Dalam setiap gelaran budaya di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, pemandangan yang satu ini hampir selalu muncul, sekelompok orang dengan pakaian serba hitam, membawa beragam barang yang tak lazim. Dari kejauhan, mereka mungkin terlihat seperti pengelana atau bahkan orang dengan gangguan jiwa. Namun sejatinya, mereka adalah seniman, penjaga ruh budaya Sunda.
Mereka tergabung dalam Komunitas Seni Buhun Napak Tilas Kolot Baheula, komunitas yang konsisten hadir di tiap kegiatan adat dan budaya Sunda di Ciamis. Keunikan mereka bukan sekadar pada tampilan, tetapi pada makna filosofis yang dibawa lewat setiap aksesoris yang dikenakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di acara budaya yang digelar di Desa Bangbayang, Kecamatan Cipaku, Jumat (25/7/2025), komunitas ini kembali tampil dengan gaya khasnya. Mengenakan busana hitam-hitam dan membawa berbagai benda seperti tengkorak hewan, tanduk kambing, tongkat kayu, kolotok, bahkan nisan mini, mereka mencuri perhatian banyak pengunjung.
"Kami ini bukan pengamen atau orang gila. Ini seni. Apa yang kami bawa punya makna. Kalau dijelaskan satu-satu, bisa sebulan baru selesai," ujar Abah Iso Sundarya, salah satu tokoh komunitas, yang juga tergabung dalam Paguyuban Seni dan Budaya Pencak Silat Kawasen, Banjarsari.
Menurut Abah Iso, setiap benda yang dibawa memiliki nilai simbolik dan mengandung ajaran hidup. Misalnya, tengkorak monyet mengingatkan manusia agar tidak meniru sifat buruk hewan. Nisan kayu atau tetengger adalah simbol bahwa semua makhluk hidup akan mati. Ada pula ceker ayam, sebagai lambang kerja keras dan kemandirian.
"Jangan selalu berharap pemberian orang lain. Kita harus motekar, berusaha sendiri," tuturnya.
![]() |
Meski tak pernah menghitung jumlah total barang yang dikenakannya, Abah Iso memperkirakan berat seluruh aksesoris bisa mencapai 30 kilogram. Namun, itu bukan beban baginya. Ia justru merasa bangga jika banyak pengunjung yang ingin berfoto bersama. Itu artinya, seni yang mereka bawa masih menarik perhatian.
Lebih dari sekadar atraksi, aksi mereka adalah cara edukatif dan visual untuk menyampaikan nilai-nilai luhur budaya Sunda. Mereka menyebut diri sebagai 'Sunda ridu, Sunda ngaringkid', orang Sunda yang menggenggam kuat akar budayanya.
Sayangnya, menurut Abah Iso, nilai-nilai tersebut kian tergerus oleh zaman. Ia prihatin melihat generasi muda yang lebih tertarik pada budaya luar ketimbang mengenal warisan leluhurnya sendiri.
"Jangankan silat atau tahu tentang Sunda, malah diajarkan tari-tari India, main HP (smartphone). Jadi budaya Sunda hilang dengan kelakuan zaman sekarang," jelasnya.
Melalui tampilan nyentrik dan penuh filosofi ini, Komunitas Seni Buhun Napak Tilas Kolot Baheula berharap bisa menjadi penyambung sejarah dan pengingat identitas bagi generasi penerus.
(dir/dir)