Keindahan kain batik khas Indonesia, tak diragukan lagi kualitasnya. Tapi nasib para perajin batik tulis kini tak seindah karya tangannya, gara-gara harus bersaing dengan 'Batik Cina' yang harganya gila.
Seperti dirasakan Kristi, perajin batik tulis asal Kabupaten Garut. Tidak seperti beberapa tahun lalu, karya batik tulisan dari jemarinya, kini tak banyak lagi diminati.
"Kalau sekarang tidak banyak. Per bulan paling 4-5 kain yang terjual. Itu pun yang rutin hanya dua," ungkap Kristi kepada detikJabar, Senin (7/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pembeli batik tulis Garutan hasil olahan tangan Kristi, hanya dibeli oleh konsumen tetap. Ada beberapa pembeli baru, tapi jumlahnya bisa dihitung jari.
Kristi sendiri, mencoba terus memutar otak. Salah satunya, dengan menjual karya batik tulis Garutan via daring. Kristi intens memasarkan batik buatannya, dengan brand Batik Tulis Garutan Ceuria, melalui Instagram @rumah_batiktulisgarutan_ceuria.
Tapi, hasilnya tak terlalu moncer. Hal ini, bukan karena kualitasnya yang buruk. Perlu diketahui, batik tulis Garutan karya Kristi ini memiliki kualitas yang mentereng. Buktinya, banyak pesohor yang menjadi langganan.
Mulai dari Bupati Garut Rudy Gunawan dan istrinya Diah Kurniasari, hingga Menkop UKM RI Teten Masduki adalah sederet tokoh yang selalu menggunakan batik buatannya.
Penjualan batik tulis Garutan merosot gara-gara gempuran 'Batik Cina'. Batik Cina, adalah sebutan bagi kain bermotif batik, yang dibuat dengan teknik printing. Kain tiruan batik ini, diketahui banyak diproduksi di negeri Tiongkok.
![]() |
Gempuran 'batik KW' ini, sangat membuat produsen batik tulis dari daerah, seperti Garut, sangat merana. Bukan tanpa alasan, karena batik printing memiliki harga yang sangat jauh di bawah batik tulisan karya masyarakat.
"Menurun drastis. Harganya sangat jauh. Kalau batik tulisan harganya di atas satu juta," ungkap Kristi.
Kristi sendiri saat ini mengandalkan konsumen tetapnya, yang berasal dari kota-kota besar seperti Tangerang hingga Jakarta. Mereka tetap setia membeli batik buatan Kristi, karena memahami nilai dan kualitasnya.
Batik tulis Garutan karyanya, paling banyak dibeli pada momen Hari Batik Nasional. Biasanya, dimulai pada bulan Agustus, Kristi intens membawa barangnya terbang ke Jakarta.
"Yang beli itu yang mengerti. Banyak di antara keluarga yang mengerti, mengedukasi anaknya. Sehingga pembeliannya turun-temurun," ungkap Kristi.
Kristi sendiri, mengaku akan terus bergelut di dunia batik. Salah satu alasannya, Kristi mengumpulkan pundi-pundi tambahan membantu sang suami yang bekerja.
"Saya adalah generasi kelima. Buyut, nenek hingga ibu saya semuanya perajin batik," katanya.
Meskipun tak seramai dahulu, Kristi juga mengaku akan terus menjadi perajin batik. Bukan sekadar soal nominal. Bagi dia dan keluarga, batik adalah jalan hidup yang turun-temurun.
(yum/yum)