Kelenteng Satya Budhi merupakan kelenteng tertua di Kota Bandung. Lokasi tepatnya ada di Jalan Kelenteng, Ciroyom, Andir. Bangunan ini bisa dibilang menjadi saksi sejarah jejak budaya Tionghoa di Kota Bandung.
Bangunan cagar budaya golongan A ini selesai dibangun pada tahun 1885. Kelenteng Satya Budhi memiliki nama dalam Bahasa Mandarin Xie Tian Gong, atau Bahasa Hokkian Hiap Thian Kiong yang artinya Istana Para Dewa.
"Saat ini lebih dikenal dengan Wihara Satya Budhi, karena setelah tahun 1965 kan istilah yang berbau-bau asing dihilangkan, kepercayaan lain juga hanya diakui Buddha, Konghucu tidak (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha). Maka dari itu untuk hampir semua Kelenteng itu mengubah namanya dan disebut Wihara," kata The Kristanto Kurniawan (28), Kepemudaan Kompleks Satya Budhi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanto, begitu sapaannya, menyebut bangunan ini masih terjaga keasliannya. Hanya saja ada penambahan pada bagian sayap kanan dan kiri bangunan. Ia menjelaskan, setelah kelenteng selesai dibangun, kemungkinan terjadi beberapa kali renovasi sampai tahun 1985.
"Tahun 2019 pernah terjadi kebakaran di bagian belakang, kemudian bagian belakang itu tidak dibangun lagi. Sekarang hanya ditata menjadi halaman kosong, karena acuannya mengikuti seperti tahun 1920," ucap Tanto.
"Sejak kebakaran itu, sebagai pemeliharaan jadi semua bangunan direstorasi atau harus dikembalikan bentuk bangunan tersebut ke periode tertentu. Bangunan ini dokumentasinya yang paling lengkap di tahun 1920, akhirnya diputuskan bahwa bangunan ini dikembalikan di restorasi ke tahun 1920," tuturnya menjelaskan.
Sembari menunjukkan video dokumentasi Mooi Bandoeng, Tanto menunjukkan titik-titik pada wajah Kelenteng yang tidak banyak berubah sejak dulu. Pada tembok ada ukiran 3 dimensi naga dan harimau yang masih sama seperti arsip dokumentasi.
Salah satu yang terdapat perubahan karena menyesuaikan dengan jaman yakni mural dari cerita rakyat orang Tionghoa Meng Zi. Mural ini baru ada pada tahun 1950-an.
"Cerita hidupnya kan panjang, tapi hanya diambil poin penting yang ingin disampaikan kepada generasi selanjutnya sebagai pesan. Nah, kurang lebihnya ceritanya itu dulu Meng Zi, anak yang pinter, malah bolos sekolah dan ketahuan mamanya. Meng Zi dinasehati, bahwa ilmu pengetahuan itu tuh tidak didapatkan hanya langsung instan. Tapi harus seperti memintal kain dari benang demi benang untuk menjadi kain yang utuh," ceritanya.
Sekedar diketahui, sejak pandemi Kelenteng ini mulai membatasi kunjungan untuk umum hingga kini. Jika sebelumnya demi mencegah penularan virus, saat ini pembatasan masih diberlakukan demi menjaga ketenangan umat dalam beribadah.
Saat detikJabar berkesempatan masuk, suasana sejuk dan tenang betul-betul terasa. Kelenteng ini memiliki lahan parkir dan halaman yang sangat luas. Semakin cantik dengan ornamen lampion pasca menyambut Imlek beberapa pekan lalu.
"Kelenteng ini merupakan Kelenteng Tridharma. Ibaratnya seperti keranjang yang berisi tiga kepercayaan. Ada Taoisme, Konghucu, dan Buddha. Buddha-nya ini spesifik Buddha Mahayana. Jadi sebenarnya kepercayaan yang berkembang di Tiongkok, ketiganya itu di Kelenteng. Seperti wadah toleransi," ujar Tanto menjelaskan.
Ia pun menunjukkan di Kelenteng tersebut terdapat prasasti yang tertulis bahwa pembangunan selesai pada tahun 1885. Tanto menjelaskan, bahwa Kelenteng ini dibangun di bawah kepemimpinan Tan Haj Hap atau Tan Haj Long.
"Belanda kan seneng banget mengelompokkan masyarakat berdasarkan suku-suku dalam satu wadah. Di dalam satu wadah ini biasanya ada pemimpinnya, begitu juga sempat terjadi di Bandung. Tapi karena Bandung kota yang cukup baru, meski di beberapa catatan sejarah sudah ada orang Tionghoa yang bermukim di Bandung, tapi mereka baru mempunyai pemimpin itu 1880-an," ceritanya.
"Jadi ketika kapten atau pemimpin Tionghoa yang kedua itu menjabat, baru Kelenteng ini terinisiasi. Itu di era Tan Haj Hap, yang kemudian saat Kelenteng mengalami renovasi untuk yang kedua kalinya, diteruskan anaknya yakni Tan Joen Liong. Dia pemimpin masyarakat Tionghoa di Bandung yang ketiga dan terakhir," lanjut Tanto.
Ia menjelaskan, bahwa setiap kelenteng memiliki Tuan Rumah atau Dewa Utama yang berbeda-beda. Kelenteng diibaratkan menjadi rumah Dewa, sehingga disebut Tuan Rumah.
Pada Kelenteng Satya Budhi, menjadi salah satu tanda bahwa kehidupan masyarakat Tionghoa Kota Bandung di jaman 1885-1900, mayoritas berprofesi sebagai pedagang. Hal ini juga memiliki keterkaitan dengan lokasi Kelenteng yang tak jauh dari Pasar Baru.
"Nah, kenapa tuan rumah ini bisa berbeda, biasanya tergantung dari kehidupan masyarakat Tionghoa kala itu ketika pembangunan kelenteng terjadi. Contoh, kalau di daerah pesisir, sudah pasti bukan tuan rumahnya yang di sini. Tuan rumah yang di sini itu adalah Kwan-Kong atau Guan-gong, banyaknya orang tahu mungkin Dewa Perang. Tapi sebenarnya adalah Dewa Perdagangan," tuturnya.
Hal ini kemudian dikonfirmasi oleh Sugiri Kustedja, Akademisi dan Peneliti Pecinan di Kota Bandung. Ia menyebut bahwa daerah sekitar Kelenteng merupakan tempat pemukiman. Namun kini, tak banyak jejak bangunan yang dapat ditemui.
"Dulu ada keluarga Boon, yang katanya menbangun Kelenteng tersebut. Dia juga konon yang terlibat membangun Gedung Pakuan juga. Kemudian di situ ada Kampongs Verbetering, perbaikan kampung dari Belanda. Jadi kampung-kampung dibuat jalanan untuk satu mobil dan diaspal," kata Sugiri.
Hal ini ada kaitannya dengan beberapa ruas jalan di Kota Bandung. Salah satunya penamaan Jalan Yun Liong (Chineese Luitennant) yang menggunakan nama anak Tan Haj Hap, Gang Lim Siong, dan lainnya.
Sementara itu, tak jauh dari Kelenteng Satya Budhi terdapat Wihara Tanda Bhakti yang letaknya ada di Kampung Toleransi (baru diresmikan awal tahun 2022). Menurut cerita warga setempat, kampung ini kini diisi beragam etnis dan mulai didominasi etnis Jawa-Sunda.
"Kalau di daerah Sukamanah (gang dalam Kampung Toleransi) itu dulu juga mayoritas etnis Tionghoa. Saya ada teman di sana tahun 1970-an, sampai tahun 2000 saya kesana pun masih mayoritas etnis Tionghoa tapi keturunannya. Kalau sekarang saya tidak bisa pastikan," kata Sugiri.
(aau/mso)