Di tengah arus modernitas yang kian melenyapkan batasan budaya, kesenian tradisi khususnya wayang, menghadapi tantangan besar untuk tetap hidup dan relevan. Namun, di balik tantangan ini, muncul secercah harapan melalui regenerasi kesenian wayang dalam dunia pendidikan.
Kesenian wayang, khususnya wayang golek, memiliki tempat yang sangat penting dalam budaya Indonesia. Sejumlah institusi pendidikan, seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), SMP Yayasan Atikan Sunda, dan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, aktif berupaya menjaga dan mengembangkan warisan leluhur ini. Upaya mereka tak sekadar bertujuan melestarikan tradisi, tetapi juga menanamkan nilai-nilai budaya kepada generasi muda.
Salah satu contoh konkret dari upaya tersebut dapat dilihat di SMP Yayasan Atikan Sunda, di mana keberadaan ekstrakurikuler ukir wayang tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang untuk mengajarkan nilai-nilai budaya lokal kepada siswa juga siswinya. Sebagaimana wawancara yang telah dilakukan dengan Tresna, selaku pembimbing ekskul ukir wayang di sekolah tersebut, memberikan gambaran mendalam tentang tujuan dan manfaat dari program ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak berdirinya pada tahun 1977, SMP Yayasan Atikan Sunda telah berkomitmen untuk mempromosikan budaya Sunda melalui pendidikan. "Sekolah ini sesuai dengan namanya, Yayasan Atikan Sunda, lebih mengedepankan budaya lokal. Kami ingin membekali anak-anak dengan keterampilan, salah satunya melalui ukiran wayang golek," ungkap Tresna saat ditemui pada akhir Oktober lalu.
Melalui ekskul ini, siswa tidak hanya belajar teknik mengukir, tetapi juga mengenal sejarah dan makna dari seni pertunjukan wayang. Selain itu, Tresna menekankan pentingnya etika dalam pendidikan seni. "Sebanyak apapun ilmu yang dimiliki, etika harus lebih dikedepankan. Saya ingin siswa tidak hanya terampil, tetapi juga memiliki sikap yang baik dan menghargai budaya mereka," ujarnya. Nilai inti inilah yang diajarkan melalui ekskul ukir wayang, menjadikannya sebagai wadah untuk mendidik generasi penerus tentang pentingnya melestarikan budaya lokal.
![]() |
Di tempat lain, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) juga berkontribusi dalam regenerasi seni wayang. Mahasiswa seperti Diynan, seorang dalang muda yang telah berpengalaman sejak kecil, mengintegrasikan seni wayang ke dalam dunia pendidikan. Dalam wawancara bersamanya, Diynan menjelaskan bagaimana wayang bisa menjadi salah satu alat untuk menyampaikan nilai-nilai budaya dan meningkatkan keterampilan soft skill sebagai mahasiswa. "Menjadi dalang, saya belajar bagaimana memimpin pertunjukan yang menarik di depan banyak orang. Ini melatih keberanian dan kepedean," ujarnya dalam wawancara pada Jum'at (25/10/2024). Dinan mengakui bahwa menguasai wirahma dan teknik suara dalam mendalang sangat penting untuk menarik perhatian audiens. Keterampilan ini sangat relevan dalam dunia pendidikan, di mana kemampuan berbicara di depan umum dan presentasi menjadi kemampuan yang sangat krusial.
Perjalanan Diynan dalam dunia seni wayang dimulai sejak ia duduk di bangku kelas lima SD, didorong oleh ketertarikan terhadap pagelaran wayang golek serta dukungan keluarganya, terkhusus dari Ayahnya, seorang pemain kecapi yang kerapkali mengiringi pagelaran wayang Ki Dalang Adhi Kontea. Lingkungan yang kaya akan seni memungkinkan Diynan untuk mengekspresikan diri dan belajar tentang wayang secara intensif, terutama melalui pengajaran dari guru dan maestro seni wayang, Adhi Kontea, cucu dari dalang legendaris Abah Ade Kosasih.
Di samping kesibukan perkuliahannya sibuk, Diynan terus mengasah kemampuannya dalam mendalang. "Mencari inspirasi dan bahan yang tepat untuk disajikan kepada audiens menjadi tantangan tersendiri," ujarnya menyadari bahwa kesulitan dalam mendalang tidak hanya terletak pada penguasaan teknik, tetapi juga dalam memahami konsep wayang itu sendiri.
Dinamika belajar ini memberikan pengalaman berharga bagi Diynan, yang kini aktif berlatih secara mandiri dan bersama teman-teman di grup seni yang ia pimpin, Dangiang Giri Mustika. Di sini, Dinan tidak hanya belajar tentang seni mendalang, tetapi juga mengembangkan kepemimpinan dan kemampuan organisasi, dua keterampilan yang sangat penting dalam dunia pendidikan.
