Pulau Jawa yang kini terbagi tiga daerah administratif, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur pada tahun 2015 saja telah dihuni sebanyak 145 orang.
Sebelum sepadat seperti sekarang ini, Jawa adalah pulau yang kosong yang hanya dihuni oleh Dewa Kayu dan Dewa Batu. Demikianlah penceritaan Babad Pakuan atau Babad Pajajaran, sebuah naskah Sunda kuno yang berfokus pada sosok Guru Gantangan mencari Ratna Inten.
Karena kosong melompong, tentu pulau Jawa sebelumnya tak punya nama. Penamaan Jawa datang kemudian karena aktivitas orang-orang yang datang ke tempat ini dan bercocok tanam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, bagaimana asal-usul nama Jawa menurut Babad Pajajaran itu? Simak yuk!
Babad Pakuan atau Babad Pajajaran
Yang menjadi rujukan dalam artikel ini adalah Babad Pakuan atau disebut juga Babad Pajajaran yang telah dialih bahasakan oleh Drs. Atja, dkk. dan diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1977.
Babad Pajajaran sendiri merupakan bab tersendiri dari sebuah babon yang lebih tua. Babad Pajajaran terkhusus bercerita tentang bagaimana raja-raja di Sunda memerintah dari sejak sebelum Ciung Wanara hingga Prabu Siliwangi.
Menurut Drs. Atja, dkk. salinan Babad Pajajaran ini ditulis pada tahun 1816 Masehi. Bahasa aslinya menggunakan dialek Cirebon yang merupakan campuran antara Jawa-Sunda.
Dalam cerita Babad Pakuan, dikisahkan Prabu Siliwangi bermimpi melihat perempuan cantik namanya Ratna Inten. Ketika semua patih dikumpulkan untuk ditanyai siapakah yang tahu di mana Ratna Inten berada, tak seorang pun menjawab.
Namun kemudian, titah untuk mencari Ratna Inten yang akan dijadikan istri oleh Prabu Siliwangi jatuh kepada anaknya yang masih remaja, Guru Gantangan. Guru Gantangan adalah anak dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Kentring Manik Mayang Sunda.
Kondisi Pulau Jawa yang Kosong
Dalam Babad Pajajaran, mula-mula dikisahkan ada sebuah pulau yang kosong tidak ada penghuninya. Tersebutlah orang-orang di belahan dunia lain menyebutnya pulau Nusa Ara-ara.
Pulau Nusa Ara-ara yang subur ini menarik hati orang dari belahan dunia lain. Maka ketika itu, datanglah serombongan orang dipimpin Raja.
Seorang Raja menikah dengan putri Mesir, Sri Putih lalu datang ke Nusa Ara-ara dan menetap. Raja membawa dua ribu orang. Seribu orang dari Mesir, seribu orang lagi dari Selan.
Sebagai makanan utama, mereka menanam Jawawut yang mereka bawa dari Mesir. Jawawut tumbuh subur. Karena tanaman iniah, maka Nusa Ara-ara berubah nama menjadi Jawa.
Di Pulau Jawa, raja mendirikan kerajaan dengan pusat kerajaan di Medang Kamulan. Karena kerajaan bertahan lama, penduduknya bertambah jadi 10.000 orang.
Raja pindah ke Gunung Kidul dan membuat lagi negara. Kerajaan lalu ke Ngandong Ijo, kemudian ke Lodaya, pindah lagi ke Rohan, lalu ke Lombok dan terakhir ke Medang Agung yang dikenal dengan nama kerajaan Galuh di Bojong Galuh. Raja yang pertama telah lama wafat. Penduduknya bertambah lagi menjadi 18.000 orang.
Asal Usul Nama Pulau Jawa
Dalam babad tersebut, dikisahkan bahwa nama Jawa berasal dari nama tanaman sereal berbiji kecil yang menjadi makanan pokok penduduk awal pulau ini, yakni Jawawut.
Jawawut (dalam bahasa Indonesia ditulis Jewawut), menurut Kamus Sundadigi memang sering diasosiasikan dengan nama "Jawa". Namun, itu sebatas terkaan saja.
Situs Bakti.or.id menjelaskan Jewawut adalah tanaman pangan sejenis serelia berbiji kecil dengan diameter sekitar satu milimeter. Jewawut populer sebagai makanan pokok di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sulawesi Barat, Pulau Buru, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Tengah.
"Raja menikah dengan isterinya; lalu menetap di nusa Ara-ara; serta banyak manusia yang dibawanya; manusia dua ribu; yang seribu dari Mesir; yang seribu dan Selan; dan membawa pohon jawawut; itulah makanya disebut nusa Jawa karena menanam jawawut; pada masa itu." tulis Drs. Atja, dkk dalam terjemahan Babad Pajajaran itu.
(tey/tey)