Suara pukulan palu yang dipukulkan ke sebatang besi terdengar kencang kala melintasi Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung arah Gedebage. Suara itu terdengar nyaring, sebelum melintasi traffic light Kiaracondong.
Suara itu, berasal dari bengkel sekaligus galeri yang membuat alat musik tradisional milik Pepen Supendi (60). Palu itu dipukulkan Pepen ke batang besi yang digunakan untuk alat musik saron.
Selain menjual dan membuat alat musik tradisional, pria kelahiran Kampung Tanjung, Desa/Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang ini juga dapat memperbaiki alat musik di bengkelnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lagi servis saron," kata Pepen saat membuka perbincangan dengan detikJabar, Jumat (10/11/2023).
Pria lulusan STSI yang kini menjadi ISBI Bandung ini berujar, jauh sebelum dirinya berkuliah, ia sudah belajar seni sejak tahun 90 an dan ikut dengan kelompok seni di Kabupaten Subang.
"Belajar dari tetangga dulu di Subang, almarhum Pak Suhanda," ujarnya.
Berbekal keahlian dalam memainkan alat musik tradisional dan berkuliah di STSI, Pepen pun membuka bengkelnya di tahun 2000-an di Jalan Soekarno Hatta ini.
"Hampir semua alat kesenian Sunda bisa dibikin di sini, dari mulai kendang, kecapi, gamelan, suling, goog, bonang dan lainnya," ungkapnya.
![]() |
Pepen tak hanya menjual alat musik secara satuan, tapi dirinya juga menjual alat musik paketan, seperti satu set alat musik degung yang berisikan saron peking, panerus, bonang, jenglong, gendang, goong, suling dan ditambah kecapi. Selain itu, harganya juga beragam.
"Alat musik tergantung kualitas dan bahan, ada bahan besi, kuningan, stainless dan perunggu, itu satu set Rp 150 juta, lengkap semuanya. Banyak yang gunakan perunggu, itu yang profesional, kalau yang kelas menengah kalau enggak kuningan stainless. Kuningan di angka Rp 40 jutaan," jelasnya
"Perunggu bagus, lebih empuk, keawetan tergantung perawatan dan pemakaian. Dari penelitian perunggu 20 tahun masih stabil suaranya," tambahnya.
Servis Alat Musik Gunakan Aplikasi
![]() |
Teknologi semakin canggih, selain alat manual seperti palu atau perkakas lainnya, Pepen gunakan teknologi untuk menyervis alat musik, salah satunya saat menyervis alat musik saron.
Untuk mendapatkan suara yang diinginkan, saron yang suaranya sumbang disulap oleh Pepen menjadi saron yang suranya kembali merdu.
Pepen gunakan Aplikasi Datoner saat menyetel suara saron tersebut. Caranya aplikasi itu diinstal di tabel miliknya, lalu tablet tersebut disimpan di dalam rangka kayu yang digunakan sebagai tempat untuk menyetel suara.
Selain itu, Pepen juga menutup kedua kulingnya dengan penutup kuping agar dia tidak mendengar suara besi yang dipukulkan menggunakan palu. Besi itu dipukul dengan cara dibolak-balik, jika suaranya belum sama dengan yang keluar dari aplikasi, maka Pepen kembali memukul besi itu.
"Bisa juga servis, semua alat kesenian Sunda yang kondisinya masih layak. Kaya kendang yang rusaknya kulitnya. Saron, rarasnya sudah ngaco, tone-nya, sudah enggak tepat, mungkin karena sering dipakai, namanya alat sering ada perubahan, sumbang istilahnya," tutur ayah tiga anak ini.
"Dengan aplikasi, Aplikasi Datoner, ada juga alat yang lain tapi saya cocoknya dengan alat ini. Ada juga toner yang pakai baterai, merknya rupa-rupa. Sangat membantu, tinggal tutup telinga, saya sudah percaya dengan alat ini. Sudah sejak lama, sejak ramai aplikasi saja," paparnya.
Karena alat musik ini, memiliki keterpaduan dengan alat musik lain, jika dia menservis alat musik saron pasti dilakukan dengan alat musik lainnya.
"Servis satu set, saron dua, bonang dan jenglong Rp 450 ribu, itu empat alat musik ya, saronnya ada dua, ada saron peking dan ada juga saron panerus," tuturnya.
Disinggung, siapa saja yang suka menyervis alat musik ke tempatnya, Pepen menyebut bisanya sanggar seni atau kelompok seni yang ada di seluruh Jawa Barat.
"Kebanyakan dari pemakai, dari Subang, Sumedang, Ciamis, jadi gak hanya yang dari Bandung. Datang kesini sudah pada tahu, saling kasih tahu dan ada langanan," tuturnya.
Lestarikan Seni dan Buat Produk Inovatif
![]() |
Demi melestarikan seni, Pepen kerap berbagi ilmu kepada mahasiswa ISBI atau mahasiswa yang sengaja datang ke bengkelnya untuk belajar membuat alat musik.
Selain itu, demi menjaga lingkungan dan terbatasnya bahan baku kayu untuk alat musik tradisional yang dibuatnya. Pepen kini membuat alat musik dengan bahan baku logam seperti bahan baku almunium.
"Memberikan workshop dan pelatihan pembuatan alat musik kepada mahasiswa. Kalau bapak untuk melestarikan, inovasi bahanya dari aluminium, seperti dog-dog dari kayu atau batang pohon kelapa, saya kembangkan. Terus kulit saya ubah menjadi mika, bisa itu pakai mika, pakai kulit juga bisa, tergantung permintaan," tuturnya.
Namun, alat musik yang bahan bakunya ternyata dari aluminium, menurut Pepen lebih mahal dari bahan baku kayu. Tapi menurutnya, bisa lebih lama usianya.
'Ini Rp 4 jutaan (dog-dog), tapi kalau pakai kayu Rp 1,5 juta, ini lebih mahal karena bahanya lebih mahal. Ukurannya juga akhurat, mau ukuran berapa juga ada, kalau kayu kan bahan bakunya juga sulit, mengandalkan dari alam. Kaya ukuran diameter 35 cm itu susah, jadi memanfaatkan bahan logam," paparnya.
Tak hanya dogdog yang berbagan baku aluminium, alat musim lain seperti rebana atau gendang ada yang pakai bahan baku aluminium. "Gendang juga ada, itu harganya lebih mahal Rp 5 jutaan," pungkasnya.
(wip/yum)