Dalam sejumlah cerita pantun di Sunda, sosok raksasa dengan tampang yang menyeramkan bernama Jonggrang Kalapitung selalu menjadi warna dalam menghalangi tokoh utama untuk mencapai tujuannya.
Jonggrang Kalapitung merupakan raksasa yang sangat menyeramkan, helai-helai kumisnya saja digambarkan seukuran tambang-tambang ijuk. Badannya besar. Telapak kakinya bisa membuat bukit menjadi bongkok.
Raksasa atau di Sunda dikenal juga dengan sebutan Guriang adalah jenis makhluk halus. Yaitu, selain bisa menampakkan diri, dia juga bisa membuat dirinya gaib. Namun, dengan kesaktian tertentu, ada pula manusia yang bisa menaklukkan Jonggrang Kalapitung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbeda dengan raksasa lain, Jonggrang Kalapitung adalah raksasa pemangsa manusia. Dalam Carita Pantun Panggung Karaton misalnya, Jonggrang Kalapitung bahkan sempat menghisap darah Bungsu Rarang hingga perempuan itu meninggal dunia.
Perawakan Jonggrang Kalapitung
Jonggrang Kalapitung telah menginspirasi penulis kini untuk menceritakan kembali sosok tersebut. Penulis Budi Rahayu Tamsyah misalnya cerita yang banyak dikutip, mendeskripsikan bahwa badan Jonggran Kalapitung setinggi gunung.
"Kalapitung. Awakna jangkung badag tanding gunung. Kulitna hideung lestreng. Bulu kumis jeung janggotna sagedΓ©-gedΓ© tambang injuk. Buukna gimbal, kakara oyag lamun katebak angin baliung. Γstu pikagilaeun jeung pikasieuneun pisan. Mun ngomong, sorana handaruan tanding gugur. HΓ©sΓ© ngabΓ©dakeunana, naha keur leuleuy atawa keur ambek."
(Kalapitung, badannya besar seperti gunung. Kulitnya hitam legam. Bulu kumis dan janggutnya sebesar tambang ijuk. Rambutnya gimbal dan baru tersibak kalau tertiup puting beliung. Bikin bergidik dan menakutkan. Kalau bicara, suaranya gemuruh seperti guntur. Susah membedakan apakah dia berbisik atau sedang marah).
Jonggrang Kalapitung dalam Mundinglaya Dikusumah
Kocap tercerita, dalam carita pantun Mundinglaya Dikusumah, Mundinglaya harus mendapatkan Lalayang Salaka Domas. Itu semacam jimat yang ada di langit ke tujuh.
Namun, jimat itu ada penjaganya, yaitu mahluk bernama Jonggrang Kalapitung. Dalam studi berjudul "The Story of Guriang Tujuh in The Batik Work of Guta Tamarin", tulisan Arleti M, Apin di Intitut Teknologi Harapan Bangsa, Bandung dijelaskan bahwa Jonggrang Kalapitung, siluman pemangsa manusia itu, adalah penjaga Lalayang Salaka Domas yang mengerikan.
Dalam studi tersebut, digambarkan bahwa Jonggrang Kalapitung menjaga Lalayang Salaka Domas dengan mengulumnya. Selain Jonggrang Kalapitung, juga ada tujuh guriang lain yang menjaga jimat itu yang harus dikalahkan oleh Mundinglaya, putra Prabu Siliwangi itu.
Jonggrang Kalapitung dalam Panggung Karaton
Di dalam carita pantun Panggung Karaton, menurut pengisahan ulang oleh Ayatrohaedi (1993), yang bukunya diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jonggrang Kalapitung adalah siluman yang menurut kepada Gajah Manggala, raja Kerajaan Kuta Genggelang.
Jonggrang yang besar badannya, berbulu, kuku-kukunya tajam, diperintahkan untuk menculik Bungsu Rarang, adik Panggung Karaton yang merupakan raja Dayeuh Manggung.
Raksasa itu berhasil menjalankan aksinya, namun bukannya diserahkan ke Gajah Manggala, Jonggrang Kalapitun membawa mangsanya ke dalam Goa Jotang tempat tinggalnya. Nyatanya, Jonggrang Kalapitung juga berminat kepada Bungsu Rarang yang cantik tiada bandingannya.
Namun, Bungsu Rarang berteriak terus, sehingga Jonggrang Kalapitung jengkel dan akhirnya menghisap darah Bungsu Rarang hingga perempuan itu meninggal dunia. Meski di akhir cerita, dengan kesaktian air dari Cupumanik Astagina, Bungsu Rarang hidup kembali.
Jonggrang Kalapitung di Purwakarta
Cerita yang berlatar di Purwakarta, Jawa Barat ini sedikit unik. Ini bukan cerita pantun, melainkan Jonggrang Kalapitung sebatas legenda. Yakni, kejadiannya sebelum adanya Waduk Jatiluhur.
Jonggrang Kalapitung ingin makan ikan tapi dia tidak tahu cara mendapatkannya dari Sungai Citarum, maka dia meminta warga manusia untuk membuatkannya joran pancing.
Dengan terpaksa dan penuh rasa takut, warga manusia membuatkannya joran lengkap dengan kail dan umpannya berupa kepala kerbau. Sambil mancing dan disaksikan semua manusia di situ, Jonggrang Kalapitung duduk. Satu kakinya menginjak bukit, satunya lagi menginjak pepohonan.
Lama tak berjerak, umpan ada yang menyambar, dan karenan terlewat senang, Jonggrang Kalapitung menarik joran itu dengan kencang sampai kepala kerbau yang telah menjadi tengkorak itu terlempar ke belakang. Kcewa! Ikan yang menyambar itu hanyalah ikan jeler yang kecil. Jonggrang Kalapitung marah-marah, namun di situ sudah tidak ada siapa-siapa sebab manusia sudah kabur semua.
(tey/tey)