Langkah Kecil Jaga Mata Air Non-Komersial di Daerah Industri Sumedang

Langkah Kecil Jaga Mata Air Non-Komersial di Daerah Industri Sumedang

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Rabu, 16 Okt 2024 06:00 WIB
Mata air Cihanjuang di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang
Mata air Cihanjuang di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang (Foto: Dian Nugraha Ramdani/detikJabar)
Sumedang -

Sebuah bak berukuran sekitar 4x3 meter di tengah persawahan itu kondisinya tak terawat. Bak pemerangkap air sedalam sekitar 1 meter tersebut tiga perempatnya isi tanah dan sampah plastik bekas deterjen, sabun, dan sampo.

Menurut orang-orang tua di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, di tengah bak tersebut dahulunya ada mata air. Etika pengguna air yang kurang sabaran dengan menciduk air langsung ke bak itu tanpa melalui pancuran yang disediakan di bawahnya, membuat mata air mengering.

Puncak ketidaksopanan manusia terhadap air adalah cerita yang tersiar tentang seseorang yang memandikan binatang dengan menceburkannya ke bak itu. Padahal, bak air mata air Cihanjuang adalah sumber air premium dan gratis bagi warga desa untuk minum, mandi, mencuci, dan memanfaatkannya sebagai obat sakit kulit sebelum kebutuhan air dipenuhi Perusahaan Air Minum Desa (Pamdes) dan air yang disediakan PDAM Tirta Medal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mata air yang semula ada di tengah bak itu pindah dengan sendirinya ke luar bak. Sekarang ini, mata air berada di sebelah barat bak, jaraknya sekitar 3 meter dari bak penampung itu. Oleh warga yang peduli, di permukaan mata air itu dipasang pipa diarahkan ke area di bawah bak penampung.

Mata air Cihanjuang di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten SumedangMata air Cihanjuang di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang Foto: Dian Nugraha Ramdani/detikJabar

Maksudnya, agar orang-orang yang mengambil air itu tidak menciduknya langsung dari kubangan mata air. Dengan begitu, mata air itu tidak kembali 'pundung'.

ADVERTISEMENT

Baru-baru ini, sekelompok pemuda terdiri atas anggota PC Gerakan Pemuda Ansor, Gerakan Muda Peduli Alam (Gempa), juga ibu-ibu pengajian, dan tokoh Desa Cihanjuang melawat ke bak mata air Cihanjuang itu. Lawatan itu dalam upaya ngarumat, yaitu menjaga dan memelihara mata air.

Menjaga Mata Air Non-Komersial

Ngarumat Mata Air Cihanjuang dilaksanakan dengan sederhana namun khidmat pada Jumat (27/9/2024) sore. Di dalamnya, ada berdoa bersama untuk kelangsungan hidup masyarakat dengan air bersih yang bisa diakses sepanjang tahun secara gratis.

Selain itu, terpantik diskusi mengenai langkah-langkah revitalisasi bak pemerangkap air yang terkubur tanah dan sampah itu.

Sedimen pada bak direncanakan untuk diangkat hingga bersih dan bak diperbaiki supaya air tertampung tidak bocor. Jika mata air di dasar bak tidak muncul kembali setelah sedimen dikeruk, maka rencananya air akan dialirkan dari mata air di luar bak.

Namun, karena bersifat swadaya, para pemuda harus 'penuh etika' menemui sejumlah orang yang terkait dengan mata air itu, seperti pemilik tanah tempat air muncul dan orang-orang yang selama ini merawat mata air itu untuk menyampaikan ide memelihara sumber air tersebut.

Menariknya, mata air ini tidak pernah mau dialirkan ke lokasi yang jauh, apalagi sampai dibuat sebagai sesuatu yang komersial. Jika ada upaya komersialisasi, menurut penuturan Haji Ato, tokoh setempat, mata air itu akan 'pundung' atau hilang dengan sendirinya. Mata air Cihanjuang itu akan tetap menjadi sumber mata air alami yang gratis.

Mata air Cihanjuang di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten SumedangMata air Cihanjuang di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang Foto: Dian Nugraha Ramdani/detikJabar

Mata air Cihanjuang sebagai sumber air bersih yang gratis sepanjang tahun dan telah berlangsung selama puluhan tahun ini, adalah oase di tengah komersialisasi air di daerah industri.

Kecamatan Cimanggung, Sumedang adalah daerah yang area-area datarnya dijadikan lokasi pendirian pabrik-pabrik industri besar dan dataran-dataran tingginya mulai bersalin rupa menjadi kompleks-kompleks perumahan. Resapan air berkurang dan dalam situasi yang semi-kota ini, tidak mudah menemukan air bersih gratis.

Koordinator Gerakan Muda Peduli Alam (Gempa), Deki Ismailudin mengatakan upaya para pemuda untuk merevitalisasi bak mata air Cihanjuang adalah demi memperbesar daya guna mata air itu.

Sebab, masih banyak warga di sekitar mata air itu yang masih menggantungkan pemenuhan kebutuhan air setiap hari kepada mata air Cihanjuang itu.

"Ini terus diupayakan secara swadaya dengan pendekatan-pendekatan kultural. Kami sambangi orang-orang yang terkait dengan mata air itu untuk meminta izin revitalisasi. Mata air ini penting karena namanya menjadi nama Desa Cihanjuang, ini berarti mata air tersebut telah menjadi situs budaya warga desa dan semestinya dipelihara. Langkah ini, semoga juga berlajut terhadap mata air lainnya di sekitar kami," kata Deki.

Di masa lalu, mata air Cihanjuang tidak menggunakan bak, melainkan kubangan air yang dipasangi pancuran dari bambu untuk mengalirkannya suaya tidak diciduk langsung. Di seluruh sisi kubangan itu ditanami tanaman Hanjuang. Bak tembok sendiri dibangun sekitar tahun 1990-an.

Tradisi Melemparkan Koin

Kebiasaan melempar koin ke mata air terjadi di berbagai kebudayaan, meski tidak diketahui kapan mulainya tradisi ini, para ahli biasa merujuk ke zaman Romawi-Inggris dan Celtik.

Bill Maurer, seorang antropolog sekaligus dekan Fakultas Ilmu Sosial di Universitas California menjelaskan bahwa tradisi melempar uang koin ke mata air sambil menyampaikan harapan agar terwujud ditemukan di daerah yang kini dikenal sebagai Turki, pada tahun 500 SM.

Tradisi itu sampai juga ke Desa Cihanjuang. Warga yang memanfaatkan air dari mata air Cihanjuang ada yang terbiasa melemparkan uang koin sebagai tindakan terima kasih. Uang itu mungkin akan berserakan di bak air, namun menurut penuturan para orang tua, tak ada cerita uang koin menghambat laju air dan menyebabkan penyakit di Cihanjuang.

Studi yang dilansir situs Science Direct menyebutkan uang koin yang dilemparkan masyarakat ke mata air Trevi di Roma terbukti menjadi vektor polusi kimia dan mikroba terhadap air. Mengingat, uang koin terbuat dari logam dan sebelumnya telah berpindah-pindah tangan.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads