Banyak daerah di Indonesia yang memiliki kawasan pecinan. Suatu wilayah bisa dikatakan kampung pecinan secara spesifik, jika ada bangunan asli, penduduk mayoritas, dan tempat ibadah asli keturunan Tionghoa seperti vihara. Namun di Bandung, tidak ada wilayah yang bisa dikatakan kampung pecinan.
Kawasan pecinan selama ini dipahami merujuk pada kawasan yang penghuninya mayoritas warga asli atau keturunan Tionghoa. Namun, di Kota Bandung mengalami persebaran penduduk keturunan Tionghoa.
"Benar, nggak pernah ada Pecinan di Kota Bandung. Ada banyaknya pecinan itu kota-kota tua seperti Pantura, Jakarta, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Lasem, itu kan kental sekali ya," kata Sugiri Kustedja, akademisi sekaligus Pengamat Pecinan di Kota Bandung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sugiri yang merupakan dosen Arsitektur di Universitas Maranatha tersebut, sudah sejak lama meneliti jejak komunitas Tionghoa di Kota Bandung. Ia menceritakan awal mulanya terbentuk pecinan di beberapa kota tua, yang kemudian mempengaruhi Kota Bandung.
![]() |
Dimulai sejak ekspedisi Belanda pertama datang ke Indonesia dengan dipimpin Cornelis de Houtman, yang membawa misi untuk membeli rempah-rempah dari sumbernya. Ketika sampai di Banten, Jawa, pedagang-pedagang Tionghoa sudah banyak dan bermukim campur dengan warga pribumi.
"Kemudian, Belanda itu kan pemikirannya benar-benar monopoli. Mereka sadar kalau begitu banyaknya pedagang Belanda berangkat ke Nusantara, harga rempah-rempahnya kan turun atau bersaing. Jadi mereka bikin VOC supaya mereka saja yang berangkat, yang lain kasih modal," kata Sugiri.
Hingga sesampainya di Jayakarta, Belanda melakukan kontrak yang berujung perebutan wilayah. Jayakarta menjadi kota Batavia yang hendak dibangun oleh mereka. Kota kecil ini perlu dihidupkan, sehingga para pasukan Belanda yang berkawan baik pedagang-pedagang masyarakat Tionghoa pun memanggil mereka untuk pindah.
Seluruh penduduk desa keturunan Tionghoa dari Banten berangkat ke Batavia untuk menghidupkan kota. Perantau-perantau inilah yang mampu menghidupkan. Ada tukang kayu, tukang batu, petani, mereka diberi tanah oleh Belanda.
"Ya kasih aja, kan itu tanah orang lain kan? (Hasil jajahan) Saat perpindahan terjadi dan orang-orang Tionghoa dapat tanah gratis, migrasinya kan bergelombang. Jadi banyak, padahal Batavia kan bukan kota besar. Jadi over. Entah nggak ada kerjaan atau nggak ada kesempatan, akibatnya kriminal. Orang Belanda hanya sedikit sekitar 50 orang, dengan Pribumi juga musuhan. Kotanya menjadi tidak aman," lanjut Sugiri.
Muncul kabar burung penduduk Jawa dan Tionghoa akan melakukan perlawanan. Etnis Jawa dan Tionghoa yang kesal, bersekutu melawan Belanda. Dari situlah terjadi tragedi Perang Jawa atau Perang Kuning tahun 1740, Belanda melakukan pembunuhan orang Jawa dan Tionghoa yang katanya korbannya sampai 10.000 orang.
"Belanda menghadapi pasukan kewalahan, datanglah mereka ke Keraton yang selalu banyak intrik. Mereka akhirnya diminta menarik pasukan-pasukan Jawanya. Akhirnya Belanda menang. Dari pengalaman itu, Belanda menerapkan politik segregasi, dipecah-pecah menurut ras. Dibuat benteng untuk membatasi kota. Itulah yang kemudian jadi pecinaan atau pecinan. Makanya pecinaan adanya di Pantura banyak," tutur Sugiri.
"Waktu saya meneliti Kota Bandung, saya coba cari bahasa Eropa pecinan itu ghetto. Ada sistem wijkenstelsel yang melarang keras warga Cina bermukim di luar kampung Cina. Diberlakukan sistem pas jalan alias passenstelsel. Sejak itu orang Tionghoa mesti mendapat semacam surat izin bepergian hanya untuk bisa keluar dari kampungnya, untuk memutus kemungkinan orang Cina mengadakan aliansi dengan kelompok masyarakat lain di Jawa," imbuhnya.
Jawa Barat kala itu menjadi salah satu daerah tanam paksa. Sehingga tidak boleh ada orang asing keluar masuk ke Priangan. Orang Tionghoa dan Belanda pun tidak boleh masuk. Hingga akhirnya tanam paksa dihapuskan, sehingga hasil perkebunan seperti teh, kina, dan karet mulai masuk ke Jawa Barat.
Di Priangan, Kota Bandung merupakan daerah terakhir yang dapat dimasuki dan dihuni penduduk Tionghoa. Keadaan ini lebih meluas lagi setelah tahun 1911 ketika pemerintah Hindia Belanda mencabut semua larangan yang membatasinya.
Orang Tionghoa baru mulai menginjak tanah Bandung sesudah abad 19, bersama dengan investasi barat. Inilah penyebab utama Kota Bandung tak punya pecinan. Daerah pecinan di Bandung hanya mempunyai sejarah yang singkat. Sesampainya di Bandung, orang Tionghoa perlu meneruskan hidup dan dijadikan pedagang perantara oleh Belanda.
"Belanda kan dagang barang impor yang mesti dijual. Memanfaatkan pribumi tidak bisa, mereka curiga terus. Belanda akhirnya nggak berani masuk ke kampung, jadi minta tolong etnis Tionghoa untuk masuk-masuk ke kampung. Orang Tionghoa nggak ada rasa sakit hati, mereka survival. Setelah perang, kalah, ya sudah cari hidup lagi," ujarnya.
Segregasi membuat antar etnis berkelompok di wilayah tertentu. Sebelah utara Kota Bandung menjadi tempat untuk orang Eropa. Bandung bagian tengah, terdapat orang-orang pedagang yang mayoritas Tionghoa. Di selatan menjadi wilayah untuk pribumi.
Sugiri dalam penelitiannya yang berjudul Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung, menjelaskan bahwa pasar pertama di Kota Bandung dibangun tahun 1812 di kampung Ciguriang (sekarang belakang Kepatihan, belum jelas di mana titiknya namun kemungkinan sekitar The Kings).
![]() |
Namun, pasar tersebut terbakar ketika terjadi huru-hara. Para pedagang di pasar tersebut kemudian berkumpul lagi dan berdagang di sekitar Pasar Baroe (sekarang Pasar Baru), yang baru terbangun puluhan tahun kemudian.
Kegiatan utama etnis Tionghoa yang bergerak dalam bidang perdagangan, membuat mereka cenderung bermukim di sekitar pusat simpul transportasi perhubungan (jalan raya, jalan kereta api), stasiun kereta api, dan pasar sebagai pusat perdagangan.
(aau/mso)