Karakteristik Hari dalam Seminggu Menurut Orang Sunda, Lengkap dengan Dewa Penyerta

Jika ada horoskop, ramalan, atau zodiak yang membicarakan karakteristik hari-hari dalam seminggu, ada hari baik dan hari kurang baik, orang Sunda juga punya hal demikian. Bedanya, hari-hari tersebut dimaknai lebih mendalam.

Namun dalam hal ini, orang Sunda, sebagaimana diungkapkan dalam Wawacan Gandasari, tampaknya hanya mengenal hari baik. Semua hari baik adanya.

Wawacan Gandasari adalah sebuah naskah yang berisikan cerita tentang kakak-beradik, Kiai Ganda dan Kiai Sari. Isi wawacan ini bercorak Tasawuf. Wawacan ini ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Undang A Darsa, dkk. dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1992.

Di dalam wawacan ini, ada percakapan Kiai Ganda dan Kiai Sari mengenai karakteristik hari. Barangkali, wawacan ini mewakili alam pikiran orang Sunda mengenai karakteristik hari dari Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu.

Namun, meski bercorak Tasawuf Islam, masih terbawa perbincangan mengenai dewa-dewi, terutama dewa yang menyertai hari-hari dalam seminggu tersebut.

Karakteristik Hari dalam Seminggu Menurut Orang Sunda

Sebagai wawacan yang berisikan ajaran Tasawuf-Islam, Wawacan Gandasari dalam naskah berbahasa Sundanya menyebutkan Minggu sebagai Ahad, yaitu hitungan pertama. Ahad dalam bahasa Arab berarti kesatu, pertama, atau permulaan.

Minggu

Di dalam Wawacan Gandasari, diceritakan bahwa Minggu merupakan hari yang pertama. Hari tersebut berkarakter matahari. Dan dewa yang menyertai hari tersebut adalah Dewa Badak.

"Mimitina poe Ahad, eta anu dihin , Sarangenge lakuna mah, dewa Badak ceuk wong alim. (Mulanya hari Ahad, matahari karakternya. Dewa Badak kata orang 'alim)."

Namun, ungkapan tentang Minggu itu ternyata sebuah siloka atau kiasan. Maksa sebenarnya diceritakan setelahnya. Yakni, bahwa karakteristik matahari itu sebenarnya mata di badan manusia. Dengan mata, orang meyakini "Yang Ahad" sebagai satu-satunya Tuhan.

"Mimitina poe Ahad, ahadiat ngan sahiji, lakuna lakuning soca, ayana sahiji ati, anu matak ngan sahiji, nya eta nyataning enur (mula-mulanya hari Minggu, martabat hanya satu, kelakuan mata, adanya satu ati, menyebabkan hanya satu, yaitu teryata cahaya)".

Senin

Karakteristik hari Senin seperti kembang. Begini kata Wawacan Gandasari: reujeung poe Senen deui, dewana ge meureun lauk, lakuna oge kembang (terus hari Senin, dewanya mungkin ikan, karakteristiknya kembang).

Tapi kemudian siloka itu dijelaskan di bait selanjutnya. Bahwa Senin itu sejatinya kembang yang merekah pada batin manusia. Tanda kebahagiaan.

"Senen mah dina manah, ayana dina ati sir, kanyataan nu disebut awak urang (Senin pada hati, adanya dalam perasaan batin, kenyataannya yang disebut badan kita)."

Selasa

"Salasa lakuna deui, seuneu basa Kakang kitu, dewana meureun oray (selasa karakteristiknya api, itu bahasa Kakang, dewanya barangkali ular)".

Demikian karakteristik hari Selasa menurut Wawacan Gandasari. Namun, itu sekali lagi adalah siloka. Yang punya makna di baliknya. Yakni, orang harus mampu mengendalikan diri supaya tidak terjebak dalam karakter hari Selasa.

"Salasa lakuning geni, di urangna dina napsu, sipatna ki amarah, cicing dina bayah deui, bijilna mah tina cepil duanana (Selasa itu karakteristiknya api. Dalam diri kita berwujud nafsu, mudah memunculkan amarah, tempatnya di dalam bayah/hati, keluar lewat dua telinga)".

Rabu

"Rebo mega nu dilangit, dewa macan kitu panggih pun Kakang (rabu itu lembayung di langit, dewanya adalah macan, menurut temuan Kakang)".

Apa maknanya? "Rebo kanyataan, nya eta roh idopi, nyaeta jenengan urang (rabu kenyataannya, yaitu roh idopi, yaitu nama kita)".

Kamis

"Kemis Raspati ngaranna, eta teh lakuning angin, dewana manuk ngarana (Kamis itu Raspati, tegasnya karakteristik angin. Dewa harinya adalah burung)".

Kamis itu punya karakteristik angin. Namun, bukan angin yang mengahantarkan dingin, melainkan angin yang membawa kehidupan. Yaitu, angin yang bergulir di dalam tubuh manusia. Tarikan nafas. Yang kalau angin itu berhenti, matilah tubuh kita.

Begini maknanya menurut Wawacan Gandasari: "Kemis lakuning angin, lain angin kumbang leutik, lain angin Barat liuh, angin jatining napas, hanteu kandeg beurang peuting, mun ngarandeg tinangtu jagatna ruksak."

(Kamis berlakunya angin, bukan angin kumbang kecil, bukan angin barat liuh, angin jatining napas, kalau dia berhenti pasti rusaklah jagat).

Jumat

Jumat punya karakteristik air, dan dewa di air adalah kodok. Siloka ini kemudian ditafsirkan sendiri dalam dialog antara Kiai Ganda dan Kiai Sari.

"Juma'ah nya hanteu jauh, cai eta nyatana, lain cai tina pasir, reujeung lain karacak cai susukan. Lain cai geledegan, lain cai anu asin, eta lain cai hujan, lain seuseupan nu asin, lain sagalaning cai, lain pancuran ci susu, cai nu saenyana, dingarankeun cai mani, wadi mani maningkem jadi salira."

(Jumat tidak jauh, air itu nyatanya, bukan air dari bukit, dan bukan air yang jatuh dari atap rumah atau sungai. Bukan air rimba belantara, bukan air yang asin, itu bukan air hujan, bukan mengisap yang asin, bukan bermacam-macam air, bukan pancuran cinyusu, air yang sebetulnya disebut air mani, wadi mani manikem jadi tubuh).

Sabtu

Sabtu itu berlakunya bumi, dewanya adalah kera. Karakteristik bumi ini juga merupakan siloka. Bahwa yang dimaksud adalah manusia sendiri sebagai pusat perbincangan di muka bumi ini.

"Saptu tea, eta teh lakuning bumi, lain taneuh anu gempal, lain taneuh porang pasir, lain taneuh nu karikil, lain taneuh beureum gunung, lain taneuh sagala, kanyataan bumi jisim".

"Sabtu itu, itu berlakunya bumi, bukan tanah yang gempal, bukan tanah pasir yang liat, bukan tanah yang kerikil, bukan tanah merah dari gunung, bukan bermacam-macam tanah, kenyataannya dunia jisim/badan)".