Selain itu, Diynan juga tergabung dalam salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Karawitan di UPI yang merupakan wadah untuk melestarikan dan mengembangkan seni tradisional, termasuk wayang. Meskipun dalang tidak menjadi fokus utama dalam UKM tersebut, Diynan berusaha mempromosikan kesenian wayang kepada mahasiswa baru. "Regenerasi sangat penting," katanya, berharap dapat mengajarkan generasi berikutnya tentang seni mendalang. Meskipun UPI belum menyediakan pagelaran wayang yang teratur, inisiatif mahasiswa seperti Diynan dan teman-temannya untuk mengorganisir pertunjukan sendiri mencerminkan semangat pelestarian budaya.
Di hari yang sama, Universitas Pendidikan Indonesia sedang memperingati hari jadinya yang ke-70. Sebagai bagian dari rangkaian acara tahunan ini, UPI menyuguhkan pagelaran wayang golek sebagai bagian dari rangkaian acara tahunan. Acara ini bukan hanya sekadar untuk merayakan ulang tahun UPI, tetapi juga untuk mempersembahkan hiburan berkualitas juga bentuk apresiasi kepada masyarakat sekitar. Atun, Ketua Pelaksana Dies Natalis UPI, menyampaikan pentingnya menyertakan wayang golek dalam acara ini sebagai upaya untuk memperkenalkan budaya tradisional kepada generasi muda dan masyarakat luas.
"Pagelaran ini bukan hanya untuk civitas akademika UPI, tetapi juga dihadirkan sebagai hiburan berkualitas untuk warga sekitar. Dengan demikian, UPI menunjukkan perannya sebagai lembaga pendidikan yang peduli pada masyarakat sekaligus menjaga warisan budaya," ujarnya menegaskan peran UPI dalam menjaga warisan budaya sekaligus merayakan hari jadinya.
![]() |
Wayang golek telah menjadi bagian dari sejarah UPI, selalu menghadirkan hiburan tradisional dalam setiap Dies Natalis. Namun, pandemi sempat menghentikan acara ini selama beberapa tahun, sehingga pagelaran kali ini terasa begitu spesial. "Pandemi sempat menahan kami dari menggelar acara ini hingga 2022. Baru tahun ini kita bisa menghadirkannya kembali dalam skala yang lebih besar," tambah Atun pada Jum'at (27/10/2024).
Di sisi lain, bagi sebagian mahasiswa, kehidupan kuliah sering kali berputar di antara buku dan aktivitas kampus lainnya. Namun, hal itu berbeda untuk Khanha Sandika, seorang mahasiswa semester tujuh Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Di tengah kesibukannya, Khanha yang juga dikenal dengan nama panggung Khanha Ade Kosasih Sunarya, mengemban peran sebagai dalang muda dari Lingkung Seni Giriharja Dua Putu, sebuah keluarga dalang wayang golek terkenal di Jawa Barat. Menggeluti seni pedalangan sejak usia dini, Khanha menyatakan bahwa dorongan keluarganya menjadi alasan utama dirinya mempelajari wayang.
"Meskipun kehidupanku berakar dalam seni, aku memilih untuk melanjutkan pendidikan di bidang Ilmu Komunikasi. Aku ingin menjelajahi dunia yang berbeda di luar seni," ungkap Khanha. Pilihan ini memberinya variasi dalam aktivitas sehari-hari dan membekalinya dengan keterampilan komunikasi yang berguna dalam menyampaikan kisah-kisah wayang kepada khalayak muda yang lebih luas. Menyeimbangkan antara kehidupan sebagai dalang dan mahasiswa bukan tanpa tantangan, namun baginya, seni pedalangan menjadi medium pendidikan yang efektif untuk mengenalkan budaya kepada generasi muda.
"Wayang itu sarana edukasi yang sangat kuat, karena mengandung filosofi dan cerita yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari," jelas Khanha. Ia mengakui bahwa semakin banyak anak muda dan remaja yang tertarik dengan wayang karena keterlibatannya dalam platform seperti TikTok. Media sosial menjadi jembatan antara tradisi lama dengan generasi baru, di mana ia dapat menyajikan wayang dalam format yang lebih menarik dan mudah dipahami. Dengan dukungan dari dosen-dosen di kampus, Kanha berharap dapat mengembangkan metode komunikasi yang lebih efektif untuk memperkenalkan wayang kepada anak muda, sehingga seni tradisi ini dapat terus hidup dan relevan di tengah arus modernitas.
Sebagai seorang dalang muda yang sekaligus mahasiswa, Khanha menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya soal akademik, tetapi juga soal kebudayaan dan nilai-nilai luhur. Dengan komitmennya, ia mengajarkan bahwa seni tradisi seperti wayang golek bukan sekadar hiburan, melainkan sumber pembelajaran yang berharga bagi masa depan bangsa.
Selanjutnya pada wawancara yang lain, Lili Suparli, dosen ISBI Bandung yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan di Fakultas Seni Pertunjukan, berbicara panjang lebar tentang seni wayang, khususnya wayang golek, serta peran aktif ISBI Bandung dalam menjaga dan mengembangkan kesenian ini. Menurutnya, wayang golek identik dengan masyarakat Sunda dan memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari jenis wayang lainnya, seperti wayang kulit di Jawa. Wayang golek dikembangkan oleh dalang Aki Darman pada abad ke-18 atas permintaan Bupati Bandung Wiranatakusumah II, yang ingin menciptakan pertunjukan wayang yang dapat ditampilkan pada siang hari.
Sebagai salah satu institusi pendidikan terkemuka, ISBI Bandung menyadari pentingnya regenerasi untuk melestarikan seni wayang. Di bawah Program Studi Karawitan, mahasiswa diajarkan berbagai aspek kesenian wayang, mulai dari gamelan, vokal sekar pedalangan, hingga teknik mendalang. Menurut Lili, regenerasi tidak hanya soal meniru apa yang sudah ada, tetapi juga inovasi yang tetap menghargai pakem-pakem tradisional. "Melestarikan seni pertunjukan itu bukan sekadar menjaga seperti semula, melainkan mengembangkannya sesuai zaman," ujarnya. ISBI Bandung mendorong mahasiswa untuk menyesuaikan pertunjukan wayang dengan kebutuhan zaman modern, misalnya dengan tata cahaya dan pengaturan panggung yang lebih canggih.
Lili juga menegaskan pentingnya menjaga etika pertunjukan. "Sekarang banyak dalang yang malah membiarkan orang-orang naik ke panggung dan berdiri di belakang dalang, bahkan mengganggu pertunjukan dengan memberi uang saat acara berlangsung. Ini merusak kewibawaan dalang," jelasnya. Dengan demikian, ISBI Bandung berusaha keras menjaga nilai-nilai etika ini dalam pengajaran mereka, memastikan bahwa mahasiswa memahami posisi dalang sebagai pusat pertunjukan. Dengan menumbuhkan penghormatan pada seni wayang, diharapkan bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai bagian dari pendidikan moral.
Regenerasi seni wayang tidak hanya menjadi tanggung jawab pelaku seni dan institusi pendidikan, tetapi juga melibatkan masyarakat dan pemerintah. Lili berharap masyarakat tetap memberikan ruang dan dukungan bagi pertunjukan wayang, sementara pemerintah berperan sebagai fasilitator dalam menyediakan sarana untuk pertunjukan. Media juga diharapkan untuk lebih mempromosikan kesenian tradisional agar tetap hidup di tengah arus modernisasi. Maka saat di penghujung wawancara, Lili menekankan perlunya sinergi dari lima komponen utama dalam pelestarian wayang, mulai dari pemerintah, masyarakat, institusi pendidikan, seniman, dan juga media. "Kalau menurut saya itu kan ada lima komponen, ada lima kalangan yang wajib memajukan kebudayaan itu sendiri," pungkasnya penuh harap pada akhir pekan di penghujung Oktober.
![]() |
Bersamaan dengan ini, ada perjalanan Ali Brata Sena, seorang mahasiswa seni karawitan ISBI Bandung, menambah warna dalam narasi regenerasi seni wayang. Ali mengakui, tantangan terbesar bagi kesenian wayang saat ini adalah regenerasi. Menurutnya, minat generasi muda terhadap wayang golek di Bandung masih cukup baik, namun ia khawatir akan berkurangnya pecinta sejati yang mau menonton tanpa pamrih. "Penonton sejati itu datang karena kecintaan, bukan karena dibayar. Sementara generasi muda saat ini lebih banyak yang menyukai budaya luar," tutur Ali.
Ali berharap pemerintah dan institusi pendidikan dapat lebih banyak menyisipkan materi kesenian tradisional, termasuk wayang golek, ke dalam kurikulum sekolah. Menurutnya, langkah ini akan membantu meningkatkan kesadaran generasi muda terhadap kekayaan budaya lokal. "Kalau sejak kecil sudah dikenalkan, setidaknya ada apresiasi, walaupun tidak semua akan menjadi dalang, tapi pemahaman dan kecintaan mereka pada wayang akan tetap ada," tambahnya.
Di penghujung wawancara, Ali menegaskan bahwa regenerasi dalang dan penonton wayang adalah hal yang esensial untuk keberlangsungan wayang golek. "Saya ingin, kelak anak-anak saya, meskipun bukan keturunan seniman, dapat menjadi bagian dari keluarga besar pencinta wayang. Kalau saya bisa, mereka juga pasti bisa," tutup Ali penuh harap.
Dari beragam cerita dan pengalaman di lapangan, terlihat jelas bahwa regenerasi seni wayang dalam pendidikan bukan hanya sekadar melestarikan sebuah tradisi, tetapi juga membangun karakter dan nilai-nilai budaya yang akan diwariskan kepada generasi mendatang. Dengan melibatkan berbagai institusi, seperti UPI, SMP Yayasan Atikan Sunda, dan ISBI Bandung, upaya ini menjadi contoh nyata betapa pentingnya peran pendidikan dalam menjaga keberlanjutan seni wayang.
Melalui upaya bersama ini, regenerasi seni wayang dalam pendidikan dapat menjadi tonggak untuk menjaga jati diri bangsa, sekaligus menyebarkan kearifan budaya yang tak ternilai harganya kepada dunia.
(tya/tey)