Bulan safar atau bulan kedua dalam penanggalan hijriah, menjadi bulan yang dianggap tabu oleh orang Sunda sebagai waktu melangsungkan pernikahan.
Tabu atau pamali ini telah mendarah daging, bahkan di zaman yang telah modern ini, mitos pamali menikah di bulan safar masih melekat kuat. Tidak ada alasan jelas mengapa ada mitos larangan ini, sebab larangan ini bagian dari adat orang Sunda.
Adat, sebagaimana dijelaskan dalam pengantar buku "Upacara Adat di Pasundan", R Akip Prawira Suganda (1982), merupakan hal yang tidak ada landasannya, melainkan itu tumbuh saja di tengah-tengah masyarakat Sunda sejak lama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Boleh jadi, adat berkembang karena informasi mengenai keagamaan Islam yang dianut masyarakat Sunda setelah menganut Hindu, belum tersiar selengkap seperti sekarang ini. Sehingga, kondisi tersebut mewarnai kepercayaan orang Sunda. Di dalam Islam sendiri, tidak ada larangan untuk menikah di bulan Safar.
Saking kuatnya mitos tersebut berkelindan dengan etnomatematika yang berkembang di Sunda untuk memperhitungkan hari baik dan hari kurang baik untuk melangsungkan pernikahan.
Bagaimana mitos bulan Safar sehingga orang Sunda pamali menikah dan etnomatematika yang menyertai perhitungan tersebut?
Penamaan Bulan Safar
Kata "safar" atau "sapar" di dalam bahasa Sunda diserap dari kata dalam bahasa Arab "shofar". Kata ini memiliki arti kosong, merujuk kepada kondisi masyarakat Arab pra-Islam yang biasa meninggalkan rumah-rumah mereka dalam keadaan kosong, karena harus berdagang ke tempat-tempat yang jauh.
Dalam alam pikir orang Sunda, sapar tak jarang diartikan sebagai "saparengna" atau seadanya. Menandakan pada bulan itu, kehidupan tidak penuh dengan kemudahan dan keberlimpahan sejahtera.
Ada pula istilah "Sasapareun". Menurut kamus Sundadigi, sasapareun adalah sifat mudah marah, gampang tersulut emosi, terkhusus sifat ini ngancik pada orang yang terlahir di bulan Safar.
Pada bulan ini pula, dikatakan Anjing-anjing hutan melolong di malam hari karena puncak birahi yang menyergap tubuh mereka. Anjing-anjing itu musimnya kawin.
Kondisi yang demikian ini boleh jadi yang menjadi latar mengapa ada tabu atau pamali bagi orang Sunda untuk menikah, apalagi menggelar pesta pernikahan dengan mewah pada bulan Safar.
Etnomatematika Orang Sunda Pamali Menikah di Bulan Safar
Etnomatematika adalah cara berhitung atau matematika yang dikembangkan oleh kelompok etnis tertentu. Tak jarang, etnomatematika bertalian dengan perhitungan hari, bulan, tahun, hari baik melangsungkan pernikahan, dan lain sebagainya.
Studi berjudul "Studi Etnomatematika Pada Aktivitas Urang Sunda dalam Menentukan Pernikahan, Pertanian dan Mencari Benda Hilang" yang dimuat Jurnal Penelitian Pendidikan dan Pengajaran Matematika, Vol. 5 No. 2, 2019 menjelaskan dengan jelas etnomatematika orang Sunda dalam menentukan waktu pernikahan.
Cara menghitungnya adalah menentukan hari pada bulan hijriah lalu dibagi 5. Pembagi lima ini adalah jumlah dari ketentuan Sri, Lungguh, Dunya, Lara, Pati.
"Sri=langgeng tapi banyak masalah dengan pasangan. Lungguh = tidak akan kekurangan, ada dalam kemajuan, jika melakukan usaha akan selalu berhasil. Dunya= termasuk kedalam hasil yang buruk, karena hanya suka pada kedunian namun tidak pernah terkumpul hasilnya. Lara= penyakit, artinya sering ditimpa penyakit, banyak ditipu, yang pinjam uang tidak bayar, dan lain sebagainya, Rezekinya memang bagus tetapi banyak godaannya. Pati= sedang jaya maka banyak sekali rezekinya namun jika sedang krisis maka habis seluruhnya (bangkrut)," tulis Fitri Fakhrun Nisa, dkk. dalam jurnal tersebut.
Sebagai contoh, seseorang akan menikah di bulan Ramadan tanggal 7. Maka perhitungannya adalah 7:5, hasilnya adalah 1 (sisa 2 tidak dihitung). Angka satu itu tinggal dicocokkan dengan rumusan yang lima. Satu berarti Sri, langgeng tapi banyak godaan. Demikian seterusnya.
Namun, ada larangan bulan dari bulan-bulan hijriah itu untuk dilaksanakan padanya pernikahan. Tidak jelas perhitungan larangan ini, namun itu telah termasuk dalam rumus etnomatematika pernikahan di Sunda.
"Maksudnya yaitu di dalam tahun hijriyah terdapat larangan bulan dan hari. dimana larangan bulannya yaitu bulan muharam, safar dan mulud di bulan tersebut dalam kepercayaan sunda benar-benar tidak boleh dilakukan pernikahan," tulis jurnal tersebut mengutip wawancara dengan Amin Efendi, sesepuh sekaligus canoli di Kampung Lembur Balong, Kecamatan Pataruman, Kelurahan Pataruman, Kota Banjar, Jawa Barat pada 2019.
Pandangan Islam Tentang Pamali Menikah di Bulan Safar
Rasulullah Muhammad SAW menegaskan bahwa tidak ada kesialan pada bulan Safar. Didalam hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari, Rasulullah bersabda bahwa semua hal yang terjadi di alam raya ini adalah atas kehendak Allah SWT, bukan karena perhitungan hari-hari tertentu.
"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa." (HR al-Bukhari)
Rasulullah SAW membuktikan bahwa Safar adalah bulan baik untuk menikah, sama halnya dengan bulan lain. Rasulullah menikah dengan Sayyidah Khadijah RA, pada bulan Safar.
Tak sampai di situ, di kemudian hari, Sayyidah Fatimah putri Rasulullah SAW dari pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah dinikahkan kepada Ali bin Abi Thalib RA, pada bulan Safar tahun kedua hijriah.
Demikian, menurut Islam, menikah di bulan Safar bukanlah hal yang pamali.
(tya/tey)