu, dan sekitarnya. Umurnya pun beragam mulai dari 9 hingga 16 tahun.
Menurut Usep, daya tarik silat bukan hanya soal bela diri, tetapi juga pembinaan karakter. Latihan tidak melulu soal teknik dan prestasi, tetapi di sela-sela itu, Usep juga mengajak anak-anak membangun rasa kekeluargaan dengan bermain, mengikuti latihan di luar ruangan, hingga camping.
Bertambahnya jumlah murid yang mendaftar menyebabkan perubahan lokasi latihan. Bukan lagi di balai kecil, kini latihan dilaksanakan di Lapangan Serbaguna RW 01.
Sebagai seseorang yang aktif terlibat dalam kepengurusan RW, Usep memastikan tempat latihan tetap terawat dan tidak mengganggu warga.
Dukungan dari warga sekitar menjadi salah satu faktor penting keberlangsungan kegiatan ini. Citra positif yang dibangun Usep menghilangkan penolakan dari warga sekitar. Kegiatan silat ini justru kini dianggap sebagai bagian dari identitas lingkungan.
Nazwa, warga setempat, menilai kehadiran silat ini merupakan hal yang positif dan didukung penuh.
"Di zaman sekarang jarang ada anak muda mau menampilkan budaya sendiri, dan di daerah saya sendiri ternyata lebih bisa melestarikan budaya ini, keren sekali," ungkapnya sambil tersenyum sumringah.
Pencak silat ini dianggap warga sekitar sebagai ucapan rasa syukur dan bentuk pelestarian budaya. Selain latihan, pencak silat di lingkungan ini sering ditampilkan pada acara-acara warga yang puncaknya memang pada perayaan 17 Agustus.
Meskipun kegiatan ini mendapat banyak dukungan dari lingkungan sekitar, permasalahan dari peserta didik tetap muncul. Jumlah peserta dari tahun ke tahunnya mengalami pasang surut.
"Sekarang kurang lebih ada 30 orang. Awalnya ada sampai 40 orang, tapi ya banyak yang beranjak dewasa, banyak yang terbentur dengan kegiatan sekolah, ada yang mulai malas, ada juga yang pindah profesi, misalnya dari silat ini jadi senang futsal," ungkap Usep.
"Seandainya usianya tidak bertambah, Teteh ini pasti sudah menjadi atlet yang berpotensi," lanjut Usep sambil menunjuk salah satu muridnya, Keyla.
Keyla merupakan peserta dari paguron yang sudah lama mengikuti kegiatan silat di lingkungan ini. Sejak duduk di bangku SD Keyla memang sudah tertarik pada kegiatan silat ini atas kemauannya sendiri.
"Alasannya, saya suka seni. Awalnya penasaran, dan memang dulunya agak tomboy juga," jelasnya.
Setelah mengikuti kegiatan silat ini, Keyla merasa banyak perubahan pada dirinya, mulai dari sikap disiplin sampai kekuatan fisik yang bertambah. Perubahan tersebut juga dirasakan oleh Ibu dari Keyla, Mae.
Mae sangat mendukung anaknya untuk mengikuti kegiatan silat ini, dengan harapan anaknya bisa terus berkembang dan menorehkan prestasi.
"Alhamdulillah, sampai saat ini saya tetap mendukung. Apalagi waktu ada kejuaraan, dia mendapatkan penghargaan juga. Memang cuma tidak juara satu, tapi dia kalau tidak salah juara harapan berapa. Tapi setidaknya kami bangga, apalagi kalau dia lebih giat lagi, mungkin ke depannya akan lebih maju lagi," kata Mae.
Ibunda dari Keyla ini mengakui bahwa kegiatan silat ini memang sudah bagus sedari dulu. Ia juga merasa seiring waktu, silat di lingkungan ini semakin berkembang dan bagus.
Selain sebagai seni dan budaya di lingkungan, paguron silat ini juga sering mengikuti kompetisi mulai dari tingkat wilayah, kota, provinsi, nasional, Sea Games, Asian Games, internasional, sampai kejuaraan dunia.
Berawal dari latihan seadanya di balai RW, sekarang paguron silat yang didirikannya telah berhasil mencapai panggung kompetisi internasional.
Keberhasilan tersebut tidak lepas dari perjuangan Usep. Dengan mengumpulkan anak-anak sekitar sampai mencari cara bergabung dengan paguron lain, Usep berhasil membangun kegiatan seni di Tubagus ini menjadi hidup dan berjalan.
Sosok Usep dikenal di lingkungan sebagai orang yang mengayomi, disiplin, dan tegas. Perannya di lingkungan dirasa penting oleh warga sekitar demi membangun lingkungan yang baik dan kenal budaya.
"Kalau tidak ada beliau, mungkin pencak silat di lingkungan ini sudah tidak ada. Kami juga jadi lebih tahu budaya sendiri," ungkap Nazwa.
Di tengah zaman yang terus berubah dan terbawa arus modernisasi, Usep memilih berdedikasi dengan caranya sendiri. Menjaga satu ruang kecil agar budaya tidak sepenuhnya hilang.
Di lapangan itu, jejak budaya masih terus bergerak setiap malam lewat setiap hentakan kaki.
Simak Video "60 Pelari Fake Runners Lelarian Selasa Malam di Bandung!"
[Gambas:Video 20detik]
(mso/mso)











































