Cerita Apun Gencay, Tafakur Kemanusiaan Ala Gadis Cikembar

Cerita Apun Gencay, Tafakur Kemanusiaan Ala Gadis Cikembar

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Selasa, 05 Nov 2024 15:30 WIB
Ilustrasi Apun Gencay dibuat dengan teknologi AI.
Ilustrasi Apun Gencay dibuat dengan teknologi AI. (Foto: Istimewa)
Bandung -

Dalam kesusastraan Sunda dikenal cerita tentang seorang gadis dari Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Namanya, Apun Gencay.

Cerita tentang gadis ini tersohor sebagai kulminasi pemberontakan rakyat terhadap Bupati Cianjur, Aria Wiratanu Datar IV atau yang dikenal sebagai Dalem Dicondre.

Gelar itu disematkan kepadanya karena mitra dagang VOC tersebut tewas akibat turihan (sabetan) condre, senjata tajam khas Sunda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kisah Apun Gencay telah banyak dipentaskan baik dalam bentuk monolog maupun drama. Di Cianjur, bahkan cerita ini dikisahkan turun temurun. Namun, adakah cerita utuh tentangnya?

Reproduksi cerita Apun Gencay dalam berbagai bentuk pementasan boleh jadi bersumber dari cerita pendek yang ditulis sastrawan Yus Rusyana.

ADVERTISEMENT

Guru besar sastra di IKIP Bandung (UPI) dan Unpad itu menulis cerpen monologis berjudul Apun Gencay pada tahun 1973. Kemudian, cerpen ini pada 2010 dibukukan ke dalam kumpulan cerpen berjudul Jajatén Ninggang Papastén, terbitan Kiblat Buku Utama.

Sinopsis Cerita Apun Gencay

Dalam cerita gubahan Yus Rusyana, Apun Gencay adalah anak somah atau masyarakat biasa yang tinggal di Cikembar, Kabupaten Sukabumi. Meski dari keluarga biasa, parasnya sangat cantik, badannya terawat, sampulur, rambutnya panjang hitam mengilat.

Kecantikan Apun Gencay memikat Bupati Cianjur, Aria Wiratanu Datar IV yang dalam cerita pendek itu disebut Kanjeng Dalem. Bupati ingin Apun Gencay menjadi selirnya dan tinggal di Cianjur.

Maka, Apun Gencay dibawa oleh para pegawai kerajaan dengan menggunakan tandu, untuk segera tiba di Kabupatian dan melangsungkan perkawinan sebagai selir. Kanjeng Dalem sendiri sejatinya sudah punya istri, namanya Raden Ayu dari Batuwangi, Sukapura.

Yang menjadi konflik dalam cerita ini adalah Apun Gencay yang sejak awal sudah punya ikatan cinta dengan seorang pemuda dari Cipamingkis (mungkin daerah perbatasan Cianjur-Bogor dekat Jonggol?), tiba-tiba harus menikah dengan bupati.

Pernikahan dengan bupati itu memang tidak bisa ditolaknya. Menolak atau menerima, bagi Apun Gencay tidak ada pilihan. Dia bisa saja kabur dari rumahnya dan menyusul ke Cipamingkis, namun bahaya akan mengancam kedua orang tuanya di Cikembar. Maka, dia terima saja menjadi selir bupati.

Pemuda Cipamingkis itu berjanji akan mendatangi Apun Gencay setelah panen huma. Akan ada pesta besar pernikahan antara keduanya. Namun, jelas, cita-cita itu gagal. Apun tidak pernah lagi bertemu dengan pemuda itu dalam dunia nyata, namun 'berjumpa' pada maqom yang sama dalam dunia tirakat.

Bupati sendiri kepada Apun Gencay cintanya luar biasa. Sebagai gadis kampung, Apun diberi pendidikan tata dan krama menjadi anggota keluarga Kabupatian oleh seorang perempuan yang statusnya sebagai Indung Rompes. Apun pun cepat mengerti dan bisa bertindak dengan tata krama khas ménak.

Kanjeng Dalem dan Apun Gencay saling mencintai, meski Apun sendiri masih ingat pemuda Cipamingkis yang dia 'khianati' janjinya.

Tafakur Kemanusiaan Ala Gadis Cikembar

Sebagai orang kampung dan merasakan keadaan di kampung serta mengenal orang-orang kampung yang selalu merasa inferior, terhina, kadang tertindas, Apun Gencay tidak bisa lepas dari perasaannya sendiri sebagai orang kampung. Meski kini, Apun telah hidup di Kabupatian.

Dia merasakan dalam-dalam sebuah pertanyaan, apa bedanya orang-orang di kampung dengan orang-orang di Kabupatian. Mengapa ada perbedaan derajat, mengapa satu pihak unggul dan pihak lain tersisih? Inilah tafakur kemanusiaan ala gadis Cikembar.

Perasaan itu semakin menemukan pancarannya ketika Apun Gencay dan Kanjeng Dalem bercinta. Di atas ranjang, dia tidak menemukan Kanjeng Dalem, yang dia temukan adalah dua orang yang sederajat dan sama-sama saling membutuhkan.

Menemukan Rasa yang Sama

Seusai diminta menjadi selir oleh Bupati Cianjur, Apun Gencay tak pernah berjumpa lagi dengan kekasihnya yang pemuda Cipamingkis itu. Namun, tidak mungkin pemuda itu tidak mendengar kabar terbaru soal Apun Gencay.

Yus Rusyana tidak menceritakan detail apa yang dilakukan pemuda itu di luar sana, sebab penulis cerita itu menggunakan sudut pandang (POV) Apun Gencay.

Namun, suatu pagi, Kabupatian ramai. Jasad Kanjeng Dalem ditangisi banyak orang. Darah memenuhi badannya. Lambung kirinya robek. Semua geger. Raden Ayu pingsan tak sadarkan diri. Apun Gencay mengurung diri di kamar.

Tak kepalang sedih Apun Gencay, namun dia juga malu sebab pelaku yang telah menyebabkan Kanjeng Dalem rubuh adalah seseorang yang pernah ada pertalian dengannya, yaitu pemuda Cipamingkis.

Pemuda itu juga tidak selamat, seusai melukai Kanjeng Dalem dengan Condre, pemuda itu dikepung dan ditangkap. Badannya dicingcang. Dalam kalimat Yus Rusyana: ancur lebur pada newekan, pada ngahanca dikaradékan.

Kondisi ini menyebabkan Apun Gencay akan dituding sebagai perempuan yang menyebabkan kekacauan. Itu sudah terbayang oleh Apun Gencay. Namun, di lubuk hatinya, dia berdoa semoga kedua orang yang dicintainya itu bertemu di "alam kalanggengan" (akhirat).

Sebab di alam itu, semuanya sejajar, setara, tidak ada jabatan, tidak ada tinggi pendek, semuanya sama.

Hampelas Raraga Jati

Mengapa pemuda Cipamingkis itu nekat membunuh Kanjeng Dalem? Apakah hanya bernafsu amarah untuk membunuh karena pujaan hatinya direbut Kanjeng Dalem?

Bukan. Apun Gencay kemudian sadar bahwa modal nekat saja tidak cukup untuk berani datang ke Kabupatian dan merobohkan Kanjeng Dalem dengan condré.

Lalu apa lagi modalnya? Kekuatan utama adalah pikiran yang mendalam tentang penderitaan yang dirasakan oleh rakyat kebanyakan ketika itu atas kebijakan bupati dalam hal setoran kopi.

"Abdi terang, sapapadaning kahuru napsu, sajeroning nyeri peurih, Akang téh sasat nirakatan manéh. Nyebutkeun kitu, da abdi sorangan gé kapan kitu. Sajeroning di padaleman téh abdi nirakatan badan sorangan. Akang, kawasna dina sajeroning nyasaran awak sorangan téh urang tepi ka tempat anu sarua, nyaeta ka lebah rasa papada kaula, rasa anu jadi ciri wanci manusa".

(Saya tahu, selain terbakar nafsu amarah, dalam keadaan pedih, Akang pasti tirakat. Bicara begitu, karena aku juga sama. Selama di Padaleman, aku menirakati badan sendiri. Akang, tampaknya waktu menelusur badan sendiri, kita sampai pada tempat yang sama, yaitu rasa sesama hamba, rasa yang menjadi ciri manusia).

Dalam hal ini, Pemuda Cipamingkis itu laksana seorang martir, yang rela mati untuk membela sesuatu hal. Apun Gencay menyebutnya hampelas raraga jati, yaitu 'ikhlas berkorban raga sampai mati'.




(tya/tey)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads