Merawat Seni dari Balik Gang Sempit di Bandung

Merawat Seni dari Balik Gang Sempit di Bandung

Rifat Alhamidi - detikJabar
Kamis, 04 Jul 2024 09:00 WIB
Celah Celah Langit
Celah Celah Langit (Foto: Istimewa).
Bandung -

Bentuknya memang begitu sederhana. Meski hanya bermodal lapangan terbuka dan berada dalam kawasan gang di pemukiman warga, tapi salah satu komunitas kesenian di Kota Bandung, Jawa Barat (Jabar) ini sudah menjelma menjadi garda dalam merawat kebudayaan selama puluhan tahun lamanya.

Celah Celah Langit (CCL) adalah namanya. Sejak diresmikan pada 22 Mei 1998, komunitas kesenian yang berlokasi di Gang Bapak Eni, Ledeng, Kota Bandung dan dimotori dosen teater di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Iman Soleh, tercatat telah menampilkan ratusan pementasan. Isu lingkungan hingga kemanusiaan, menjadi menu utama garapan komunitas ini meski belakangan kerap ditafsirkan sebagian besar kalangan sebagai isu politik untuk mengkritik pemangku kebijakan publik.

Teater jadi ruang ekspresi utama komunitas ini dalam menyalurkan keseniannya. Tak ayal, sejumlah jebolan yang lahir dari Celah Celah Langit kerap menghiasi layar kaca secara konvensional maupun digital. Contohnya, ada nama pelawak perempuan Rina Nose yang pernah merasakan gemblengan CCL, hingga Peri Sandi Huizache yang namanya belakangan viral setelah membacakan puisi berjudul 'Mata Luka Sengkon Karta' lewat syair fenomenalnya 'Aku, Seorang Petani Bojongsari'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelum Celah Celah Langit diresmikan, Iman Soleh yang masih berstatus mahasiswa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI, kini menjadi ISBI) memang sudah begitu dekat dengan kesenian. Bersama kakaknya, Tisna Sanjaya, lokasi yang kini menjadi kawah candradimuka bagi siapapun yang ingin belajar kebudayaan dari seluruh daerah di Indonesia itu sudah bergeriliya mengenalkan kesenian meski penuh dengan keterbatasan.

"Dari tahun 80-an itu, tempat ini lebih banyak diisi sama kegiatan seni rupa sama sastra. Jadi tempat riung aktivis juga, maka kami disebut organisasi tanpa bentuk pada saat itu," ucap Iman Soleh saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.

ADVERTISEMENT

Seiring berjalannya waktu, lokasi itu kemudian seakan menjadi oase bagi para pegiat kesenian, terutama mereka yang beraktivitas di Kota Kembang. Kemunculan Celah Celah Langi tak bisa dipisahkan dari momen runtuhnya Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Indonesia Suharto.

Dalam perbincangannya, Iman Soleh mengatakan sebetulnya lahirnya Celah Celah Langit tidak ada hubungannya sama sekali dengan peristiwa kelengseran Presiden Kedua Indonesia. Kebetulan saja, kata dia, pertunjukan yang sudah digagas itu waktunya bertepatan dengan momen tersebut.

"Memang tidak sengaja. CCL kan lahirnya 22 Mei 1998, kebetulan 21 Mei itu Suharto turun. Jauh dari situ, kita udah ngegagas pementasan di sini. Meskipun kegiatannya nyerempet-nyerempet juga ke situ yah," ucap Iman Soleh dengan tawa lepasnya.

"Akhirnya diselenggarakanlah pementasan, ternyata orang datang berjibun ke sini. Disangka perayaan (lengsernya Suharto), padahal enggak. Emang mau bikin acara aja sekalian peresmian Celah Celah Langit di sini," ujarnya menambahkan.

Sejak saat itu, Celah Celah Langit resmi didirikan pada 22 Mei 1998. Yang lebih spesial, nama tersebut dicetuskan seorang musisi kondang Tanah Air, Sawung Jabo, rekan seangkatan Iwan Fals dulu di grup Kantata Takwa.

Celah Celah LangitIman Soleh, pendiri Celah Celah Langit (Foto: Istimewa).

Semenjak kemunculannya, Celah Celah Langit pernah diberi nama fenomenal di salah satu surat kabar di Bandung. Bagaimana tidak, kepanjangan dari CCL saat itu diberi judul sebagai Center Culture of Ledeng yang turut meramaikan dinamika kemunculannya di dunia kesenian.

Terlepas dari semua itu, kemunculan Celah Celah Langit memang seolah menjadi jawaban atas krisis pelestarian kebudayaan di Kota Kembang. Sejak komunitas ini didirikan, ruang-ruang kesenian makin berkembang dan menjadi pusat perhatian banyak orang.

"Dan kondisi di CCL memang begini, lokasinya masuk gang, kami tidak pernah ada panitia yang serius seperti organisasi. Kami tidak terdaftar lembaga manapun sejak lama, tapi walaupun tidak dibantu juga nggak apa-apa, jalan aja," ungkap Iman Soleh.

Dengan prinsip yang kerap ia junjung, Iman Soleh pun tak pernah alpa menyematkan isu-isu yang berbau kritikan dalam setiap pementasannya. Masalahnya, Iman justru mengaku, semua ide itu muncul dari setiap pemeran yang tampil dalam perjuntukan yang ia siapkan.

Dalam lakon berjudul 'Bedol Desa' misalnya, Iman Soleh mengatakan, pertunjukan itu dibuat dengan metode collaborative of text. Seluruh pemainnya dilibatkan dalam meramu naskah pertunjukan, bahkan para pemerannya yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia juga menuturkan bahasa daerahnya masing-masing untuk memperkaya pertunjukan yang Celah Celah Langit siapkan.

"Kesenian kami menjadi kaya karena itu, karena tidak saya seragamkan. Saya butuh isu yang ke sini untuk memperkaya hal tersebut. Dengan cara begitu, kita menjadi lebih arif dalam membuat pertunjukan yang membangun kesadaran. Potensi itu yang harus terus dijaga dan dikembangkan," katanya.

"Dan kritik ini menjadi sebuah cara saya mengabdikan untuk kota yang kami cintai. Saya mengkritiknya karena saya mencintainya. Kalau saya tidak peduli, saya justru tidak mencintainya. Itu jadi cara saya mengabdi kepada masyarkaat dan lingkungan," tuturnya menambahkan.

Tak hanya bicara melulu soal pementasan. Iman dan Celah Celah Langit juga mengajarkan para anak didiknya untuk memahami dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Sejumlah cara pun kerap pihaknya lakukan supaya Celah Celah Langit bisa berjalan beriringan dengan warga yang bermukim dan setiap hari melakukan bermacam aktivitas di Lokasi tersebut.

Yang paling fenomenal, Celah Celah Langit punya satu inisiasi program yang diberi nama CCL Awards. Setiap tahun, sejumlah nominasi unik disuguhkan seperti RT terlama, marbot terlama, hingga tukang gali terlama versi Celah Celah Langit.

"Yang langsung itu kayak kemarin Idul Adha, kurbannya di sini. Agustusan kegiatan di sini juga, intinya kita memang harus terlibat dalam masyarakat. Kalau ada kegiatan di sini, kita harus datang ke masjid. Kalau ada pementasan teater, itu akan diumumkan di masjid, biasanya sebelum adzan. Dan kita juga harus datang ke masjid, minta izin ke ustaz buat ngumumin jadwal pementasannya. Jadi memang harus ikut berkecimpung dengan aktivitas warga," paparnya.

Ada satu cerita yang membuat Iman Soleh punya prinsip setiap kesenian itu harus dekat dengan masyarakat sekitar. Iman mengaku, sejak kecil memang begitu dekat dengan kesenian. Di lingkungan yang sekarang dibuat sebagai tempat Celah Celah Langit, ia mengatakan pernah hidup sejumlah pelestari budaya mulai dari kesenian yang tradisional hingga modern.

"Saya tinggal di lingkungan yang begitu indah, namanya Ledeng. Saya punya tetangga, Pak RW almarhum dulunya dalang. Terus Pak RT saya, itu melestarikan calung. Di lingkungan kami di belakang ada bering berung, kelompok terbang buhun. Terus ada ahli penulis aksara Sunda, ada kelompok pencak silat, dangdut, segala macam kelompok kesenian ada di sini. Jadi sejak dulu saya tinggal di sebuah tempat yang sangat toleran terhadap kesenian," urainya.

Hal lain yang membuatnya yakin untuk melestarikan kebudayaan adalah tentang prinsip rumah tumbuh. Bagi Iman Soleh, kesenian itu harus dimulai dari rumah pelakunya masing-masing supaya kebudayaan tersebut takkan lekang ditinggalkan zaman.

"Karena saya orang yang percaya dengan rumah tumbuh. Seperti AA Gym, pesantrennya hebat karena rumahnya di situ. Termasuk hampir semua ruang-ruang kebudayaan yang kuat itu karena rumahnya dijadikan tempat kebudayaannya, tidak bergeser kepada yang lain," katanya.

"Itu yang kemudian saya bilang mulailah dari rumahmu tentang kegiatan kebudayaan itu, jangan bergeser. Saya adalah orang yang bercita-cita, mudah-mudahan ke depan ruang-ruang kebudayaan dimulai dari pembacaan para senimannya sehingga semakin menjadi kuat," pungkasnya.




(ral/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads