Penggunaan bahasa Sunda sebagai alat komunikasi sehari-hari mulai jarang dilakukan oleh generasi muda saat ini. Mereka lebih banyak memakai bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing untuk berkomunikasi.
Padahal, bahasa Sunda adalah bahasa ibu yang harus tetap dilestarikan, bukan ditinggalkan. Namun nyatanya, semakin sedikit generasi muda yang memahami apalagi menguasai bahasa Sunda.
Untuk meningkatkan kembali kesadaran akan hal itu, Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Universitas Padjajaran (Unpad) menggelar perlombaan mengisi teka-teki silang berbahasa Sunda atau Pasanggiri Tarucing Cakra, di Aula Unpad, Kota Bandung, Rabu (22/2/2023).
Sebanyak 1.200 orang dari kalangan pelajar, mahasiswa hingga masyarakat umum jadi peserta di lomba mengisi teka-teki silang berbahasa Sunda ini. Mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat.
Mereka diharuskan mengisi teka-teki silang melalui gadget masing-masing yang telah disiapkan oleh panitia. Pada teka-teki silang itu, terdapat berbagai kata dengan bahasa Sunda yang harus diisi oleh peserta.
Ganjar Kurnia, Ketua Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Unpad mengatakan, Pasanggiri Tarucing Cakra sudah rutin digelar sejak 2008 yang tujuannya adalah untuk memperkenalkan bahasa Sunda di masyarakat umum hingga kalangan pelajar dan mahasiswa.
Menurut Ganjar, generasi muda saat ini memang masih banyak yang menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi sehari-hari. Namun sebagian besar, tidak memahaminya lebih dalam.
"Ya saya lihat masih ada yang menggunakan, memang agak mengkhawatirkan," kata Ganjar.
Ganjar menuturkan, salah satu faktor yang membuat generasi muda saat ini tidak lagi menggunakan bahasa Sunda adalah karena orang tua yang tidak membiasakan diri menggunakan bahasa Sunda di rumah.
"Yang jelas kalau di perkotaan banyak ibu yang tidak mengajarkan lagi tidak mengajak putra putrinya berkomunikasi dengan bahasa Sunda, jadi bahasa indungnya adalah bahasa Indonesia atau Inggris," ucap Ganjar.
Ganjar menuturkan, bahasa indung atau bahasa ibu adalah bahasa yang diajarkan orang tua kepada anaknya di lingkungan rumah. Mulai ditinggalkannya bahasa Sunda dalam bahasa sehari-hari di rumah menurut dia dikarenakan bahasa Sunda dianggap tidak diperlukan.
"Terutama tergantung pada ibunya, anak di rumah ya ikut aja. Ibunya sendiri yang punya pandangan dianggap tidak perlu, dianggap kurang gagah, dan lainnya," tegasnya.
"Anggapannya kalau anak tidak bisa bahasa Indonesia akan sulit berkomunikasi sulit cari sekolah padahal kenyataannya enggak," lanjutnya.
Selain itu, bahasa Sunda juga mulai dianggap ketinggalan zaman dan kampungan. Karena itulah, Unpad terus berupaya untuk mengenalkan kembali bahasa Sunda melalui berbagai cara seperti Pasanggiri Tarucing Cakra ini.
"Ya mungkin dianggap tidak bermanfaat, kampungan, itu makanya salah satu caranya kita melakukan kegiatan ini, kan bahasa Sunda bisa memakai teknologi sekarang," ujarnya.
Masih kata Ganjar, idealnya seorang anak mampu menguasai tiga bahasa, yakni bahasa daerah, nasional dan bahasa asing. Jika ketiga bahasa itu dikuasai, kecerdasan seorang anak cenderung lebih tinggi.
"Sebetulnya anak itu idealnya punya tiga bahasa ya, basa daerah, nasional dan asing. Tinggal bagaimana menempatkan diri dan itu secara psikologis anak yang punya tiga bahasa lebih pintar biasa," pungkas Ganjar.
Sementara itu, Rahma (19) mengaku kesulitan mengisi teka-teki silang dengan bahasa Sunda. Sebab meski berasal dari Cianjur, Rahma tidak terbiasa menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi sehari-hari.
"Sulit yah soalnya nggak ngerti bahasa Sunda. Sehari-hari pakai bahasa Indonesia," singkat Rahma.
(bba/mso)