Sebagai salah satu warisan budaya bangsa yang ternama dan tersohor, batik tentu sangat perlu dilestarikan. Salah satu caranya adalah melalui berinovasi dan berkreasi.
Rumah Batik Komar turut memberikan dedikasinya bagi kebudayaan batik di Indonesia. Belakangan ini, mereka membuat batik ecoprint dan mengembangkan alat fotonik.
Ecoprint sendiri terbuat dari daun yang mengandung tanin. Sebab, ecoprint adalah sebuah karya yang menampilkan motif serat-serat dedaunan tersebut. Kendati demikian, Ketua Umum Yayasan Batik Jawa Barat, Sendy Dede Yusuf menyebut ecoprint bukanlah sebuah batik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi sebenarnya kalau ecoprint ini bukan batik ya, tetapi (menjadi batik) karena ini bergabung dengan kain yang prosesnya nanti dibatik jadi bisa batik ecoprint. Menggunakan lilin malam sebagai perintang warna," ujar Sendy pada detikJabar di Rumah Batik Komar, Sabtu (20/8/2022).
Lebih lanjut, ia menjelaskan pembuatan batik ecoprint ini merupakan salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan oleh Rumah Batik Komar.
"Makanya harus digabung dengan teknik pembatikan, uniknya disitu. Ini salah satu bentuk kreativitas dan inovasi," lanjutnya.
Ternyata, batik ecoprint ini berawal dari sebuah ketidaksengajaan. Tuan rumah Rumah Batik Komar, Yeyen Komar menyebut batik ecoprint berasal dari suaminya yang terinspirasi ketika diminta membawakan sebuah materi terkait ecoprint.
"Ini idenya itu Pak Komar kan diminta dari Disperinda Kota Bandung untuk melakukan pelatihan tentang ecoprint di Batik Komar, lalu Pak Komar bilang 'oh maaf, bu. Kalau ecoprint bukan batik'. Akhirnya itu digabung dengan batik yang menggunakan lilin panas sebagai perintang warna," ucap Yeyen.
Selain batik ecoprint, Rumah Batik Komar juga menjadi pelopor dan pengembang alat fotonik. Menurut Sendy, alat fotonik ini dapat digunakan untuk mengeluarkan warna batik tanpa harus dijemur di bawah sinar matahari.
"Kalau alat fotonik batik itu sebuah alat hasil kerjasama Batik Komar dengan Teknik Fisika ITB, itu tujuannya alat ini adalah untuk mencapai sebuah warna tanpa sinar matahari. Karena kalau sinar mataharinya lagi redup, biasanya kan kalau kita jemur, batik itu nggak bisa mencapai warna yang diinginkan," tutur Sendy.
"Itu harus makan berhari-hari untuk bisa mencapai warna yang cukup. Tetapi, dengan alat fotonik batik ini yang menggunakan ultraviolet itu bisa mencapai warna yang diinginkan dengan konstan," lanjutnya.
Menurut Yeyen, alat fotonik ini juga hasil inovasi dari Pak Komar yang kala itu menerima pesanan batik dengan warna indigosol di musim penghujan. Padahal, warna indigosol sangat membutuhkan sinar matahari untuk bisa memunculkan warnanya.
"Ada zat warna namanya indigosol yang zat warnanya harus menggunakan sinar matahari untuk mengeluarkan warnanya itu, bisa biru atau abu-abu. Pak Komar terbesit dari pesanan yang menggunakan warna indigosol, tapi saat itu musim hujan. Itu sudah dari 2015" tutup Yeyen.
Sebagai ketua umum YBJB, Sendy sangat berharap setiap kota dan kabupaten di Jawa Barat dapat terinspirasi oleh Rumah Batik Komar dalam hal berinovasi. Sebab, kreativitas tersebut yang dapat menjadi nilai jual lebih pada batik.
"Inilah yang kita harapin dari setiap kota kabupaten itu ada inovasi ada kreativitas dengan kearifan lokal yang ada di daerah tersebut. Karena itu yang menjadi nilai jual kan. Kemudian ini kan dituangkan di kain sutra harganya juga bisa lebih tinggi. Karena kalau sutra itu saat ini didapatnya sangat sulit, dan harganya mahal sekali. Benang diimpor, ditenunnya di Majalaya," pungkasnya.
(tey/tey)