Kabupaten Ciamis merupakan sebuah daerah paling timur di Jawa Barat. Daerah ini selain memiliki panorama alam yang menawan, juga menyimpan sejarah panjang yang menarik untuk dibahas. Berawal dari masa kerajaan hingga menjadi kabupaten.
Perjalanan sejarah Kabupaten Ciamis tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Kerajaan Galuh, yang didirikan pada abad ke-7 Masehi oleh Wretikandayun. Dalam perkembangannya Galuh kemudian menjadi Kabupaten Galuh lalu berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis.
Ciamis Pada Masa Kerajaan Galuh
Dikutip dari buku Galuh Dari Masa Ke Masa tahun 2020 yang ditulis oleh Prof Nina Herlina bersama tim menyebutkan setelah berakhirnya masa Kerajaan Tarumanagara di Tatar Sunda, lahir Kerajaan Galuh yang diikuti juga berdirinya Kerajaan Sunda. Kerajaan Galuh didirikan Prabu Wretikandayun pada awal abad VII Masehi yang sebelumnya berkuasa di Kendang. Wilayah tersebut termasuk dalam Kerajaan Tarumanagara. Wretikandayun kemudian memindahkan pusat kekuasaannya dari Kendan ke Bojong Galuh (Karangkamulyan).
Nina Herlina menjelaskan eksistensi Kerajaan Galuh bisa dilacak dari beberapa sumber berupa naskah, antara lain: Carios Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa, Wawacan Sajarah Galuh, Sejarah Galuh Bareng Galunggung, Ciung Wanara, Carita Waruga Guru, Sajarah Bogor, Sanghyang Siksakanda'ng Karesian, Carita Parahyangan, dan Carita Ratu Pakuan. Naskah Sanghyang Sik-sakanda'ng Karesian yang ditulis pada 1518, serta naskah Carita Parahyangan yang ditulis setahun setelah Kerajaan Sunda runtuh (1580) merupakan sumber yang tergolong sumber primer karena ditulis sezaman atau lebih mendekati masa eksistensi Kerajaan Galuh.
Sekitar Abad VIII Masehi, selain Kerajaan Galuh di Tatar Sunda telah berdiri pula Kerajaan Sunda. Eksistensi kerajaan ini bertahan sampai dengan Abad XVI. Batas wilayah antara Kerajaan Galuh dengan Kerajaan Sunda adalah Sungai Citarum. Wilayah Kerajaan Galuh mencakup seluruh Priangan Timur, Cirebon, dan Kuningan. Pusat kerajaan terletak di kaki Gunung Sawal pada pertemuan wilayah Tasikmalaya.
Dalam perjalanannya, Kerajaan Galuh sempat terjadi konflik akibat dari pengambilalihan tahta oleh Purbasora terhadap Sena sebagai putra mahkota yang sah. Hal tersebut membuat putra Sena, yaitu Rakeyan Jambri (dikenal pula dengan nama Sanjaya) melakukan penyerangan ke pusat Kerajaan Galuh untuk menurunkan Purbasora dari tahtanya.
Sebelum penyerangan tersebut, Sanjaya yang pada awalnya meminta bantuan pasukan kepada Prabu Trarusbawa sebagai Raja Sunda akhirnya dinikahkan dengan cucunya, yaitu Tejakancana. Oleh karena itu, Sanjaya pun mendapatkan warisan tahta dari Prabu Trarusbawa.
Penyerangan yang dilakukan oleh Sanjaya pada akhirnya berlangsung dengan jalan damai dan Purbasora menyerahkan tahta tersebut kepada Sanjaya. Dengan berakhirnya konflik tersebut, Sanjaya menjadi raja di Kerajaan Sunda sekaligus juga sebagai raja di Kerajaan Galuh, ia pun mendapatkan gelar sebagai maharaja karena mempersatukan dua kerajaan yang diwarisinya.
Nina Herlina Lubis dkk menambahkan, setelah menjadi seorang maharaja, Sanjaya kemudian menyerahkan kekuasaannya di Galuh kepada putra Semplakwaja, yaitu Sang Seuweukarma. Sebelum berangkat ke Medang, Sanjaya menyerahkan kekuasaan atas Sunda kepada Tamperan sebagai putra mahkota. Sanjaya menetap di Medang sampai dengan akhir hidupnya.
Setelah menjadi penguasa baru di Kerajaan Galuh, Prebu Guru Dewataprana (Jayadewata) kemudian dinikahkan dengan putri mahkota Kerajaan Sunda, yaitu Kentring Manik Mayang Sunda putri Sang Susuk Tunggal. Melalui jalan pernikahan tersebut maka Dewataprana mendapatkan tahta yang diwariskan dari Susuk Tunggal, dan ia pun kembali melakukan penobatan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Ratu Dewata.
Setelah penobatan tersebut secara kekuasaan maka Sri Baduga menjadi penguasa tunggal untuk seluruh Tatar Sunda dengan keputusannya menyatukan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda.
Posisi Kawali yang secara geopolitik dianggap terlalu dekat dengan Cirebon yang menjadi salah satu pusat penyebaran Islam, memberikan pemikiran bagi Sri Baduga sebagai Maharaja Kerajaan Sunda untuk memindahkan pusat kekuasaan dari Kawali (Kota Galuh Pakwan yang disebut sebagai karaton wetan) ke Kota Pakwan Pajajaran (karaton kulon).
Selain alasan itu, juga atas pertimbangan keberadaan pelabuhan-pelabuhan utama milik Kerajaan sebagai gerbang penghubung dunia luar, berada di Kalapa dan Banten yang lebih dekat untuk diakses dari Kota Pakwan Pajajaran. Upacara pemindahan pusat kekuasaan dari Kota Galuh Pakwan ke Kota Pakwan Pajajaran itu terekam di dalam naskah Carita Ratu Pakuan.
Nina Herlina dkk menjelaskan setelah ditinggalkan oleh Sri Baduga, keadaan politik di dalam Kota Galuh Pakwan (Kawali) mulai bergejolak yang berpotensi ke arah perpecahan antarwilayah di dalam Kerajaan Galuh.
Kondisi tersebut tak dapat terhindarkan sehingga menyebabkan Kerajaan Galuh terpecah menjadi tiga wilayah kekuasaan baru, yaitu: wilayah Putra Pinggan yang dipegang oleh Maharaja Upama, wilayah Cimaragas dipimpin oleh Maharaja Kawali, dan wilayah Kalipucang dipegang oleh Sareuseupan Agung. Setelah perpecahan wilayah dan munculnya tiga penguasa baru itu Kerajaan Galuh semakin terperosok ke dalam kemunduran, yang sebelumnya masih bisa dipertahankan oleh Prabu Haur Kuning.
Keruntuhan Kerajaan Galuh
Kerajaan Galuh mengalami keruntuhan pada 1633 Masehi dengan ditandai pengangkatan Adipati Panaekan oleh Sultan Agung sebagai Wedana, yang secara politik bisa disimpulkan bahwa Galuh telah masuk ke dalam kekuasaan imperium Kesultanan Mataram.
Atas penguasaan wilayah bekas Kerajaan Galuh oleh Mataram tersebut maka fungsi Kota Galuh Pakwan sebagai pusat politik pun dengan sendirinya hilang. Kota tersebut secara perlahan mulai mengalami kekosongan akibat dari eksodus masyarakat penghuninya, karena telah kehilangan segala yang mereka miliki setelah penguasaan oleh Mataram, dan Kota Galuh Pakwan pada akhirnya menjadi sebuah necropolis.
Melihat kekosongan tatanan di Kota Galuh Pakwan (Kawali), Sunan Gunung Jati (Syeh Syarif Hidayatulloh) mengambil kesempatan itu untuk memperluas syiar ajaran Islam ke wilayah tersebut yang selama ini belum tersentuh. Sunan Gunung Jati akhirnya mengangkat seorang Adipati untuk ditempatkan di Kawali yaitu Singacala melalui Pangeran Usman sebagai utusan resmi dari dari Keraton Kasepuhan. Pada masa akhir setelah kejatuhannya, Kota Galuh Pakwan kembali kepada fungsi awalnya yaitu sebuah kabuyutan atau wilayah yang paling sakral di wilayah Tatar Sunda.
(yum/yum)