Ngabungbang, Tradisi Terjaga Sepanjang Malam Purnama

Ngabungbang, Tradisi Terjaga Sepanjang Malam Purnama

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Selasa, 23 Jul 2024 16:00 WIB
A rare Blue Supermoon rises over Lake Michigan as spectators watch from Chicagos 31st Street beach Wednesday, Aug. 30, 2023. (AP Photo/Charles Rex Arbogast)
Ilustrasi kegiatan saat bulan purnama (Foto: AP/Charles Rex Arbogast)
Bandung -

Orang-orang suku asli benua Amerika merayakan terang bulan purnama dengan menamai masing-masing purnama dalam setahun itu, sesuai dengan kondisi alam dan kegiatan yang mereka lakukan.

Seperti misalnya di bulan Juli ini Buck Moon atau Purnama Tanduk Rusa, ada pula Hunt Moon atau Purnama Berburu di bulan Oktober di mana pada waktu tersebut, kebiasaan orang asli Amerika berburu bison yang menjadi makanan pokok mereka.

Tak jauh, orang Sunda di Jawa Barat juga punya apresiasi yang sama terhadap bulan purnama, meski ini hanya dilakukan sekali dalam setahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Orang Sunda punya tradisi Ngabungbang, yaitu terjaga sepanjang malam ketika purnama raya tanggal 14 Mulud, atau 14 Rabiul Awwal. Kegiatannya beragam, ada yang berjalan-jalan kaki ke berbagai tempat, ada yang berkumpul di pesantren, atau ada yang berkunjung ke tempat-tempat yang dinilai punya kemuliaan.

Makna Kata Ngabungbang

Ngabungbang ada banyak versi maknanya. Pertama, ada yang menyebutkan bahwa ngabungbang merupakan pengucapan lain dari "Ngabalungbang". "Nga" adalah imbuhan, sementara "balungbang" adalah suasana yang terasa leluasa, hegar, pandang mata tiada terhalang. Maka Ngabalungbang berarti suasana yang menjadi leluasa.

ADVERTISEMENT

Kedua, ada yang menyebut Ngabungbang adalah dua kata, "nga" dan "bungbang", yang berarti secara sengaja berkelana atau melakukan perjalanan kelana.

Makna yang ketiga lebih meyerap dalam kebudayaan Sunda. Menurut Budi Rahayu Tamsyah dalam Kamus Sunda-Sunda (1996), disebutkan bahwa Ngabungbang berarti:

"Nyaring sapeupeuting di luareun wawangunan, biasana ditempat-tempat anu dianggap aya karamatan dina malem tanggal 14 Mulud"

(berkelana dan bergadang semalaman di luar rumah yang biasanya di tempat-tempat yang dianggap keramat-suci- di malam tanggal 14 Mulud).

Tradisi ini dilakukan pada bulan Mulud atau Rabiul Awwal, yaitu bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Di Banjar Sudah Ada Sejak 1915

Tradisi Ngabungbang sudah ada sejak lama di Kota Banjar, tradisi ini bahkan ada pada tahun 1915, dan merupakan tradisi yang dinanti-nanti warga setempat. Tradisi ini hidup, meski di kemudian hari mengalami perubahan dalam pelaksanaannya.

Studi berjudul "Kebudayaan Ngabungbang dari Tahun 1915-2009 di Kota Banjar" oleh Wulan Sondarika yang dimuat Jurnal Artefak Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 menjelaskan tradisi yang hidup di Banjar itu.

Menurut Wulan, mula-mula, tidak ada aturan baku dalam ngabungbang, namun kemudian, orang Sunda ngabungbang dengan terlebih dahulu menyiapkan syarat-syarat ritual. Alasannya, karena purnama pada bulan Mulud (pelafalan orang Sunda untuk Maulud), dinilai punya kemuliaan berlebih.

"Pada zaman dahulu, Ngabungbang dilakukan pada waktu sareupna (pukul 17.00 - 18.00) sampai sareureuh budak (pukul 19.00 - 20.00). Dalam waktu-waktu itu, diisi oleh kaulinan barudak (permainan anak-anak) yang dilakukan di halaman rumah. Sedangkan orang tua ngawangkong (ngobrol) di golodog (teras rumah) tentang pertanian, perdagangan dan lain-lain.

Setelah ngawangkong, mulai tengah peuting setelah anak-anak istirahat kemudian dilanjutkan mandi di tujuh sumur, puncaknya di cucurah (mata air) atau tgmpat-tempat keramat lainnya maksudnya adalah untuk bersih dari segala dosa.

Apabila Ngabungbang bertepatan dengan bulan purnama, malam tanggal 14 jatuh pada malam, Jum'at kliwon dan pada bulan Mulud, maka Ngabungbang dilaksanakan secara besarbesaran." tulis Wulan Sondarika.

Ijazah Karahayuan di Pesantren Cikalama

Pesantren Cikalama di Desa Sindangpakuon, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang merupakan salah satu pesantren tua di Jawa Barat yang hingga kini masih eksis. Di pesantren ini, tradisi Ngabungbang biasanya dipusatkan.

Memang, secara kebudayaan, Ngabungbang tidak terlembagakan, namun, karena Pesantren Cikalama merupakan pesatren tua, dengan alumni yang tersebar banyak, secara automatis tempat ini menjadi magnet dalam tradisi ini.

Biasanya, pada malam 14 Mulud ketika bulan purnama terang total, warga keluar rumah. Ada yang berziarah ke tempat-tempat yang dinilai keramat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki. Tujuan akhir perjalanan malam itu adalah Pesantren Cikalama.

Di pesantren ini ada tradisi pewarisan (ijazah) jampi atau doa karahayuan yang biasa disebut Ijazah Karahayuan. Yang menarik, doa yang dilapalkan harus diterima hanya dengan ingatan saja, tidak boleh terdokumentasi dalam tulisan, rekaman, bahkan video.

Muhammad Rifqi Hadziqi dalam studi berjudul "Tradisi Ijazah pada Prosesi Ngabungbang di Pondok Pesantren Cikalama Sumedang dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan" yang dimuat Jurnal Riset Agama, Volume 1, Nomor 3, Desember 2021 menyebutkan Ijazah Karahayuan terkait dengan Limbangan.

"Secara historis tradisi Ngabungbang berasal dari Karahayuan Limbangan yang diijazahkan pada bulan Maulud, yang kini dikenal denga istilah Ngabungbang. Melaksanakan Ngabungbang diartikan juga sebagai memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud Ijazah Karahayuan (keselamatan) dalam prosesi ini ialah merupakan kalimat turun-temurun yang dianggap sakral sehingga tidak bisa didokumentasikan baik dalam bentuk tulisan maupun media," tulis Rifqi.

Bagaimana dengan tradisi ngabungbang di tempat tinggal detikers?




(tya/tey)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads