Mengenal Nyusur Tanah, Upacara Kematian di Sunda

Mengenal Nyusur Tanah, Upacara Kematian di Sunda

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Kamis, 27 Jun 2024 11:00 WIB
ilustrasi makam
Ilustrasi upacara kematian Nyusur Tanah (Foto: Getty Images/iStockphoto/HAYKIRDI)
Bandung -

Bagi masyarakat Sunda, kematian tidak sesederhana off-liven dalam pandangan filsuf Martin Heidegger. Melainkan sesuatu yang istimewa dan layak dikenang. Karenanya, banyak upacara tradisional yang menyertai prosesi penguburan seseorang.

Di antara upacara itu, ada yang disebut "Nyusur Tanah". Di beberapa tempat lain di pulau Jawa disebut Sur Tanah. Nyusur secara bahasa berarti menelusuri. Tapi dalam hal ini, Nyusur Tanah, menurut Kamus Sundadigi, adalah sedekah di hari kematian.

Nyusur Tanah masih dipraktikkan hingga saat ini. Menurut catatan penulis, hingga tahun 2022, warga di Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang masih melakukan upacara ini. Upacara nyusur tanah dilakukan sesaat setelah orang-orang yang menguburkan jenazah kembali dari kuburan. Tempat diadakan acara ini adalah di rumah keluarga orang yang meninggal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tradisi Nyusur Tanah

Keseluruhan Upacara Kematian

Di Sunda, tampaknya upacara Nyusur Tanah lekat sekali dengan Islam. Ini semacam upacara tahlilan singkat, sebelum dilaksanakan tahlilan 7 hari, 40 hari, hingga 100 hari kematian.

Namun, Nyusur Tanah sejatinya adalah acara pamungkas dari keseluruhan prosesi pennguburan jenazah di Sunda. Prosesi pemulasaraan jenazah tentu diawali dengan memandikan, mengafani, hingga menguburkan.

ADVERTISEMENT

Dalam buku "Upacara Tradisional Daerah Jawa Barat" terbitan Departemen P dan K tahun 1984 dijelaskan rincian upacara pemulasaraan jenazah itu.

Yakni, dimulai dengan upacara ngamandian (upacara memandikan mayat). Ini ditujukan agar mayat tersebut bersih bebas dari kotoran atau najis. Selain itu mayat tersebut sebelum dikuburkan harus suci, oleh karena itu setelah dimandikan, mayat itu kemudian diwuduan (diwudukan).

Setelah ngamandian, ada upacara mungkus (upacara mengkafani mayat). Ini dilakukan, selain sebagai perintah bagi orang Islam, juga dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa orang yang meninggal itu telah bersih dan suci sebelum menghadap Tuhan.

Lalu ada upacara nyolatan (upacara sholat untuk mayat) yang bertujuan untuk mendoakan arwah orang yang meninggal agar diampuni Tuhan atas segala dosa-dosanya, dan agar diterima amal baiknya.

Jenazah lalu dikubur, setelah upacara penguburan selesai barulah ada upacara nyusur tanah.

Runtutan Upacara Nyusur Tanah

Buku "Upacara Tradisional Daerah Jawa Barat" terbitan Departemen P dan K tahun 1984 menyebutkan "Upacara nyusur tanah (upacara menyusur tanah) selain dimaksudkan untuk mendoakan arwah orang yang baru saja dikuburkan juga bertujuan memberi makan minum kepada orang-orang yang telah mengantar ke kuburan sebagai rasa terima kasih keluarga yang ditinggalkan kepada semua orang yang telah mengurus penguburan."

Jadi, upacara ini bukan semata-mata tujuannya kepada jenazah sebagaimana upacara sebelumnya, namun sekaligus ucapan terima kasih kepada orang-orang yang telah rela mengurus jenazah itu.

Keluarga yang sedang berduka biasanya menyebut juga upacara Nyusur Tanah itu dengan kata "hajat". Hajat di dalam bahasa Sunda berarti semacam kenduri.

Nyusur Tanah dipimpin oleh lebe atau penghulu. Di depan lebe, ada dua piring kecil yang isinya nasi. Ada pula di sekitar dua piring kecil itu wadah besar seperti baskom. Di dalamnya ada bakakak hayam (ayam bakar kampung) yang ditutup oleh daun atau kertas nasi.

Di antara wadah-wadah itu ada cobek dari tanah dengan bara api di atasnya. Bara itu diambil dari tungku di dapur. Maksunya, nyala bara itu untuk membakar kemenyan.

Penghulu akan memulai upacara itu dengan terlebih dahulu menyebutkan bahwa itu adalah upacara Nyusur Tanah, yang berarti memungkas prosesi penguburan jenazah seseorang dan berdoa agar ruh yang sebelumnya berdiam pada jasad yang telah dikubur itu, diampuni dosa-dosanya.

Dilanjutkan dengan Tahlil hingga Hari ke-100 Kematian

Situs Desa Batukarut, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung menjelaskan dalam upacara kematian tradisional, setelah Nyusur Tanah, ada acara tahlilan. Tahlilan berarti berdoa dengan di antaranya kalimat "Laa Ilaaha Illallah" yang berarti "Tuhan itu hanyalah Allah SWT".

"Kebiasaan yang dilakukan setelah prosesi pemakaman dilakukan diantaranya Nyusur Tanah yaitu mengucapkan terima kasih pihak keluarga kepada orang-orang yang telah membantu mengurus jenazah dan dilakukan setelah selesai penguburan diadakan di rumah duka dengan membacakan doa bersama dan dikasih makan." tulis situs itu.

Kemudian, dilanjutkan dengan tahlilan selama 7 hari berturut-turut. Tahlilan akan ada lagi di hari ke-40 kematian atau disebut Matang Puluh.

"Matang puluh, tahlilan yang dilaksanakan mengenang 40 hari kematian dan mengirim berbagai makanan dan pakaian kepada orang yang telah mengurus jenazah," tulis situs tersebut.

Tahlilan akan ada kembali di hari ke-100 kematian, atau disebut Natus. Kegiatannya sama, berbagi makanan dan pakaian kepada kerabat dan mereka yang telah rela mengurus jenazah.




(tya/tey)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads