Mengulas Dua Sejarah Pesantren Tertua di Indonesia

Mengulas Dua Sejarah Pesantren Tertua di Indonesia

Ony Syahroni - detikJabar
Minggu, 22 Okt 2023 08:00 WIB
Pondok Pesantren Buntet Cirebon
Pesantren Buntet Cirebon (Foto: Ony Syahroni)
Cirebon -

Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang menjadi tempat para santri untuk menimba ilmu-ilmu agama. Di Indonesia, ada banyak Pondok Pesantren bersejarah yang usianya telah mencapai ratusan tahun.

Pesantren-pesantren tua itu tersebar di sejumlah wilayah di Nusantara. Salah satunya adalah Cirebon. Di daerah yang berada di bagian timur provinsi Jawa Barat itu, setidaknya ada beberapa Pondok Pesantren tua dan bersejarah.

Sebut saja Pondok Pesantren Buntet dan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. Keduanya merupakan Pondok Pesantren yang usianya sudah mencapai ratusan tahun dan tercatat sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk Pondok Pesantren Buntet, lembaga pendidikan Islam itu beralamat di Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Jika dari pusat Kota Cirebon, Pondok Pesantren itu berjarak sekitar 17 Kilometer.

Lokasinya sendiri bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 26 menit. Untuk menuju ke Pesantren Buntet, kita bisa menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.

ADVERTISEMENT

Sementara untuk Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Ponpes itu berada di Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Jika dari Kota Cirebon, Pondok Pesantren tersebut berjarak sekitar 23 Kilometer.

Untuk menuju ke Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, kita juga bisa menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Lokasinya bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih lebih 35 menit.

Sebagaimana diketahui, Pondok Pesantren Buntet dan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin merupakan dua dari sekian banyaknya Pondok Pesantren tertua yang ada di Indonesia menurut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Dalam rangkaian peringatan 1 Abad NU yang diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada 31 Januari 2023, PBNU telah menganugerahi Pondok Pesantren Buntet dan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin sebagai Pondok Pesantren tertua di Indonesia.

Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin berada di posisi ketiga dari 56 Pondok Pesantren yang dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sementara Pondok Pesantren Buntet, ada di posisi ke enam.

Pondok Pesantren Buntet Cirebon

Pondok Pesantren Buntet Cirebon merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pondok Pesantren ini didirikan pada tahun 1750 oleh seorang ulama bernama Kiai Muqoyyim.

Sebelum mendirikan Pondok Pesantren Buntet, Kiai Muqoyyim atau yang juga dikenal dengan sebutan Mbah Muqoyyim adalah seorang tokoh Mufti di lingkungan Keraton Kanoman Cirebon.

Menurut pemerhati sejarah pesantren-pesantren di Cirebon, Akhmad Rofahan, Mbah Muqoyyim memilih mendirikan pondok pesantren lantaran kecewa atas keberpihakan keraton terhadap kolonial Belanda pada saat itu.

Berangkat dari hal itu, Mbah Muqoyyim pun lantas memutuskan keluar dari lingkungan keraton dan memilih untuk menyiarkan agama Islam dengan membangun sebuah pondok pesantren.

"Awalnya, Mbah Muqoyyim mendirikan pondok pesantren di kampung Kedung Malang, Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Pondok pesantren yang didirikan oleh Mbah Muqoyyim kala itu hanya berupa bangunan sederhana yang dilengkapi musala dan beberapa kamar santri," kata Akhmad Rofahan.

Setelah Mbah Muqoyyim membangun pondok pesantren, tidak sedikit masyarakat yang kemudian tertarik untuk ikut belajar tentang ilmu-ilmu agama. Namun upaya Mbah Muqoyyim dalam mendirikan pondok pesantren ini tidak selalu berjalan mulus.

Pondok Pesantren Buntet CirebonPondok Pesantren Buntet Cirebon Foto: Ony Syahroni

Mbah Muqoyyim dengan banyak pengikut rupanya membuat pihak Belanda khawatir. Belanda melihat, dengan nama besarnya Mbah Muqoyyim berpotensi bisa menggerakkan masyarakat dan kaum santri untuk melakukan perlawanan.

Oleh karenanya, serangan demi serangan pun terus dilancarkan oleh Belanda ke pondok pesantren milik Mbah Muqoyyim. Belanda juga terus berusaha untuk menangkap Mbah Muqoyyim.

Dalam serangan Belanda itu, Mbah Muqoyyim bersama santri-santri berhasil menyelematkan diri. Hanya saja, akibat serangan Belanda, pondok pesantren yang telah didirikan oleh Mbah Muqoyyim porak-poranda.

Demi menghindari penangkapan Belanda, Mbah Muqoyyim pun sempat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sampai akhirnya, ia singgah di Pemalang, Jawa Tengah.

Meski menjadi target penangkapan oleh Belanda, namun Mbah Muqoyyim tidak menghentikan perjuangannya dalam menyiarkan ajaran agama Islam. Kegiatan itu tetap ia lakukan di setiap tempat yang ia singgahi.

Saat Mbah Muqoyyim menetap di Pemalang, Jawa Tengah, sebuah wabah penyakit melanda wilayah Cirebon. Wabah penyakit itu bahkan telah menyebabkan banyak orang meninggal dunia. Baik warga biasa, keluarga keraton, maupun pihak Belanda.

"Akhirnya muncul usulan untuk meminta bantuan Mbah Muqoyyim yang saat itu ada di Pemalang. Perwakilan keraton yang saat itu diutus langsung menghadap dan meminta bantuan Mbah Muqoyyim untuk mengusir wabah tersebut," terang Rofahan.

Atas adanya permintaan tersebut, Mbah Muqoyyim pun lantas menyetujuinya. Ia kemudian kembali ke Cirebon untuk mengatasi wabah penyakit yang telah merenggut banyak korban jiwa. Atas kelebihan yang dimilikinya, Mbah Muqoyyim pun akhirnya berhasil mengatasi wabah penyakit tersebut.

"Saat pulang ke Cirebon, Mbah Muqoyyim pun berusaha membangun kembali pesantren Buntet yang sebelumnya telah dihancurkan oleh Belanda," kata Rofahan.

Mbah Muqoyyim membangun pondok pesantren itu di lokasi yang sedikit bergeser dari lokasi sebelumnya. Mbah Muqoyyim mendirikan Pondok Pesantren Buntet di daerah yang kini dikenal dengan nama Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon.

Sejak didirikan pada ratusan tahun lalu oleh Mbah Muqoyyim, hingga kini Pesantren Buntet Cirebon masih tetap eksis dengan berbagai fasilitas pendidikan yang disediakan untuk para santri.

Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin

Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin merupakan pondok pesantren yang berada di Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Selain Pondok Pesantren Buntet, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin juga merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam di Cirebon yang usianya sudah cukup tua.

Bahkan, jika dilihat dari tahun berdirinya, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin ini terbilang jauh lebih tua bila dibandingkan dengan Pondok Pesantren Buntet. Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin mulai didirkan pada tahun 1715. Namun ada juga versi lain yang menyebut jika pondok pesantren itu didirikan pada tahun 1705.

Rofahan dalam Sejarah Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin yang dipublikasikan pada website NU Cirebon menyebut, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin didirikan oleh seorang ulama bernama Syekh Hasanuddin bin Abdul Latif. Ia merupakan seorang ulama yang berasal dari Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon.

Dikisahkan, Syekh Hasanuddin merupakan seorang pengembara yang selalu menyebarkan ajaran agama Islam di setiap wilayah yang ia singgahi. Salah satunya yaitu di Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon.

Sepak bola api di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin CirebonSepak bola api di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon Foto: Ony Syahroni/detikJabar

Di desa ini, Syekh Hasanuddin awalnya membangun sebuah musala kecil yang digunakan untuk mengajar ilmu-ilmu agama. Karena kebiasaannya yang suka beristirahat di bawah dua pohon jati ketika membangun musala, Syekh Hasanuddin pun mendapat julukan dari murid-muridnya.

Karena kebiasaannya itu, Syekh Hasanuddin dijuluki Ki Jatira. Jatira sendiri terdiri dua kata, yaitu Jati yang berarti pohon jati dan Ra yang berarti loro atau dua.

Menurut Rofahan, Ki Jatira memilih desa Babakan untuk mendirikan pondok pesantren karena karakternya yang dekat dengan masyarakat miskin. Saat itu, kondisi lahan di wilayah Babakan cukup kering hingga sulit dikembangkan untuk sektor pertanian.

Hal ini pun membuat Ki Jatira tertantang untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai pusat pendidikan Islam. Selain itu, Ki Jatira juga ingin menjaga masyarakat di wilayah tersebut agar terlepas dari pengaruh kekuasaan Belanda.

Pada tahun 1718, Belanda mulai melakukan penyerangan ke padepokan Ki Jatira. Meski serangan tersebut sempat mendapatkan perlawanan sengit dari para santri dan masyarakat, namun Belanda akhirnya memenangkan peperangan tersebut. Belanda pun kemudian menghancurkan padepokan milik Ki Jatira.

Singkat cerita, pada tahun 1721, Ki Jatira kembali ke Babakan untuk melanjutkan perjuangannya dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Kedatangannya pun disambut gembira oleh seluruh masyarakat.

Bentuk keseriusannya dalam mengembangkan Islam di wilayah Babakan ditunjukkan dengan kembali membangun Pesantren Babakan pada tahun 1722. Pesantren tersebut dibangun sekitar 400 M dari lokasi awal.

Namun upaya Ki Jatira dalam membangun pondok pesantren itu lagi-lagi terendus oleh Belanda. Mendengar kabar Ki Jatira kembali membangun pesantren dan mengajarkan ilmu agama serta kanuragan, membuat Belanda memiliki inisiatif untuk melakukan penyerangan.

Baru lah pada pada tahun 1751, Belanda mulai melakukan penyerangan ke padepokan yang sudah dibangun oleh Ki Jatira. Namun, informasi soal penyerangan itu sudah lebih dulu diketahui Ki Jatira beserta keluarga dan santrinya. Mereka pun berhasil menyelamatkan diri ke Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon.

Pada tahun 1753, Ki Jatira mengalami sakit yang cukup serius, di samping usianya yang sudah semakin menua. Ki Jatira akhirnya wafat di tahun yang sama. Jenazahnya lantas dimakamkan di daerah Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon.

Sebelum wafat, Ki Jatira menyampaikan wasiat kepada menantunya yaitu Kiai Nawawi. Ki Jatira meminta Kiai Nawawi agar kembali ke Babakan dan melanjutkan perjuangannya membangun pondok pesantren.

Masih dikutip dari sumber yang sama, setelah Ki Jatira wafat, pondok pesantren yang dibangun di Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin itu kemudian dipegang oleh menantunya, yakni Kiai Nawawi.

Dalam mengurus pondok pesantren itu, Kiai Nawawi tidak sendiri. Ia turut dibantu oleh putranya, yaitu Kiai Adzra'i. Kemudian secara estafet kepengurusan pondok pesantren Babakan dilanjutkan oleh para penerusnya.

Sejak didirikan pada ratusan tahun lalu, hingga kini Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin di Cirebon masih tetap berjalan dan tercatat sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads